Sebelas

5.6K 1.1K 112
                                    

PEMANDANGAN di ruang tengah agak mengejutkan saat aku pulang kantor lebih awal daripada biasanya. Ruangan yang biasanya senyap itu sekarang tampak ramai. Bu Zoya sedang mengawasi beberapa orang laki-laki yang sedang memasang foto pernikahanku dengan Faith.

"Aku sudah bilang kalau foto-foto itu nggak usah dipasang." Faith yang menyadari kehadiranku mendengus dengan tampang cemberut. "Aneh aja kelihatannya."

"Foto-foto itu harus dipasang kalau kamu nggak mau kakek kamu curiga," sambut Bu Zoya datar tanpa mengalihkan perhatiannya dari para lelaki kekar yang sedang memasang foto berukuran superbesar itu.

"Makeup-ku nggak banget," protes Faith masih berlanjut. Dia menunjuk foto yang akhirnya terpasang. "Padahal aku udah bilang sama makeup artist-nya kalau aku mau yang Korean look. Yang makeup no makeup look gitu. Itu eye shadow-nya kelewat tebel. Mana ada Korean look pakai eye shadow warna gelap kayak gitu!"

"Kamu cantik banget di foto itu, Faith." Walaupun itu kalimat pujian, nada Bu Zoya masih sedatar tadi. "Kamu nggak pernah secantik itu. Makeup artist-nya tahu gimana menonjolkan kelebihan wajah kamu. Daripada ngomel-ngomel nggak jelas, lebih baik kamu ajak Pak Rakha makan malam."

Faith mengentakkan kaki, seperti anak umur lima tahun yang tidak diizinkan mengambil permen favoritnya saat masuk di supermarket. Tapi dia tidak membantah Bu Zoya lagi. Faith berjalan menuju ruang makan.

Aku mengikutinya. Tadi aku malas mampir di restoran, jadi belum makan malam.

"Nggak usah cemberut gitu," kataku menghiburnya. "Nanti, kalau kamu nikah lagi saat sudah dewasa, kamu pasti bisa mempersiapkannya sesuai keinginanmu. Terutama untuk urusan makeup artist-nya."

Faith mengembuskan napas panjang. "Menikah adalah angan-angan jangka panjang karena itu nggak akan gampang. Aku harus membuat calon suamiku tahu kalau aku hidup, dan aku harus bersaing dengan jutaan perempuan lain di dunia untuk mendapatkan satu-satunya tempat di hatinya. Tapi aku percaya diri kok."

Ekspresi dan caranya bicara Faith membuatku tertawa. Dia tampak seperti bocah yang percaya bahwa Cinderella dan Putri Salju itu benar-benar nyata. Bahwa Ibu Peri bisa mengubah labu menjadi kereta kencana, dan ciuman seorang pangeran bisa membangkitkan seorang putri dari tidur panjangnya. Beginilah jadinya kalau seorang anak dibesarkan dalam dunia khayal. Sampai besar pun dia belum bisa move on. Seperti Faith yang memilih pujaan hati yang tidak bisa dia jangkau.

"Percaya diri itu perlu," aku membesarkan hati Faith. Aku nyaris tidak pernah memberi kata-kata manis yang menyuntikkan semangat pada perempuan karena mereka biasanya gampang baper. Kata-kata manis dan pujian sering disalahartikan sebagai perhatian. Lebih baik menghindari perempuan yang merasa punya harapan karena mereka akan mengejar. Tapi Faith tidak termasuk dalam kategori perempuan dewasa, dan sepertinya, satu-satunya hal yang akan membuatnya baper hanyalah artis Korea yang diakuinya sebagai suami. "Harus, malah. Semua hal yang dikerjain dengan percaya diri itu hasilnya selalu lebih baik daripada yang diawali keraguan."

Faith menarik kursi dan duduk. Bola matanya berputar lalu mencibir ke arahku. "Tadi itu aku hanya bergurau. Aku nggak senaif itu. Aku tahu kalau ada idol yang berkencan dan kemudian menikah dengan fans-nya. Tapi persentasenya hanya nol koma nol sekian persen, Om Bule. Aku realistis kok. Tapi fangirling itu bukan dosa. Nyenengin banget malah, karena bisa kenal banyak orang dari seluruh dunia. Nggak ada fandom yang lebih besar dan solid daripada Army."

"Tentara negara mana?" tanyaku pura-pura tertarik pada percakapan yang kujalin dengan Faith. Meskipun tinggal serumah, kami jarang bertemu. Biasanya aku sarapan dan keluar rumah lebih dulu daripada Faith. Saat pulang, Faith sudah berada di dalam kamarnya, yang terdengar hanyalah suara televisinya yang putar dengan volume maksimal.

Karma RakhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang