19 :: End

910 172 28
                                    

"Kakak, nggak tidur?"

Taeyong yang duduk di sofa dalam kamarnya menoleh malas pada ambang pintu, memperhatikan adik perempuannya yang datang menghampiri. Kedua kaki Taeyong menyilang, tangan kanannya mengetuk lengan sofa berulang.

Giselle menaruh gelas kopi ke atas meja. "Kamu keliatan capek."

"Nggak papa. Aku masih harus jagain dia." Taeyong menyahut tenang, berterimakasih saat kopi ini disuguhkan untuknya. Sudah pukul tujuh pagi, itu artinya sudah lewat sehari Taeyong terjaga demi mengawasi anak gadis yang tidur di ranjangnya.

Kaki diperban, kening juga sama. Lengan gadis itu dipasang infus. Taeyong sebagai ketua di divisi dan sosok pelindung gadis ini malah bertingkah ceroboh. Apa seharusnya dari awal dia dan Jisoo tidak usah kenal saja? Kalau mereka tidak saling mengenal, Jisoo tidak akan berhadapan dengan Verdi, tidak pula mengalami pelecehan dan tindan kekerasan. Gadis itu dibesarkan di lingkungan yang selalu memperlakukannya seperti tuan putri, tetapi Taeyong malah mengacaukannya.

Bagaimana kalau Jisoo trauma?

Bagaimana kalau gadis ini jadi kian kesulitan bergaul dengan teman-temannya?

Jisoo belum bertemu dengan psikiater atau psikolog, jadi dia tidak bisa memastikannya sekarang. Taeyong sesumbar mengatakan pada kedua kakak Jisoo akan memastikan Jisoo selalu aman selama bersamanya, tetapi sekarang apa yang harus dia katakan pada keluarga gadis itu?

Apa yang harus dia katakan pada Adit?

"Relax dulu. Mukamu tegang."

Teguran dari Giselle membuat Taeyong mengerjap. Ah, ya, dia lupa kalau Giselle masih di sini. Terlalu banyak yang Taeyong pikirkan, dia terkadang mengabaikan orang yang datang menghampirinya. Ibunya sudah menyuruhnya beristirahat, tetapi mana bisa dia tidur saat masalah ini belum selesai?

"Ayah pulang dadakan nanti siang. Biar ibu yang jelasin, kamu urus sisa pelaku pengeroyokan aja."

Taeyong menelan saliva sambil memalingkan wajah, mencoba terlihat biasa saja. Giselle memang mengatakan hal yang benar. Kalau Taeyong berbicara dengan sang ayah, masalahnya justru makin ke mana-mana. Ayahnya mungkin kesal karena ini kali kedua Taeyong membuat masalah.

Masalah yang sebenarnya bukan Taeyong yang memulainya.

Kapan Taeyong membunuh orang? Tidak pernah sekalipun. Dia sejak semester satu selalu dikerumuni perempuan-perempuan gila, menyentuh tubuh Taeyong sembarangan, mengaku sebagai pacarnya hingga menyebarkan desas-desus bahwa Taeyong adalah perusak hubungan orang lain. Dia dimanfaatkan sebelum akhirnya Taeyong mencoba mematikan api tentangnya yang orang-orang ciptakan.

Perempuan terkadang terlalu rumit. Terkadang mereka terlihat kecil dan rapuh, di sisi yang lain mereka justru terlihat berambisi ketika ingin menghancurkan kehidupan orang lain. Ketika mereka kalah, mereka justru memutarbalikkan fakta dan bertingkah seperti victim.

Untuk Taeyong yang sempat kehilangan akal sehatnya sehingga berpikir negatif seperti barusan, mencintai Jisoo adalah kemajuan paling mencengangkan setidaknya bagi Taeyong sendiri. Dia membenci perempuan, tetapi dia menyayangi Giselle dan ibunya. Dia membenci perempuan, tetapi dia memperlakukan Wendy dengan semestinya. Dia membenci perempuan, tetapi dia justru mencintai adik tingkatnya.

Taeyong dipukul bumerang yang ia lempar sendiri.

"Haus."

Kepala Taeyong dan Giselle secara naluriah menoleh kompak pada ranjang.

Sudah bangun rupanya.

"Aku ambilin air, deh," kata Giselle, langsung berdiri dan meninggalkan kamar kakaknya. Sedangkan Taeyong pelan-pelan mendekati Jisoo, berkedip saat dia bertatapan dengan netra cokelat gadis ini.

Eksternal | jisyongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang