AKU mengajak Galih makan di mal karena mau sekalian membeli penjepit dasi. Penjepit dasiku tercecer. Aku tidak mengoleksi penjepit dasi dan beberapa yang aku punya ada di apartemen. Aku sedang malas ke sana hanya untuk mengambilnya. Lebih baik membeli yang baru.
Saat masuk ke rumah Faith, aku tidak membawa terlalu banyak barang. Aku hanya bermodalkan dua buah koper berisi pakaian dan kebutuhan pribadi untuk perawatan tubuh. Aku lebih mirip seseorang yang sedang menjalani liburan dalam jangka waktu lama daripada pindah tempat tinggal.
Seiring waktu, barang-barang itu bertambah karena ada saja barang yang terasa kurang padahal aku membutuhkannya, sehingga aku harus ke apartemen untuk mengambilnya, atau membeli yang baru. Sekarang jumlah pakaianku di apartemen dan di rumah Faith sepertinya sudah sama banyak.
Setelah membeli penjepit dasi sekaligus dasinya, aku dan Galih lalu masuk di sebuah restoran Jepang yang ada di mal itu.
"Bukannya itu Faith ya?" Tidak seperti sahabat-sahabatku lain yang lebay, Galih sangat realistis dan tahu bahwa hubunganku dengan Faith memang tidak permanen, jadi dia selalu menyebut Faith dengan nama bukan embel-embel statusnya sebagai istriku yang sah di mata hukum.
Aku berbalik untuk melihat siapa yang sekarang sedang dilihat Galih, yang tadinya kupunggungi.
Sangat gampang mengenali Faith di tempat umum karena tidak banyak anak sejangkung Faith yang memanggul ransel Minnie Mouse.
Faith dan rombongannya baru masuk restoran. Mereka berenam. Empat orang perempuan dan dua orang laki-laki. Salah seorang di antara mereka menunjuk meja bagian dalam restoran yang jauh dari kami. Mereka lalu beriringan menuju meja itu.
"Nggak lo samperin?" tanya Galih.
Aku menggeleng dan kembali menghadapi mangkuk ramenku. "Nggak usah. Ntar Faith malah bingung mau jawab apa kalau teman-temannya nanyain gue siapa." Tidak seperti aku yang tidak menyembunyikan status, meskipun tidak pernah menggembar-gemborkannya tanpa ditanya, setahuku Faith lebih suka menutupi statusnya dari semua orang di luar lingkar keluarga dan sahabatnya.
Aku bisa mengerti. Sama seperti aku, pernikahan ini bukan keinginan kami. Aku berharap melajang selamanya, sedangkan Faith bermimpi menggunakan masa mudanya untuk mengejar artis Korea pujaannya. Dia baru akan berumah tangga setelah bertemu orang yang tepat setelah dia tenang dan lebih dewasa.
"Lo masih nggak berubah pikiran soal kesepakatan itu?" tanya Galih lagi. "Apa yang kurang dari Faith?"
Menyebutkan kekurangan Faith jauh lebih gampang daripada menyebutkan kelebihannya. Bisa kita mulai dari penampilannya secara fisik. Aku enggan mengulang-ulang, tapi Faith kurus. Mungkin ada laki-laki yang suka dengan perempuan yang setipis kertas, tapi tipe idealku tidak begitu. Gayanya juga kekanakan, sementara aku suka perempuan dewasa yang berpenampilan seksi. High heels dan stiletto selalu lebih menarik saat berada di kaki seorang perempuan daripada sneakers atau flat shoes. Fantasi seksual seringnya melibatkan dada dan bokong montok, serta lingerie superminim yang dipadu dengan stiletto. Aku tidak bisa membayangkan ada lelaki yang hasratnya membuncah karena melihat dada rata yang dibungkus kaus kedodoran dan memakai keds.
Itu baru fisik dan gaya. Sifat Faith dijamin akan membuatku sakit kepala berkepanjangan kalau tinggal lama bersamanya. Kebiasaannya mendengarkan musik dengan volume maksimal membuatku terancam tuli dalam hitungan bulan. Saat ngobrol, suara cemprengnya juga mengiritasi telinga. Dan, ini yang paling menyebalkan: topik percakapan apa pun akan berujung pada penjelasannya tentang BTS dan Army. Di mata dan otak Faith, BTS itu bukan semata cowok-cowok Korea yang manis-manis yang bisa bernyanyi dan menari, tapi lebih hebat dari semua superhero Marvel yang kekuatannya dikumpulkan menjadi satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Rakha
RomanceKalau ada satu hal yang dihindari Rakha, itu adalah komitmen dengan lawan jenis. Dia menikmati kebebasannya dan tidak berniat menghadirkan seorang perempuan secara permanen dalam hidupnya. Monogami bukan prinsip hidupnya. Sayangnya dia harus menguba...