Sepuluh

5.6K 1.1K 91
                                    


SUARA dentaman musik dengan bahasa yang tidak familier di telingaku terdengar saat aku masuk kamar. Keributan ini jelas berasal dari kamar sebelah. Sebenarnya aku tidak peduli kalau volumenya tidak mengganggu. Aku jelas tidak bisa tidur dengan keributan seperti ini.

Aku mulai merindukan apartemenku yang tenang, padahal belum genap dua minggu aku berada di rumah ini. Kamar Faith benar-benar harus dibuat kedap suara supaya aku bisa mendapatkan kembali tidur yang berkualitas.

Aku menguak pintu penghubung setelah ketukanku tidak mendapatkan jawaban. Memang sulit mendengar ketukan pintu kalau suara musiknya menggelegar seperti itu.

Dari dalam kamar Faith, suara musik itu semakin memekakkan telinga. Mungkin saja selaput gendang telinga anak itu sudah rusak sehingga dia butuh volume maksimal untuk mendengarkan musik.

Si pemilik kamar sedang bersila di tengah ranjang superlebarnya. Jari-jarinya menari di atas keyboard laptop sambil berteriak-teriak mengikuti musik. Astaga...!

Aku meraih remote yang tergeletak di bagian kaki ranjang dan mematikan musiknya. Hilangnya suara musik diikuti tatapan protes Faith padaku.

"Kenapa dimatiin, Om Bule?" Bibirnya spontan maju beberapa sentimeter.

Telingaku mulai menebal dan beradaptasi dengan panggilan "Om Bule" itu. Percuma meralatnya karena Faith malah akan makin semangat menggodaku.

"Sekarang sudah hampir tengah malam." Setiap kali berinteraksi dengan Faith, aku merasa mencapai level tertinggi kesabaranku. Setelah satu tahun bersamanya, aku mungkin sudah mencapai level biksu. Aku tidak punya pilihan karena tidak mungkin beradu urat leher dengan anak-anak. Kedewasaanku bisa dipertanyakan. "Aku nggak bisa tidur kalau volume musik kamu kayak gitu."

"Tapi aku nggak bisa konsen kalau ngerjain tugas tanpa musik." Faith tetap cemberut. "Dengerin suamiku nyanyi itu berasa disemangatin. Om Bule nggak punya tutup telinga?"

Aku menggeleng, berusaha meredam kekesalan. "Tutup telinga nggak akan membantu kalau volume musik kamu kayak tadi."

"Kalau gitu tahan aja, soalnya tugas ini harus dikumpulin besok pagi. Atau Om Bule bisa pindah ke kamar di bawah aja dulu." Sangat khas bocil yang suka memerintah.

"Kenapa tugas yang harus dikumpulin besok baru kamu kerjain tengah malam gini? Aku yakin tugasnya udah dikasih paling nggak, udah dari minggu lalu."

Faith menatapku pongah. "Aku suka bekerja di bawah tekanan. Tekanan bikin adrenalinku naik. Aliran darah ke otak juga lebih lancar, jadi aku bisa mikir lebih baik." Dia mengibaskan tangan mengusirku. "Om Bule, tolong keluar dari kamarku ya. Dengerin ceramah dan lihat muka Om malah bisa bikin otakku balik beku lagi, padahal ini udah masuk bab pembahasan."

Dasar bocah. Dia belum bica menilai dan menghargai ketampanan seorang laki-laki dewasa dengan baik. Untunglah aku sadar kalau dia masih anak-anak dan sedang menikmati dunia halunya dengan artis Korea sehingga aku tidak perlu merasa tersinggung. Apalagi dia bukan tipe yang aku inginkan untuk menghangatkan tempat tidurku. Selain dia masih bocah, dia juga kekurangan daging yang bisa membangkitkan hasrat.

Aku kembali ke kamarku untuk mandi dan berganti pakaian. Suara berisik dari kamar Faith bukan jenis musik yang bisa kujadikan pengantar tidur, jadi aku akhirnya turun ke lantai bawah seperti perintah bocah itu. Aku butuh tidur yang cukup dan berkualitas untuk bekerja.

Ada banyak hal yang harus dilakukan setelah uang investasi Pak Tua cair. Antusiasme dan adrenalin menyerap semua fokusku pada pekerjaan. Untuk sementara, aku sama sekali tidak sempat memikirkan tentang seks. Tidak ada ruang dan waktu untuk hal itu. Untuk orang-orang yang kenal aku dan punya persepsi sendiri untuk track record-ku dengan perempuan cantik, mereka pasti akan menganggap kata-kataku menggelikan dan tidak masuk akal. Tapi itu benar. Rencana-rencana ambisiusku yang siap diwujudkan dengan bantuan uang Pak Tua, dan mungkin saja ancamannya untuk mencabut nyawaku dan menyebarkan abu hasil pembakaran jasadku di laut sehingga aku akan hilang tanpa jejak lebih menakutkan dari ancaman virus Corona yang berhasil membuatku hidup selibat selama setahunan.

Karma RakhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang