20 :: Burnout

941 164 27
                                    

“Anaknya kebingungan.” Lelaki yang akhir-akhir ini makin menempel dengan Taeyong itu berujar setelah menyentil batang rokok di sela jemarinya. Kalisto membiarkan rambutnya tersibak angin. Setelah membereskan ‘kekacauan’ yang terjadi kemarin-kemarin, akhirnya dia bisa datang ke rumah megah ini. Tidak ada yang berani menanyakan kenapa Taeyong, Jisoo, Wendy dan Kalisto pergi di tengah agenda. Gian hanya memastikan beberapa hal, lalu mantan gebetan Jisoo itu langsung memakluminya.

Kalisto menggerakkan kepala, menoleh pada Taeyong yang berdiri di sampingnya. Mereka memang sedang di teras rumah Taeyong, memilih memisahkan diri dari Adit dan Ceye yang tengah bercengkerama dengan ibu si pria. “Kenapa lo nggak langsung bilang, ‘Gue suka sama lo.’ biar jelas? Gue selama ini selalu dengerin curhatan dia. Lo nggak tahu gimana effort dia selama naksir lo, kan?”

Kekehan Taeyong teralun lembut. “Nggak punya muka gue.”

“Nyerah ini ceritanya?” celetuk Kalisto asal, tapi Taeyong yang tadinya kalem aja jadi tanpa sadar melirik lelaki itu menggunakan ekor mata. Mau bagaimana pun Kalisto pernah menyimpan rasa. Walau Kalisto bilang sudah tidak lagi berniat menjadikan Jisoo pacar, yang namanya laki-laki pernah naksir nggak mungkin langsung dilepasin gitu aja.

Namun, Taeyong kali ini cuma menghela napas. Gimana, ya? Taeyong jadi takut untuk megang komitmen di saat dia sendiri teledor kayak kemarin.

“Tapi anaknya chill aja, ya? Dia tadi banyakan ngedumel ketimbang nangisnya,” sambung Kalisto, lagi-lagi masih membicarakan si ‘dia’ yang sudah membuat pikiran dan perasaan Taeyong gonjang-ganjing selama tiga hari. Kedua sudut bibir Kalisto terangkat, membentuk seringai geli. “Gue kasih tau dari sekarang, lo bakal nyesel kalau ngejauh kabur gitu aja.”

Taeyong mendelik. “Gue nggak kabur njir!”

“Biasa aja, dong? Sentimen amat,” balas Kalisto malah nyaris terpancing nyolot. Kali ini dia mengedarkan pandangan, terkejut saat seorang lelaki maskulin datang menghampiri mereka, membuatnya langsung mengangguk menyapa ketika si pria berdiri di sampingnya. “Rokok, Bang?”

“Nggak usah. Saya udah berhenti.”

Kalisto refleks merapat pada Taeyong mendengar suara bernada rendah itu. Jisoo pernah curhat soal betapa galaknya orang berkemeja hitam di sampingnya ini, pantes gadis itu selalu jiper kalau ketahuan bikin ulah. Auranya nggak menyenangkan sampai Kalisto mencolek pinggang Taeyong berkali-kali meminta pindah posisi.

“Saya mau bicara empat mata dengan Taeyong, bisa kamu pergi dulu?” Lelaki berkemeja hitam itu, Mas Adit, menatap Kalisto lempeng. Nada bicaranya kelewat tenang, tapi kalimat usiran itu membuat Kalisto tersenyum kikuk lalu melipir meninggalkan mereka.

“Kamu terlalu nurut sama Jisoo.” Mas Adit langsung memulai konversasi tanpa basa-basi. Manik hitamnya menatap Taeyong lamat, memperhatikan lelaki yang lebih muda darinya ini dari atas sampai bawah. Lesu sekali. Adit yang hendak bawel banyak bicara menumpahkan unek-unek pada anak ini jadi merasa tak tega. “Yang namanya musibah nggak ada yang tahu. Seenggaknya kamu udah punya preventif, itu jauh lebih bagus. Tapi lain kali kalau di kemudian hari ada kejadian seperti ini lagi, tolong langsung kabari aja.”

“Tetep aja,” Taeyong menjeda sesaat, entah kenapa jadi sulit memilah kata, “aku udah bikin adik Mas celaka.”

“Ada, ya, anak labil begini?” Adit mendongak, menatap langit biru pagi ini. Cuacanya kelewat cerah, tetapi lelaki yang lebih pendek darinya beberapa senti ini malah melamun sendu. “Kamu kalau lagi percaya diri seakan semua kendali ada di tangan kamu, tapi sekalinya jatuh omongan sama pikiran kamu kacau dan nggak sinkron berhari-hari.”

Kali ini Adit melirik Taeyong sambil mengulas sunggingan kecil. “Kelamaan feeling guilty nggak bagus juga. Bawa rileks, sejak kemarin kamu kayak ogah buat hidup.”

Eksternal | jisyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang