HARI ini aku yang mengumpulkan teman-temanku di kafe langganan kami untuk mendengarkan pengumuman besar yang sambutannya sebenarnya sudah bisa kubayangkan. Apalagi kalau bukan hujatan. Tapi tidak mungkin juga merahasiakan hal seperti ini dari mereka.
Pertemanan kami sudah dibuktikan oleh waktu. Para sahabatku tidak setuju dengan gaya hidupku, tapi mereka tidak pernah menjauhiku karena itu. Perbedaan pandangan tidak membuat pertemanan kami terganggu. Mereka loyal. Mereka tahu bahwa prinsip hidup tidak bisa dipaksakan, walaupun aku tahu mereka mengharapkan aku bisa monogami layaknya mereka.
"Jadi, lo udah dapatin investor?" tanya Yudis yang terakhir datang dan bergabung di meja kami. Dia menunjuk wajahku. "Kelihatan jelas dari muka lo yang cerah gitu. Orang luar?"
Aku menggeleng. "Bukan. Pak Jenderal akhirnya mau inves."
"Jenderal Rawikara?" Dyas ikut nimbrung. "Bukannya dia batal inves? Apa yang bikin dia berubah pikiran? Proposal lo udah direvisi dan dia akhirnya setuju dengan profit sharing yang baru?"
Aku kembali menggeleng. "Gue pakai cara yang lebih tradisional. Jalur orang dalam." Aku tidak pernah menceritakan secara detail kronologis tentang batalnya investasi Pak Jenderal pada teman-temanku. Penghinaan bocah kurus yang kuterima di sana biar jadi rahasia yang kusimpan sendiri sampai mati. Seumur hidup, baru kali itu tampang bule warisan nenek dan ibuku mendapat nilai negatif dari perempuan. Dianggap tua pula!
"Wah, orang dalam kenalan lo beneran hebat karena bisa menaklukkan Pak Jenderal," timpal Tanto. "Jenderal Rawikara itu termasuk generasi jadul yang lebih suka investasi pada usaha nyata seperti tambang dan properti ketimbang bisnis yang berbasis IT. Orang dalam lo itu anaknya?"
Aku berdeham. "Cucunya. Tentu saja ada S&K-nya."
"Semua kesepakatan bisnis tentu saja punya syarat dan ketentuan yang berlaku," Risyad yang sedari tadi hanya mendengarkan ikut bicara. "Asal payback period yang mereka minta nggak bikin sesak napas dan masih realistis, gas aja."
"Syaratnya nggak ada hubungannya dengan profit sharing dan payback period sih. Bagian yang itu semua aman terkendali."
"Astaga!" Risyad tergelak. "Gue baru ingat kalau cucu Pak Jenderal itu perempuan semua. Lo dapat investasi dengan S&K yang bisa diatur itu negosiasinya pakai jalur desahan ya?"
Tanto mendengus. "Sekarang gue baru percaya kemampuan lo jungkir balik di ranjang ternyata ada gunanya juga."
"Kalau bisa dapat investasi sebesar itu, kayaknya kejadiannya bukan hanya di ranjang deh," kata Risyad di sela-sela tawanya. "Sofa, kamar mandi, lantai, mobil, lift, dan mungkin saja balkon sudah dicobain semua. Pesan gue, hati-hati aja main sama cucu jenderal yang satu itu, bro. Nyawa lo taruhannya. Investasi sebesar apa pun, nggak sepadan kalau harus ditukar dengan nyawa." Kata-katanya setali tiga uang dengan Galih.
"Hei... hei...! Gue belum pernah tidur sama cucu Pak Jenderal, dan gue nggak tertarik untuk mencobanya!" seruku untuk meredakan seringai jelek teman-temanku. "Ini hanya kesepakatan bisnis aja. Win-win solution. Dia perlu suami untuk membuat kakeknya bisa meninggal dengan tenang dan gue perlu uang Pak Jenderal."
"Tunggu... tunggu...!" Yudis mengangkat tangan seperti anak SD saat minta kesempatan untuk bicara. "Apa gue nggak salah dengar? Tadi lo bilang suami?"
Aku mengangguk mantap. "Lo, nggak salah dengar. Gue akan menikah bulan depan. Selain orangtua gue, lo semua termasuk dalam keluarga gue yang akan hadir dalam pernikahan gue. Nggak ada perayaan khusus."
Ide tentang tak ada perayaan khusus itu, tentu saja datang dari si bocah Faith. Dia memakai alasan tidak mau teman-teman kampusnya tahu dia sudah menikah di umur yang masih muda. Dia menipu kakeknya dengan mengatakan bahwa resepsi pernikahan kami akan diadakan sekalian dengan acara syukuran wisudanya. Yang tentu saja tidak akan pernah diadakan karena kami sudah berpisah saat itu. Lagi pula, entah kapan dia akan wisuda kalau dia benar-benar rela meninggalkan kampus kapan saja untuk mengejar suami idol-nya seperti yang pernah Pak Jenderal katakan. Sepertinya pendidikan tidak termasuk dalam daftar prioritas anak itu.
"Lo yakin nggak halu?" tanya Risyad. "Nggak mungkinlah cucu Jenderal Rawikara nikah tanpa acara megah. Ayah gue dulu dapat undangan juga waktu cucunya yang lain nikah."
"Ayah gue juga," ujar Dhyas. "Padahal hubungan mereka nggak dekat-dekat banget."
"Makanya, dengar dulu penjelasan gue." Aku mengulang secara ringkas percakapan dengan faith yang terjadi di ruang kerjaku, dan dua pertemuan lain setelahnya. Kami juga sudah menghadap Pak Jenderal dan mendapat restu. Semua semulus jalan tol, persis seperti yang Faith katakan padaku.
Faith Annasthasia Rawikara mungkin masih bocah dan tidak tertarik pada pendidikan, tapi otaknya ternyata tidak sekecil yang semula kupikir. Dia ahli taktik sekaligus jago akting. Aku tergidik melihat totalitasnya menunjukkan perasaan cintanya padaku saat kami bertemu dengan Pak Jenderal. Sulit membayangkan itu orang yang sama dengan yang ingin mematahkan leherku.
Faith pasti akan sangat gampang memenangkan piala citra seandainya berkecimpung di dunia film. Aku tidak bisa menyalahkan Pak Jenderal kalau sering tertipu oleh cucu kesayangannya itu.
"Menurut gue, lo sebaiknya lepas investasi itu," kata Tanto setelah aku menyelesaikan ceritaku. "Lo masih bisa dapatin investor lain dengan cara yang benar. Memanipulasi pernikahan dan mengelabui orangtua demi uang nggak bisa dibenarkan."
"Gue setuju sama Tanto," sambut Dhyas. "Yang lo lakukan untuk dapatin investasi itu gila dan di luar nalar. Bahkan terlalu gila untuk ukuran lo sendiri yang memang sinting."
"Apa yang mau lo lakuin sama hidup lo itu urusan lo sendiri sih, Kha," ujar Yudis. "Gue hanya mau ngingetin kalau apa yang lo rencanakan nggak selalu berjalan lancar. Bisa jadi lo malah jatuh cinta sama cucu Pak Jenderal. Siapa namanya?"
"Faith," jawabku sambil tersenyum lebar. "Ya nggak mungkinlah gue jatuh cinta sama dia!"
"Kenapa nggak mungkin? Dia perempuan dan lo laki-laki normal. Gue dulu juga nggak cinta sama Kay waktu baru PDKT, tapi lihat gimana stresnya gue saat dia ninggalin gue."
"Kasusnya beda cerita sama elo, Dis," bantahku. "Lo beneran nikah sama Kayana. Nggak merencanakan perpisahan. Tentu saja lo harus berusaha mencintai dia kalau mau pernikahan lo berhasil."
"Gue nggak pernah berusaha mencintai Kay. Itu terjadi begitu aja. Gue percaya kalau cinta itu bisa tumbuh karena sering bersama. Dan itu yang akan terjadi kalau lo terus sama-sama dengan Faith."
Aku menggeleng kuat-kuat. "Lo semua akan mengerti maksud gue kalau sudah lihat Faith."
"Dia jelek banget?" tanya Risyad dengan raut tidak percaya.
"Jelek atau cantik itu relatif sih." Aku lebih fokus pada tubuh kkurus kering Faith daripada wajahnya. "Tapi dia kurus banget. Angin sepoi-sepoi aja udah cukup untuk terbangin dia sampai ke Maldives. Untuk bikin gue tertarik, perempuan harus punya lekuk tubuh, man. Ada tempat empuk yang bisa dipegang."
"Cinta itu kalau mau datang, ya datang aja, bro. Nggak pandang bentuk tubuh. Makanya orang-orang bilang kalau cinta itu buta karena penilaiannya lebih ke rasa, bukan sekadar mata aja."
Aku mencibir pada Risyad. "Itu yang terjadi sama lo saat bertemu Kiera. Karena itu lo fine-fine aja nunggu dia mau diajak nikah. Gue sih nggak percaya cinta itu ada."
"Kenapa gue pengin lihat lo jilat ludah sendiri ya?" sembur Tanto. "Gue nggak sabar lihat lo kelimpungan karena jatuh cinta sama perempuan yang udah lo kata-katain. Body shaming itu jahat, man. Apalagi perempuan sensitif banget sama bentuk tubuh mereka."
Dyas menepuk punggung Tanto bersimpati. "Gue bantu aminin deh. Kita tinggal ketawain dia aja kalau udah blingsatan jatuh cinta sama perempuan yang nggak punya perasaan apa-apa sama dia."
Aku terbahak-bahak mendengar omongan absurd teman-temanku. Ya kali, aku jatuh cinta sama lembaran vinyl itu. Tidak mungkin kejadianlah!
**
Sila mlipir ke Karyakarsa kalau mau baca lebih cepet ya. Di sini akan slow update banget.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Rakha
RomanceKalau ada satu hal yang dihindari Rakha, itu adalah komitmen dengan lawan jenis. Dia menikmati kebebasannya dan tidak berniat menghadirkan seorang perempuan secara permanen dalam hidupnya. Monogami bukan prinsip hidupnya. Sayangnya dia harus menguba...