EMISI nokturnal adalah hal yang wajar untuk laki-laki. Aku bahkan mengalaminya saat masih rutin punya hubungan semalam. Ketika hidup selibat seperti sekarang, kedatangan mimpi erotis itu menjadi lebih sering. Mungkin otakku yang sadar akan kebutuhan biologisku memang sengaja memerintahkan saraf-saraf pencipta mimpi membuat aku mendapatkan pelepaskan dan kepuasan saat aku tertidur.
Ketika bermimpi, diriku di dunia maya itu biasanya fokus pada proses hubungannya saja. Berkonsentrasi untuk mendapatkan kepuasan yang maksimal. Pasanganku dalam mimpi-mimpi itu biasanya adalah para perempuan dengan tubuh menggiurkan, tapi jarang yang hadir dengan wajah yang jelas. Wajah tidak perlu. Tubuh yang menggigil dan berdenyut melemparku ke nirwana jauh lebih penting daripada bentuk muka yang disodorkan si mimpi.
Namun malam ini berbeda. Dalam mimpi, aku bercinta dengan seseorang yang memiliki wajah yang terlihat jelas. Sangat jelas. Terlalu jelas untuk ukuran sebuah mimpi. Apalagi itu adalah wajah yang tidak seharusnya masuk dalam mimpi erotis. Hanya meyakinkan jika aku benar-benar sudah bertransformasi menjadi seorang pedofil. Ya, Faith!
Itu mimpi yang luar biasa. Maksudku, kepuasan yang kurasakan dalam mimpi itu menakjubkan dan terasa sangat nyata. Tubuh Faith persis seperti yang kupeluk saat di dalam kolam. Dadanya sama dengan pernah menempel di telapak tanganku. Proses percintaan kami lebih detail daripada semua film biru yang pernah kutonton, atau bahkan adegan yang pernah kulakukan sendiri. Aku tidak ingat kapan dan siapa terakhir kali aku membuatkn merasa dipeluk kenikmatan seperti itu. Kurasa, desahan, makian, dan teriakan di dalam mimpi itu terlontar dari bibirku secara langsung juga karena mulut dan tenggorokanku terasa kering.
Aku terbangun dengan tubuh yang masih bergetar dan lemas. Butuh waktu beberapa saat sebelum menyadari jika orgasme yang menghantamku dengan kuat barusan berasal dari mimpi. Sial... sial... sial...!
Bukan mimpinya yang salah. Aku memang membutuhkan mimpi seperti itu. Tapi kenapa harus Faith? Dan kenapa rasanya harus seperti itu? Tidak semua mimpi erotisku memuaskan. Kadang aku malah terbangun dengan perasaan kecewa karena mimpiku tidak menjangkau penyelesaikan akhir. Aku tidak akan mengutuki diri seperti sekarang seandainya mimpiku bersama Faith berakhir dengan kekecewaan. Hambar. Itu akan membantu membunuh hasrat si Junior saat melihat Faith di luar mimpi.
Mimpi itu masih menghantuiku saat sudah berada di kantor. Untung saja aku tidak bertemu dengan Faith di meja makan saat sarapan karena dia belum keluar kamar. Tanpa kutanyakan, Bu Zoya mengatakan jika hari ini Faith tidak kuliah pagi. Baguslah. Aku butuh jeda untuk mengembalikan kewarasan sebelum berinteraksi dengan dia lagi.
"Lo jatuh dari tempat tidur sampai tulang ekor lo cedera atau mimpi buruk?" tanya Galih saat menyamperiku di ruang kerjaku. Dia menunjuk wajahku. "Kelihatannya jengkel gitu."
"Gue nggak jatuh dari tempat tidur dan tulang ekor gue baik-baik aja," sahutku malas. Aku sedang tidak ingin ngobrol.
"Jadi mimpi buruk macam apa yang bikin lo bete gitu? Lo jadi manusia terakhir yang ada di bumi dan harus berhadapan sama gerombolan zombie untuk bertahan hidup? Beneran yang terakhir sampai nggak disisain manusia lain yang berjenis kelamin perempuan untuk bercinta dan berkembang biak demi menambah populasi supaya bisa menambah pasukan memberantas zombie?"
"Nggak lucu." Aku mengibaskan tangan, mengusir Galih yang terkekeh mendengar lelucon garingnya sendiri.
Alih-alih pergi, Galih menarik kursi dan duduk di depanku. "Masih lanjutan kejadian di kelab minggu lalu?" Kali ini nada dan ekspresinya tampak lebih serius. "Masalahnya masih berlanjut sampai sekarang? Lo ribut sama Faith?" pertanyaannya beruntun seperti ledakan petasan.
Aku mendengus.
"Lo tahu apa bedanya pasangan sama orang yang sekadar teman aja?" tanya Galih lagi.
Aku kembali mengibaskan tangan. "Gue nggak butuh konseling tentang hubungan pagi-pagi gini. Sebaiknya lo balik ke ruangan lo dan kerja. Menjadi bos yang produktif bagus untuk bisnis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Rakha
RomanceKalau ada satu hal yang dihindari Rakha, itu adalah komitmen dengan lawan jenis. Dia menikmati kebebasannya dan tidak berniat menghadirkan seorang perempuan secara permanen dalam hidupnya. Monogami bukan prinsip hidupnya. Sayangnya dia harus menguba...