05 :: Pelarian

1K 205 34
                                    

"Nggak boleh. Cuma berdua doang ke sana. Siapa yang jagain kamu? Mas belum percaya sama ketuamu itu, ya. Jangan minta aneh-aneh."

"Tapi abang, ibu, sama ayah udah kasih izin."

"Itu ibu sama ayah, aku big no." Adit menggeleng tak menyetujui sama sekali. Lelaki itu duduk di kursi makan dapur, sibuk mengoles selai cokelat ke roti. Sedangkan Ceye di sampingnya sibuk bermain games.

Jisoo merhatiin kakak pertamanya lurus. "Tapi ini kan tanggung jawab aku di ukm. Mau nggak mau harus ikut."

"Dek, bukan masalah tanggung jawabnya. Kamu ini perempuan, loh. Perempuan sama lelaki, berduaan berjam-jam di perjalanan. Nggak akan ada yang tahu si Taeyong itu bakal kayak gimana." Adit menumpu dagu di atas meja, dia tatap anak berusia sembilan belas tahun itu dengan sorot tenang. "Ngerti?"

Jisoo mendecak. "Tapi itu bagian program–"

"Nggak terlalu penting. Kamu di sana juga paling cuma nonton bengong dan sebagainya. Kecuali memang kegiatan seminar yang biasa ngundang delegasi Bem atau Himpunan. Mas pernah kuliah. Mas tahu betul—"

"Biarin aja dah, Mas. Sekalian dia main ke sana. Jalan-jalan." Ceye yang tadinya sibuk main mobe lejen jadi nimbrung mendengar larangan Adit. "Kalau si Taeyong berani macem-macem aku siap praktek silat."

Jisoo berbinar mendengar pembelaan itu. "Tuh, abang aja setuju!" katanya jadi bersemangat. "Kak Taeyong walau mulutnya lemes gitu tetep baik orangnya!"

"Kamu ngomong gitu seakan lupa kalau kemarin kamu anggap perilaku Taeyong itu disturbing." Adit menatap Jisoo sinis. Memang labil. Satu-satunya orang yang paling labil dan gampang terpengaruh di keluarga ini cuma Jisoo doang. "Kemarin-kemarin ada anak perempuan di keluarga ini yang ngadu gara-gara dirangkul lelaki."

"Siapa, tuh?" Jisoo sok amnesia. "Bilang ke aku, nanti aku tegur."

Adit menghela napas. Dia jadi enggan sarapan gara-gara masalah ini doang. "Beneran deh Jogjakarta itu kejauhan. Kamu ke sana cuma buat ngehadirin festival musik doang. Nggak penting. Di sini juga banyak univ yang ngadain."

"Taaapiii—"

"Mas batu banget dah. Biarin aja, sih. Kayak nggak pernah kuliah aja." Ceye menimpali sambil mencomot lumpia kering di atas meja. Lelaki berhoodie abu-abu itu kemudian mematikan ponselnya, beralih menatap Adit kalem. "Pengalaman."

"Kamu juga kok nggak bisa dikoor."

"Hehe." Ceye nyengir. "Daripada ngerengek gitu berisik banget kayak dogie."

Kedua bola mata Jisoo makin berbinar. Walau dikatain begitu dia tetep terima karena seenggaknya Adit udah dipojokin tiga orang. "Oke fixed berarti boleh–"

"Gak boleh. Lihat aja nanti hari-H nggak bisa pergi."

"IBUUUU MAS ADIT NIH RESE!"























Hari Kamis, anggota ukm halistra ini udah kumpul di sekretariat bersiap untuk kasmara alias kajian bersama halistra, sebuah program yang bongkar dan ngebahas karya sastra entah itu novel, puisi, atau esai. Taeyong duduk di samping gadis yang sejak tadi kedatangannya mengundang atensi.

Taeyong melirik Jisoo menggunakan ekor mata, merapatkan bibir ketika ekspresi Jisoo teramat suntuk. Sumpah. Taeyong dari tadi sebenarnya dikacangin. Chat dia nggak dibalas sama sekali. Ditanya baik-baik tetap diam kayak manekin.

Taeyong berkedip dua kali.

Ini dia salah apa lagi?

Taeyong udah nurutin maunya anak ini, nggak-nggak lagi nyentuh alias pegang sembarangan. Walau Taeyong kadang bablas ngelus kepala anak itu gemas sendiri. Seenggaknya, Taeyong udah bisa menjaga jarak sentuh.

Eksternal | jisyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang