Delapan Belas

5.4K 1.1K 126
                                    

KEDATANGAN Pak Tua dan Tante Rose adalah untuk menjemput aku dan Faith. Kami akan berziarah ke makam orangtua Faith yang hari ini tepat lima belas tahun telah meninggalkan dunia. Mereka berpulang saat umur Faith belum genap lima tahun.

"Kamu nggak bilang sama Rakha?" Nada Tante Rose langsung naik dua oktaf saat Faith mengatakan jika dia belum memberitahuku tentang ziarah kubur tersebut.

Aku memang tidak tahu menahu. Kalau tahu, aku tidak mungkin menghabiskan waktu meladeni tantangan Faith di kolam renang.

Faith mengangkat bahu nggak peduli. "Rakha nggak harus ikut, kan? Mungkin aja dia ada acara lain di luar rumah weekend gini."

"Rakha itu suami kamu, jadi dia sudah jadi bagian dari keluarga. Masa kamu nggak ngerti konsep sesederhana itu sih? Hari ini adalah peringatan lima belas tahun papa dan mama kamu meninggal, jadi dia harus ikut dong. Kegiatan dia yang lain bisa dijadwal ulang. Saat orang sudah menikah, keluarga menjadi yang utama. Kalau tidak, rumah tangga kamu akan berakhir seperti pernikahan Tante."

"Jangan ditakut-takutin gitu, Rose," gerutu Pak Tua menengahi. Dia lantas menatapku. "Kamu ada acara lain?"

Aku menggeleng. "Tidak ada, Kek," jawabku semanis mungkin pada sumber tambang uangku itu. Acara sepenting apa pun pasti bisa kubatalkan untuknya. "Kalaupun ada, seperti kata Tante Rose, tentu saja saya akan membatalkannya dan ikut berziarah ke makam papa dan mama Faith. Itu sudah kewajiban saya sebagai menantu."

Seandainya teman-temanku berada di sini dan mendengar apa yang baru saja aku katakan, mereka pasti akan muntah-muntah sampai semua isi perut, termasuk usus dan lambungnya keluar saking mualnya.

Aku memang seorang oportunis sejati, aku akui itu. Tapi siapa yang akan melewatkan kesempatan yang sangat dibutuhkannya saat lewat di depan mata? Orang suci mungkin bisa melakukannya, tapi aku bukan orang suci, dan tidak berniat menjadi orang seperti itu. Jadi, ya, memanfaatkan kesempatan adalah jalan ninja yang akan selalu kuambil untuk mengamankan kepentinganku.

Kami kemudian pergi ke wilayah Kawarang, tempat peristirahatan abadi kedua orangtua Faith. Aku memilih membawa mobil sendiri bersama Faith. Pak Tua dan Tante Rose naik mobil yang dikemudikan sopir, sedangkan om dan tante Faith yang lain sepakat untuk bertemu pemakaman.

"Kenapa kamu nggak bilang kalau hari ini adalah hari peringatan kematian orangtuamu?" tanyaku pada Faith. Tadi aku sudah mendengar jawabannya saat Tante Rose menanyakan alasan Faith untuk pertanyaan yang sama, tapi aku tahu jika tadi itu Faith tidak menjawab dengan jujur.

"Peringatan ini sebenarnya hanya ritual yang sengaja dipertahankan Kakek supaya aku tetap mengingat orangtuaku." Faith mengedikkan bahu. "Tapi jujur, aku nggak ingat apa pun tentang orangtuaku karena aku masih kecil banget saat mereka meninggal. Apa aku durhaka karena nggak bisa merasakan apa pun tentang mereka?" Faith balik bertanya.

Aku tidak punya jawaban untuk pertanyaan seperti itu. Aku masih punya orangtua lengkap. Aku tidak bisa menempatkan diri pada posisi Faith.

"Aku memang nggak punya orangtua, tapi nggak pernah merasa kekurangan kasih sayang," kata Faith lagi tanpa menunggu jawaban yang tidak bisa kuberikan. "Sosok ayah untukku adalah kakek. Aku juga punya Bu Zoya, Kak Jessi, dan Kak Jane yang sayang banget sama aku. Ada juga Tante Rose yang selalu ngomel, tapi aku tahu dia juga sayang dan peduli sama aku. Tante dan omku yang lain memang nggak terlalu dekat sama aku karena mereka sibuk dengan pekerjaan mereka. Tapi nggak apa-apa. Aku nggak perlu limpahan cinta semua keluarga besar untuk tumbuh normal. Banyak orang di luar sana yang jauh lebih nggak beruntung, nggak punya keluarga dan hal-hal yang sifatnya material, tapi mereka juga tumbuh dengan baik. Keterlaluan banget kalau aku menjadikan ketiadaan orangtua sebagai alasan untuk jadi pemberontak. Tanpa orangtua, aku nggak pernah merasa menjadi anak broken home yang kurang perhatian. Kakek sebenarnya nggak perlu mengadakan ritual ini karena sulit menumbuhkan ikatan dengan orang yang sudah nggak ada. Aku tahu kok kalau aku berkewajiban mengingat, mendoakan, dan berziarah ke makam orangtua, tapi aku ingin melakukannya karena dorongan dari dalam hati sendiri, bukan karena disuruh Kakek. Rasanya seperti nggak ikhlas aja."

Karma RakhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang