FAITH langsung masuk ke kamar mandi begitu sampai di cottage. Dia ceroboh seperti biasa dengan membiarkan pintu kamarnya tidak tertutup rapat, jadi aku bisa masuk dengan mudah. Aku menunggu di tempat tidurnya yang sudah dirapikan oleh petugas room service, bersandar di kepala ranjang.
Kali ini dia tidak akan bisa meloloskan diri. Aku tidak akan memperpanjang puasa seks. Cukup sudah. Aku tidak perlu repot mencari di luar dengan mempertaruhkan leher dan nyawa. Untuk sementara, Faith cukup. Mungkin tidak akan sememuaskan seperti ketika melakukannya bersama seorang pro yang jam terbangnya sudah tinggi, tapi pasti lebih baik daripada emisi nokturnal yang tidak nyata.
Faith anak yang cerdas. Dia akan belajar dengan cepat karena dia memiliki guru yang sangat berkualitas dan kompeten seperti aku. Aku yakin itu. Pasti. Kualitas murid tidak hanya ditentukan oleh kapasitas otaknya, tapi kompetensi pembimbingnya. Faith punya keduanya. Otak dan guru yang cemerlang. Suatu saat kelak, dia akan berterima kasih karena telah berhasil membuatnya jadi seorang Dewi Seks.
"Om ngapain di sini!" bentakan Faith memutus angan-angan liarku.
Aku tidak mendengar Faith membuka pintu kamar mandi, jadi tidak menyadari kehadirannya sampai dia berdiri tidak jauh dari ranjang yang kutempati. Faith memakai dua handuk untuk membungkus tubuhnya. Satu menutup tubuh, dari pangkal lengan sampai paha, dan satunya lagi membungkus kepala untuk mengeringkan rambut. Dia tidak seseksi tadi ketika hanya dibalut bikini minim, tapi tetap saja mampu membuat Junior yang mendadak murahan tersentak, mengeliat bangun. Mungkin karena otakku sudah mengantisipasi apa yang akan kulihat dan akan terjadi beberapa menit ke depan. Aku tidak bisa menyalahkan Junior. Hibernasi sekian lama pasti membuatnya lapar. Dan orang lapar biasanya tidak pemilih. Apa pun yang ada di depannya akan dilahap habis. Orang cenderung baru akan memilih ketika tidak berada dalam kondisi yang terdesak. Sekarang Junior sudah berada di tepi jurang, dan hanya Faith yang tersedia untuk menyelamatkannya, membuatnya hidup dan merasa tercukupi.
"Semalam kita belum selesai." Aku turun dari ranjang dan menghampiri Faith. Tubuhnya tertutup handuk, tapi yang kulihat adalah dadanya yang terbuka semalam, dan celana minim bertali yang dia pakai tadi. Junior jelas menyukai apa yang ada di pikiranku. Aku bisa merasakannya menggeram di bawah sana. "Aku selalu menuntaskan apa sudah aku mulai."
"Sekarang?" tanya Faith.
"Iya, sekarang." Aku tidak bisa menunggu lebih lama. Junior akan membuatku sakit kepala kalau keinginannya tidak dituntaskan. Dia sudah kecewa sejak semalam. Keterampilan tangan dan losion tidak memuaskannya. Dia butuh sesuatu yang lebih nyata daripada pelumas buatan untuk membuatnya bersorak. Dia butuh tubuh yang hangat. Dia butuh mendengar erangan yang tidak berasal dari mulutku. "Kita berada di tempat yang sempurna dan waktu yang tepat untuk melakukannya, Faith," bujukku. Ranjang empuk sudah menunggu hanya beberapa sentimeter, mengundang untuk dipakai bergumul. Aku boleh saja hidup selibat, tapi tidak pernah mengeluarkan kondom dari dompet. Harus selalu siap siaga untuk kejadian tidak terduga. Dan aku tidak salah. Sekarang aku memang membutuhkannya. Saat berangkat dari Jakarta, aku sama sekali tidak mengantisipasi kejadian ini. Dan lihatlah perkembangan kontak fisikku dengan Faith. Kami sudah sampai di tahap, di mana peran kondom sangat krusial.
"Aku bukannya nggak mau sih, Om." Faith balas menatapku. "Jujur, aku penasaran. Saat nonton drama dan film-film, bercinta itu kelihatannya menyenangkan. Itu termasuk adegan yang aku tunggu karena setelah bercinta, chemistrypemeran dalam cerita itu makin terlihat. Penulis skenarionya berhasil membuat kesan kalau ikatan pasangan dalam cerita itu akan makin erat setelah bercinta. Teman-temanku yang udah pernah having sex sama pacar mereka juga bilang enak. Wajar kalau aku penasaran, ta—"
"Memang enak," potongku tidak sabar. "Kalau nggak enak, orang nggak mungkin bolak-balik melakukannya. Itu kebutuhan primer yang diperlukan manusia untuk tetap merasa hidup. Nggak ada stress relief di muka bumi yang seampuh seks." Aku mengulurkan tangan menarik handuk di kepala Faith. Benda itu lantas kulempar sembarangan.
"Taruhannya masih berlaku, kan?" Faith menyisir rambut basahnya yang berantakan dengan jari-jari.
"Tentu saja. Aku nggak akan lupa taruhan yang melibatkan Range Rover-ku." Aku menelan ludah melihat handuk Faith ikut bergerak ketika tangannya merapikan rambut. Aku berharap benda itu akan segera jatuh. Semua harapan burukku tampak sebagai opsi terbaik saat ini.
"Nah, karena itu aku mau main fair, Om. Range Rover itu harganya nggak murah. Sekarang aku capek banget setelah berjam-jam main di pantai bersama Mbak Renata, Mbak Kayana dan anak-anak mereka. Kemungkinan aku nggak menikmati akan jauh lebih besar. Apalagi teman-temanku yang udah lepas segel bilang kalau yang pertama itu nggak nyaman banget. Enaknya kalo udah berulang. Om beneran mau kehilangan Range Rover? Gimanapun, deal is a deal, Om. Aku nggak akan memuaskan ego Om dengan bilang enak, padahal nggak enak. Terus, kalau aku bilang nggak enak, harga diri kamu pasti terluka. Kamu akan meragukan kapasitas kamu sebagai mesin pemuas perempuan, Om."
Sialan, mendengar kata-kata Faith saja egoku sudah terusik. Bisa-bisanya dia meragukan kemampuanku dalam urusan ranjang. Selain pekerjaan kantor, seks adalah hal yang aku kuasai di luar kepala. Aku pakarnya. Tapi Faith ada benarnya. Memuaskan perempuan yang pro dan perawan tentu saja berbeda. Kesiapan dan mood Faith memang harus bagus dulu untuk bisa menggiringnya dalam suasana erotis yang dapat membuat hasratnya yang belum terlatih itu bangkit.
"Masalahnya, Faith...." Aku membuka kancing celana pendek dan melepasnya bersama dalamannya sekalian. Aku tidak didesain untuk malu-malu dan menyembunyikan keinginan. Aku terus terang dan blak-blakan. "Aku udah turn on." Aku menuntuk, melihat Junior yang berdiri sombong, menuntut haknya. "Kalau kita nggak bisa having sex sekarang, seenggaknya kamu harus membantuku membuatnya tidur lagi."
"Ewwwhhh, Om...!" Mulut dan mata Faith terbuka sama lebar. Keterkejutannya menunjukkan kalau ini adalah kali pertama dia melihat seorang laki-laki telanjang di depannya. Aku masih memakai kaus, tapi karena ukuran telanjang untuk laki-laki adalah terbuka di bagian alat vital, jadi aku bisa dibilang telanjang. "Kamu beneran mesum banget. Masa lihat orang pake handuk aja udah turn on sih?" Faith menutup mulut dan mata dengan kedua telapak tangan. Beberapa detik kemudian dia merenggangkan jari-jari dan mengintip dengan sebelah mata. Dia jelas penasaran. "Itu ukurannya memang tergantung postur orang ya? Makin tinggi orangnya, ukurannya makin panjang dan gede juga?"
"Tergantung keberuntungan dan setelan pabriknya. Aku termasuk yang beruntung," jawabku tidak sabar. "Aku menghargai keinginanmu untuk bermain fair, jadi kita bisa menunggu sampai nanti sore setelah kamu istirahat untuk having the real sex. Tapi aku beneran butuh bantuan untuk ejakulasi. Anggap saja sebagai pelajaran awal dan pemanasan untuk nanti sore."
Faith melepaskan kedua tangan dari wajahnya. Kali ini dia menatap Junior terang-terangan. "Gimana caranya?" Nadanya memperjelas rasa penasaran yang terpancar dari ekspresinya.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan Faith untuk membantuku ejakulasi tanpa harus melewati tahap penetrasi. Beberapa di antaranya berseliweran di otak kotorku yang sudah terkontaminasi gairah. Tapi cara-cara yang melibatkan oral itu tidak cocok untuk pemula seperti Faith karena dia tidak mungkin siap menerima apalagi melakukannya. Apa boleh buat, aku tidak punya pilihan selain maju dengan opsi paling dasar yang sangat tidak menarik dan menggairahkan. Tapi Junior pasti lebih suka berada dalam genggaman Faith daripada tanganku sendiri.
Aku menendang celana yang masih berada di ujung kakiku. "Akan aku ajari caranya."
Pelajaran anatomi untuk bab pengenalan organ reproduksi eksternal pria secara langsung akan dimulai Faith hari ini. Sekarang. Dia beruntung karena mendapat guru yang sangat seksi dan sedang dalam keadaan ereksi penuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Rakha
RomanceKalau ada satu hal yang dihindari Rakha, itu adalah komitmen dengan lawan jenis. Dia menikmati kebebasannya dan tidak berniat menghadirkan seorang perempuan secara permanen dalam hidupnya. Monogami bukan prinsip hidupnya. Sayangnya dia harus menguba...