27-28

5.9K 1K 191
                                    

AKU menjadi orang terakhir yang bergabung di kafe tempat gengku biasa berkumpul. Tanto tadi melempar ajakan untuk bertemu di tempat ini, dan kebetulan semua anggota grup bisa hadir.

"Ini akan jadi acara kumpul-kumpul kita yang terakhir gue berstatus sebagai single," kata Tanto bangga.

Dia sepertinya belum menyadari jika gerbang pernikahan lebih mirip pintu penjara yang akan menyedot habis kebebasannya sebagai laki-laki merdeka. Sekali masuk, dia akan sulit keluar dari sana. Untunglah aku tidak terlibat dalam pernikahan seperti itu. Beberapa bulan lagi, aku akan kembali pada kehidupan lamaku yang bebas.

"Kali ini beneran jadi?" tanyaku skeptis. Bukan apa-apa, rencana pernikahannya sudah dua kali mengalami penundaan. Pertama karena nenek Renjana sakit dan harus dirawat di Singapura cukup lama, dan penundaan kedua terjadi karena giliran ayah Tanto yang mendadak diangkut ke IGD, padahal sebelumnya dia sehat-sehat aja. "Kalau pernikahan lo ditunda sampai tiga kali, lo harus mempertimbangkan untuk membatalkannya, man. Itu artinya semesta memberi tanda kalau Renjana bukan jodoh lo. Mungkin aja lo nggak ditakdirkan untuk menikah. Garis tangan orang nggak ada yang tahu, kan?"

Tanto menatapku sebal. "Mulut lo gatal-gatal kalau nggak mengeluarkan kata-kata yang bikin orang jengkel ya? Tentu aja Renjana sudah ditakdirkan bersama gue. Kali ini nggak akan ada penundaan lagi. Besok, Nyonya Subagyo dan ibu Renjana akan berangkat ke resor untuk mengawasi persiapan acara. Renjana dan keluarga dekat yang lain juga akan ikut. Kita berangkat hari Kamis. Acaranya hari Sabtu jadi kalian bisa istirahat di sana dulu. Senin kalian balik ke Jakarta. Tapi kalau mau tinggal lebih lama seperti gue dan Renjana, terserah kalian aja."

"Jangan suka ngomel. Kasihan Renjana kalau lo pakai tongkat sebelum waktunya dan kehilangan vitalitas karena cepat tua. Ntar dia nyesal udah nikah sama lo. Surga dunianya nggak bertahan lama."

Tanto tertawa. "Lo nggak merasa butuh kaca? Lo bahkan dipanggil "om" sama istri lo sendiri. Itu tanda kalau istri lo bahkan sudah menganggap lo uzur sekarang, nggak perlu tunggu nanti."

Ucapan Tanto disambut gelak teman-temanku yang lain.

"Itu karena hubungan gue sama Faith nggak berbau romantis. "Om" itu panggilan ejekan. Untuk apa bermanis-manis kalau tahu hubungan kami nggak permanen?"

"Orang bilang, ucapan itu doa, bro," kata Risyad. "Jadi lebih baik lo bicara yang baik-baik aja tentang istri lo dan hubungan kalian. Lo sendiri yang akan merana kalau ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Lo harusnya sudah belajar hal itu dari Yudis dan Dyas."

"Kenapa masa lalu gue yang kelam harus lo ungkit-ungkit lagi sih?" gerutu Yudis. "Bagian itu udah gue anggap sebagai mimpi buruk yang nggak nyata."

"Jangan dilupain dong, bro. Kerja keras lo buat dapetin Kayana part dua yang menghalalkan segala cara harus tetap lo ingat supaya lo tetap menghargai dia."

"Gue selamanya akan selalu menghargai Kay," ujar Yudis membalas Risyad. "Kay adalah ibu anak-anak gue, nggak mungkinlah gue berani macam-macam sama Kay. Yang coba gue lupain itu adalah perasaan traumanya. Perempuan yang mandiri itu nggak punya banyak pertimbangan saat memutuskan pergi ketika merasa harga dirinya terluka."

"Nyonya Subagyo bilang, perempuan akan kehilangan sebagian besar kemandiriannya setelah punya anak karena pertimbangan mereka ketika mengambil keputusan bukan lagi berdasarkan ego pribadi, tapi lebih pada kepentingan dan kebahagiaan anak mereka."

"Berarti gue harus membujuk Kay untuk nambah anak dong. Karena semakin banyak anak, kemungkinan Kay untuk ninggalin gue akan semakin kecil."

"Istri lo nggak akan pergi selama uang belanja dan performa lo di atas tempat tidur bikin dia puas," selaku bosan. Ini tema percakapan yang selalu berulang. "Selain kenyamanan, perempuan hanya butuh uang dan multiple orgasme untuk bertahan dalam hubungan."

Karma RakhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang