Tiga Belas

5.1K 1.2K 158
                                    

"KITA nggak usah lama-lama di tempat teman kamu ya," kata Faith untuk ketiga kalinya sejak mobil meninggalkan rumah. Kelihatannya dia sudah menyesali keputusannya ikut denganku ke rumah Yudis. "Aku nggak terbiasa hangout sama om-om dan tante-tante. Bingung aja mau ngobrolin apa karena pasti nggak nyambung."

Aku meringis. "Teman-temanku nggak setua itu kok. Mereka juga asyik."

"Kalau udah di atas 30 tahun, itu udah tua, Om Bule!" Faith mencibir. "Jokes-nya pasti udah jokes bapak-bapak yang garing banget."

"Laki-laki di atas 30 tahun itu bukan tua, tetapi matang," ralatku, tidak terima dengan penilaian Faith. "Secara fisik dan emosi. Tiga puluhan adalah masa emas seorang laki-laki."

"Tentu saja kamu bilang begitu karena umur kamu udah di atas 30 tahun," bantah Faith sengit. "Itu pembelaan diri om-om. Semua orang juga tahu kalau periode emas manusia itu, nggak peduli laki-laki atau perempuan, pastilah dua puluhan. Dan nggak lama lagi aku akan masuk dalam periode itu. Yeaaay...!" Tangan Faith terkepal dan dinaikkan meninju udara.

"Hei, hati-hati dong!" Aku menjauhkan kepala yang hampir terkena tinjunya. Tangannya memang kecil, dan kekuatannya pasti tak berarti. Refleksnya yang mengejutkanku. Untung saja aku tidak spontan membanting setir. "Jangan bergerak tiba-tiba kayak gitu. Kalau aku nabrak pembatas jalan tol, kamu nggak akan sempat mencapai periode emas hidup yang kamu tunggu-tunggu itu."

Faith terkikik tanpa rasa bersalah. "Gampang kaget itu adalah salah satu tanda-tanda penuaan, Om Bule. Terima aja itu."

Itu teori konyol yang baru dia ciptakan, tapi percuma berdebat sama bocah. Tidak ada orang dewasa waras yang bisa memenangkan perdebatan dengan anak di bawah umur.

"Kamu nggak akan bosan di rumah Yudis." Aku mengalihkan percakapan. "Sepertinya, Renjana, tunangan Tanto juga Army. Tapi aku rasa dia cuman penggemar biasa aja karena dia nggak aktif kayak kamu." Tunangan Tanto punya penyakit jantung, tapi aku tidak berhak menceritakan kondisinya kepada orang lain, meskipun itu Faith.

"Beneran?" Semangat Faith kembali lagi. "Aku bilang juga apa! Army itu nggak kenal umur. Anggotanya mulai dari anak-anak sampai nenek-nenek. Seumuran tante-tante pasti banyak. Ya, biar pun beda generasi, seenggaknya, aku jadi punya teman. Ada banyak hal yang bisa diomongin sebagai sesama Army."

Aku tak bisa menahan tawa. "Renjana bukan tante-tante. Dia cuman beda beberapa tahun sama kamu. Kiera dan Anjani juga nggak bisa dimasukin dalam kategori tante-tante. Lihat aja nanti, kalian pasti nyambung kok."

Faith bersiul panjang. "Maksudnya, teman-teman kamu sukanya sama daun muda?"

Cara Faith menyebut teman-temanku mengesankan kalau mereka sudah sangat tua dan siap pakai tongkat untuk menokong supaya mereka bisa berdiri tegak.

"Kamu nggak lihat teman-temanku waktu mereka datang di acara kita?" Rasanya masih tidak masuk akal saja teman-temanku dianggap tua.

Faith berdecak. "Memangnya kamu hafal muka semua om dan tante aku? Waktu itu aku terlalu sibuk mengutuk makeup artist yang bikin mata aku kelihatan seperti zombie."

Masuk akal sih. Acara kami tempo hari bukan hal yang kami anggap serius yang harus mendapatkan semua fokus dan perhatian kami. Faith masih punya waktu untuk mengulang pengalaman menikah. Saat itu dia tidak akan bersikap sama karena melakukannya dengan khikmat dan sepenuh jiwa.

"Aku yakin kalau penilaian kamu berubah setelah nanti ketemu dan ngobrol sama mereka."

Semua teman-temanku sudah ada dalam formasi lengkap saat kami sampai di rumah Yudis. Aku dan Faith bergabung di meja makan yang penuh dengan beraneka hidangan.

Karma RakhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang