Dua Puluh Dua

5.4K 1.1K 72
                                    

PASTI ada yang salah dengan setelan otakku. Bisa-bisanya hasratku terbangkitkan oleh orang yang sebelumnya aku anggap sebagai anak kecil. Aku memikirkan hal itu dalam perjalanan pulang ke rumah dari kelab.

Faith tidak bohong saat mengatakan aku terangsang saat mencium dan menyentuhnya. Dadanya memang tidak sebesar ukuran favoritku, tapi cukup untuk mengakomodir kebutuhan telapak tanganku. Otakku tidak perlu waktu lama untuk membangunkan si Junior. Benar-benar sial. Rasanya seperti menjilat ludah sendiri. Menjijikkan. Aku menjelma menjadi pedofil yang nista itu.

Faith manyun dan diam sepanjang jalan. Begitu mobil berhenti di garasi, dia menutup pintu dengan kekuatan dua puluh tenaga kuda sehingga seluruh badan mobil ikut bergetar. Kalau saja aku memakai mobil dengan merek sejuta umat, aku yakin pintunya akan langsung jebol. Tenaga dalam anak itu saat sedang marah benar-benar menakutkan. Tanpa menoleh sama sekali, dia menghambur ke dalam rumah seperti badai berkekuatan penuh.

"Ada apa?" tanya Bu Zoya yang berdiri di ruang tengah, seperti sengaja menungguku. Dia pasti menanyakan hal yang sama, tapi diabaikan oleh Faith yang sedang emosi. "Kenapa bisa pulang sama Faith, bukannya dia sudah izin mau nginap di rumah Katty? Dan kenapa pakaiannya seperti itu?" Bu Zoya tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran seperti biasa. Kali ini ekspresinya tidak datar. Hanya Faith yang bisa membuatnya seperti itu.

"Tadi saya bertemu dia di kelab. Dia marah waktu saya paksa pulang."

Bu Zoya menghela dan mengembuskan napas panjang. "Lain kali dia nggak usah diizinin nginap di luar kalau nggak sama Bapak. Faith tidak beneran nakal, dia hanya masih sering mengambil keputusan secara impulsif dan belum bisa sepenuhnya bertanggung jawab untuk tindakan yang dia ambil."

"Saya tahu, Bu." Aku bisa paham dengan apa yang dilakukan Faith. Dia naksir Brian, jadi tentu saja Faith akan memanfaatkan kesempatan untuk bisa berada dengan laki-laki itu. Dia tidak mungkin melewatkan ulang tahun Brian.

Faith bisa saja tahu diri kalau dia tidak mungkin mendekati Brian dengan statusnya seperti sekarang, ketika dia secara hukum masih terikat pernikahan. Tapi anak seusianya masih sulit menahan godaan dan kata hati, terutama untuk hal-hal yang berbau asmara. Untuk suami halunya saja Faith bisa terbang ke Bangkok, padahal kemungkinan untuk bertemu sangat kecil, apalagi untuk orang yang ditaksirnya di dunia nyata. Seperti kata Bu Zoya, Faith masih sering impulsif.

"Tolong maafkan dan bersabar menghadapi Faith, Pak."

"Nggak apa-apa, Bu." Ini bukan untuk pertama kalinya Bu Zoya minta maaf atas nama Faith, padahal orang yang diwakilinya masih dikuasai emosi. Aku melanjutkan dengan nada sok bijak yang mulai kukuasai sejak pindah ke rumah ini. Nada yang sering kupakai saat berhadapan dengan Pak Tua. "Ini hanya satu tahap yang harus Faith lalui sebelum dia benar-benar dewasa."

Bu Zoya tampak sangat lega. "Terima kasih sudah memahami Faith, Pak."

Aku lalu bergegas naik ke kamarku. Setelah mandi dan berganti pakaian, aku merasa sudah kembali waras untuk membahas apa yang terjadi di tempat parkir kelab tadi. Bagaimanpun juga, aku dan Faith harus menyelesaikan masalah kami supaya tidak terjebak dalam suasana canggung yang kikuk.

Aku menguak pintuk penghubung setelah mengetuk. Tidak terbuka karena Faith ternyata menguncinya. Ini pertama kalinya Faith mengunci pintu. Biasanya pintu itu hanya ditutup saja, tapi tidak dikunci. Sepertinya, kemarahan Faith belum reda.

"Faith...," aku kembali mengetuk pintu. "Buka dong."

Aku mengulang sampai tiga kali, tapi tetap tidak ada jawaban. Sialan. Inilah salah satu alasan mengapa aku tidak mau terlibat dengan perempuan secara emosi. Penuh drama, dan aku bukan orang sabar menghadapi drama. Kalau aku dan Faith tidak tinggal satu atap, aku tidak akan peduli pada kemarahannya. Reputasiku sudah telanjur jelek. Untuk apa memperbaikinya?

Sayangnya, ketidapedulian itu tidak bisa kuberlakukan pada Faith. Untuk beberapa waktu ke depan, kami masih akan tinggal serumah. Kami masih punya kesepakatan yang harus dijalani. Aku tidak bisa serta merta mengepak barang dan kembali ke apartemen. Kalau Faith kembali bertindak impulsif dan berniat membalasku dengan menjelek-jelekkanku di depan Pak Tua, bisa dijamin, beberapa hari ke depan, abu hasil pembakaran jenazahku sudah ditebar di selat Sunda. Aku tidak akan pernah punya kuburan yang bisa didatangi orangtuaku.

"Faith, ayolah," aku kembali mengetuk pintu. "Orang dewasa itu membicarakan dan menyelesaikan masalah mereka, bukan ngambek kayak gini."

Pintu di depanku mendadak terbuka dengan kasar. "Orang dewasa itu memikirkan tindakan mereka, nggak main cium dan raba-raba orang seenaknya apa pun alasannya." Faith berkacak pinggang sambil memelotot. "Itu namanya pelecehan. Kamu yang pidato soal consent, tapi kamu sendiri yang mengabaikan consent dengan alasan mau ngasih pelajaran kalau aku bisa lupa diri kalau dicium dan diraba-raba sama gebetanku. Pelecehan itu nggak main-main lho, Om. Ada hukum pidananya."

"Apa yang terjadi di antara kita tadi itu nggak bisa dimasukkan dalam kategori pelecehan seksual, Faith." Aku berusaha terlihat serius untuk meredakan kemarahan Faith, padahal aku ingin menertawakan kata-katanya. Bisa-bisanya dia menggolongkan sentuhanku sebagai pelecahan seksual. "Polisi akan tertawa dan nggak menganggap kamu serius kalau kamu melapor sudah dicium sama suami kamu sendiri. Gimanapun, secara hukum kita sudah menikah."

Faith melengos. Apa yang aku katakan pasti masuk akalnya.

"Tadi kan aku sudah minta maaf. Kalau tadi aku kelihatan kurang tulus di mata kamu, sekarang aku minta maaf lagi deh. Aku janji itu nggak akan terulang lagi."

Faith mendengus. "Kata Kak Jessie, orang seperti kamu itu nggak bisa dipercaya."

"Jessie hanya kenal aku melalui cerita teman-temannya. Kami bahkan belum pernah ngobrol berdua. Aneh aja kalau dia merasa kenal aku secara pribadi. Kamu yang seharusnya lebih bisa menilai aku karena kita tinggal di rumah yang sama. Kamar kita hanya dibatasi pintu ini."

Fatih sedekap. Masih diam.

"Kalau aku berniat menyerang atau melecehkan kamu, kenapa aku harus tunggu sampai berbulan-bulan? Kamu pikir aku mau merusak kesepakatan yang aku setujui setelah putus asa mencari investor? Lagian, melecehkanmu sama saja dengan setor nyawa sama kakek kamu. Dia pasti nggak akan diam saja kalau kamu melapor aku menyakitimu."

Faith tetap diam.

"Kalau kamu masih marah, dan merasa perlu menyalurkannya sebelum beneran memaafkanku, bilang saja apa yang bisa aku lakukan supaya kejengkelan kamu hilang."

Faith menyipitkan mata menatapku. Dari ekspresinya aku tahu kalau grafik kekesalannya perlahan menurun.

"Aku akan melakukan apa pun yang kamu mau, asal masuk akal," kataku lagi. "Jangan suruh aku menjinakkan buaya kelaparan atau menyelam di palung Mariana," aku mencoba bercanda.

"Aku serius soal jalan-jalan ke Korea itu." Akhirnya Faith merespons. Tangannya yang tadi bersedekap sudah turun ke sisi tubuhnya. Raut wajahnya mulai normal. "Udah beberapa kali aku jadwal bersama Kak Jessie dan Kak Jane, tapi selalu batal. Ada aja halangannya. Kakek nggak bakal ngasih kalau aku pergi sendiri. Atau kalaupun ngasih, harus bareng Pak Hasan dan Pak Izhar. Aku nggak mau dibuntutin mereka."

"Sekarang aku lagi sibuk banget, Faith." Aku tidak bermaksud menghindar. Pekerjaanku memang sedang banyak-banyaknya. Tidak mungkin aku tinggalkan hanya untuk membujuk supaya Faith tidak ngambek lagi. "Jangan bulan ini ya?"

Senyum tipis Faith mengembang. "Aku juga nggak minta kita pergi sekarang kok. Tunggu aku liburan semester dulu biar nggak usah bolos."

"Kalau gitu nggak masalah." Aku mengulurkan tangan. "Damai?"

Faith mengamati tanganku sejenak sebelum menggenggamnya. "Perdamaian kita akan batal kalau kejadian tadi terulang lagi."

"Nggak akan mungkin terulang." Aku menggeleng cepat. "Kan kamu sudah ngerti pelajarannya. Jangan tertipu trik laki-laki. Yang ada di kepala mereka saat berduaan sama perempuan itu hanya seks saja. Nggak ada yang lain. Percaya sama aku!"

"Ewwwhhh, Om...!" Faith memasang ekspresi mual. "Isi kepala kamu beneran menjijikkan. Aku yakin itu nggak semua laki-laki punya pikiran kayak gitu karena nggak semuanya mesum seperti kamu."

Aku tidak mendebat Faith. Case closed. Itu yang penting.

Karma RakhaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang