YANG tertinggal dalam ingatanku sebagai "oleh-oleh" wejangan yang kuperoleh di hari pernikahan bukanlah tatapan bangga dan pujian ibuku yang akhirnya menganggapku dewasa karena memutuskan menikah. Menurut Ibu, tingkat kedewasaan seorang laki-laki tidak ditentukan oleh deretan angka pada umurnya, atau seberapa mapan dirinya, tetapi oleh keberanian memikul tanggung jawab atas orang lain dalam kehidupan pribadi. Dalam kasusku, orang-orang itu adalah istri dan calon anak-anak kami (yang mustahil akan hadir di dunia).
Apa yang sahabat-sahabatku ucapkan juga tidak masuk dalam benakku karena aku hanya menganggapnya sebagai guyonan. Mereka tahu alasan di balik pernikahanku, jadi aku yakin jika segala macam ucapan selamat dan kata-kata mutiara yang coba mereka sumpalkan di kepalaku tidak berasal dari lubuk hati mereka. Ucapan itu hanya pemanis untuk melengkapi kehadiran mereka.
Yang teringat dengan jelas adalah kata-kata Pak Tua Jenderal saat memelukku. Bisikannya, walaupun pelan, tetapi terdengar sangat jelas dan tajam, "Terima kasih sudah mengambil tanggung jawab untuk menjaga Faith," katanya. "Seperti yang kamu sudah tahu, Faith masih sangat muda dan labil, jadi kedewasaan dan kesabaranmu akan diuji. Tapi percayalah kalau keadaan akan membaik seiring kedewasaannya." Pak Tua berdeham, mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan dengan kalimat yang penuh penekanan, "Jangan sampai aku tahu Faith menangis karena kamu. Atau kalau aku dengar rumor sekecil apa pun tentang hubunganmu dengan perempuan lain, aku akan membuatmu menghilang dari muka bumi. Benar-benar menghilang, sampai tidak bisa ditemukan. Membuatmu menghilang lebih gampang dilakukan daripada membalik telapak tangan. Tapi sebelum kamu menghilang, kamu akan merasakan sakit luar biasa, yang akan membuatmu menyesali semua dosa dan kesalahan yang kamu lakukan. Ingat kata-kataku ini saat kamu berpikir hendak mengkhianati Faith." Pak Tua menepuk punggungku kuat-kuat. Saat pelukannya terlepas, dia tersenyum ramah seolah ancaman mengerikan yang baru kudengar beberapa detik yang lalu tidak berasal dari bibirnya.
Aku sudah terbiasa dihujat dan dimaki-maki oleh perempuan yang merasa punya harapan dan kemampuan untuk berkomitmen denganku hanya karena aku beberapa kali berbagi kehangatan dengan mereka. Tapi bagaimanapun bentuk makian yang menyertai kobaran emosi mereka, tidak ada yang membuat bulu kudukku meremang seperti saat Pak Tua Jenderal bisikkan sambil memelukku. Cara mengucapkannya membuatku bergidik ngeri. Aku hanya bisa meringis masam, padahal yang ingin aku keluarkan adalah senyum serigala dalam balutan bulu domba yang tampak tulus dan tanpa dosa.
Mendengar ancaman itu, aku jadi menyesali keputusanku menikahi Faith. Teman-temanku benar, keputusan yang kuambil secara impulsif bisa berujung merugikan diriku sendiri. Berapa pun jumlah uang yang Pak Tua itu suntikkan dalam usahaku, tetap saja tidak ada artinya dibandingkan dengan nyawaku. Kalau aku mati, aku sudah tidak akan ada di dunia untuk menikmati kesuksesan usaha yang kupertaruhkan dengan nyawaku sendiri.
Sayangnya, seperti semua penyesalan manusia di dunia, aku menyadari hal itu setelah terlambat. Statusku sudah berubah menjadi suami dari bocah kurus kering penderita cacingan kronis. Persetujuan menjalani open marriage yang menjadi salah satu alasanku bersedia menikahi Faith berubah menjadi jebakan yang mempertaruhkan nyawaku.
Kalau sebelumnya aku percaya diri bisa mengakali Pak Tua Jenderal saat hendak bertemu seseorang di belakangnya, sekarang aku tidak terlalu yakin lagi. Bagaimana mungkin aku bisa mengalahkan seseorang yang sudah malang melintang di dunia militer yang penuh intrik dan misi rahasia kotor? Aku yakin, di masa aktifnya sebagai pemegang komando tertinggi militer, Pak Tua itu dengan dibantu antek-anteknya pernah benar-benar "menghilangkan" seseorang yang berbeda pandangan atau merintangi jalannya.
Rasanya mustahil bisa memenangkan permainan petak umpet dengan orang-orang suruhan Pak Tua itu kalau dia merasa perlu terus mengawasiku untuk meyakinkan kalau aku benar-benar setia pada cucu sapu lidinya.
Aku berjanji pada diri sendiri untuk tidak membuat keputusan impulsif konyol seperti ini lagi di masa mendatang. Kelak, aku tidak akan menyetujui apa pun dengan segala sesuatu yang menjadikan nyawa dan keselamatanku sebagai taruhan. Sekali saja sudah cukup.
**
Aku dan Faith tinggal di rumah yang dihadiahkan Pak Tua untuk Faith sebagai hadiah pernikahan kami. Full furnished.
"Nanti isinya bisa kalian ganti sesuai selera," kata Pak Tua padaku saat menunjukkan rumah itu. "Sengaja aku minta dikerjain sama desainer interior tanpa minta pendapat kalian karena Faith tampaknya belum tertarik untuk memilih furnitur dan mengatur rumah. Sepertinya, selain artis Korea, hanya kamu yang bisa menarik minatnya."
Seandainya Pak Tua itu tahu kalau cucunya sama sekali tidak tertarik padaku, sama seperti aku yang hanya melihatnya sebagai bocah kurus kering yang belum cukup umur, mungkin dia akan terkena serangan jantung.
"Terima kasih, Pak," sahutku takzim. Apalagi kalimat normal yang bisa kuucapkan saat menerima hadiah pernikahan, walaupun aku yakin nama Faith-lah yang tertera di lembaran sertifikat.
"Mulai sekarang, panggil aku Kakek. Orang yang memikul tanggung jawab atas kebahagiaan Faith sudah aku anggap sebagai cucu sendiri." Pak Tua meremas bahuku kuat-kuat. Alih-alih hendak menyemangati, remasan itu terasa dimaksudkan untuk mematahkan tulang selangkaku. "Dan akan terus begitu sampai Faith mengeluh tidak bahagia."
Sebenarnya, aku ingin tetap tinggal di apartemen karena sudah telanjur merasa nyaman di sana. Tapi nada mengancam Pak Jenderal sulit kuhilangkan dari benak. Aku tidak mungkin langsung menolak saat ditunjukkan rumah itu. Terlebih lagi saat Faith mengatakan, "Tinggal di rumah ini adalah cara paling ampuh untuk mengendorkan pengawasan Kakek sama kita. Kakek pasti nggak akan curiga meskipun kamu membawa pacar kamu ke rumah."
Jujur, setelah mendengar ancaman Pak Tua itu, aku belum sempat berpikir tentang pemenuhan kebutuhan biologis. Aku masih sayang nyawa. Aku sudah mengambil keputusan yang salah dan bodoh saat menikahi Faith. Konyol sekali kalau aku mengambil keputusan tolol lain, membarter kenikmatan sesaat dengan satu-satunya nyawa yang kumiliki. Lain halnya kalau aku punya lima nyawa cadangan. Membuang satu atau dua nyawa untuk kesenangan pasti tidak masalah. Aku sudah punya rencana jangka panjang tentang hidupku. Mati muda akan memenggal semua rencana itu.
"Kita ngambil kamar di atas aja." Faith lagi-lagi mengambil keputusan untuk kami berdua. "Di atas lebih aman supaya nggak kena inspeksi. Aku yakin Kakek nggak akan sampai masuk ke kamar kita, tapi lebih baik kita berjaga-jaga. Ini kamarku." Faith membuka salah satu pintu kamar di lantai atas. Kamar itu superluas. Pintu yang menghubungkan kamar dengan walk in closet terbuka lebar sehingga menambah kesan lapang. "Kamarmu di sebelah sana." Faith menunjuk pintu penghubung dan mengarahkan langkahku ke sana.
Sialan. Kamar itu mungkin hanya setengah dari kamarnya. "Laki-laki memang nggak butuh kamar yang luas," sindirku.
"Aku butuh baju-baju kamu yang udah jarang banget dipakai untuk aku gantung di walk in closet-ku." Faith tampaknya tidak merasa tersindir dengan ucapanku. Dia melanjutkan dengan penuh semangat. "Parfum dan skincare kamu juga. "Buat jaga-jaga kalau Kak Jessie, Kak Jane, atau tante-tanteku pengin home tour di sini. Ntar aku bilang kalau ini kamar kerjamu. Jadi kita harus beli meja kerja untuk ditaruh di sini. Justifikasi kamar ini sengaja dikasih ranjang adalah supaya kamu nggak terganggu kalau aku nonton video konser atau drakor tengah malam, padahal kamu butuh istirahat."
Saat mendengar Faith bicara dan menyusun rencana secara detal seperti itu, aku merasa jika dia benar-benar mewarisi kecerdasan kakeknya. Sayang sekali otaknya tidak ingin dia pakai untuk mengejar cita-cita akademis, tetapi hanya digunakan untuk memikirkan bagaimana cara bertemu dengan suami halunya.
Tapi apa pun yang Faith gunakan dengan otaknya, itu urusannya. Aku tidak ingin ikut campur. Fokusku adalah tetap bisa mempertahankan nyawa selama terlibat dengannya dalam perjanjian yang mulai tidak terasa seperti win-win solution lagi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Rakha
RomanceKalau ada satu hal yang dihindari Rakha, itu adalah komitmen dengan lawan jenis. Dia menikmati kebebasannya dan tidak berniat menghadirkan seorang perempuan secara permanen dalam hidupnya. Monogami bukan prinsip hidupnya. Sayangnya dia harus menguba...