AKU baru keluar dari kamar mandi ketika Faith menerobos pintu penghubung dengan tampang gusar. Dia pasti hendak mengomel tentang pertemuan kami tadi siang.
"Kamu nggak bisa seenaknya kayak tadi dong, Om!" Faith bertolak pinggang di depanku sambil mengentakkan kaki. Napasnya memburu layaknya orang yang sudah berlari puluhan kilometer. "Kalau lain kali kita ketemu dan aku lagi sama teman-temanku yang bukan Katty, kamu harus pura-pura nggak ngenalin aku!"
"Aku sudah melakukan itu tadi," sahutku begitu Faith mengambil jeda untuk bernapas. "Aku sudah lihat kamu saat kamu masuk. Aku sama sekali nggak bermaksud nyamperin kalau kamu nggak kirim pesan. Chat kamu itu mirip undangan untuk ngerjain."
Faith bersedekap dan mendengus. Dia mencebik tak percaya.
"Kamu ngomel-ngomel gini karena takut aku membocorkan status kamu sama pacar kamu tadi, kan?" godaku. "Jangan takut, aku nggak sebodoh itu."
Faith makin cemberut. "Brian bukan pacar aku!" sungutnya.
"Jadi masih gebetan?" Aku terus menggodanya.
Kali ini Faith hanya mendelik, tidak menjawab, yang artinya bahwa ucapanku benar. "Kenapa kamu belum pacaran sama dia?"
"Masa aku yang harus nembak dia?" Tangan Faith yang terlipat di depan dada turun ke sisi tubuhnya. Bahunya melorot. "Brian itu dikejar-kejar banyak cewek cantik, ya nggak mungkinlah dia suka sama aku. Lagian, kalaupun dia beneran suka sama aku, nggak mungkin juga aku pacaran sama dia dengan status kayak gini. Iya, hubungan kita nggak beneran, tapi pandangan orang luar kan beda."
Aku mengerti apa yang dipikirkan Faith.
"Kalau gitu, tunggu sampai kita pisah aja," ujarku enteng. "Nggak lama lagi, kan?"
Faith kembali mengentakkan kaki. "Kamu itu bodoh atau gimana sih? Tadi udah aku bilang kalau yang ngejar-ngejar Brian itu banyak banget. Mungkin aja besok dia udah nembak salah satu di antaranya. Saat kita cerai, dia mungkin udah nikah! Kalaupun waktu itu dia masih single pun, masa sih mau sama cewek yang udah janda?"
Aku mengetuk dahi Faith dengan buku jari tengah. "Ini pelajaran supaya lain kali kamu nggak lagi ngambil keputusan secara impulsif. Kalau kamu nggak ngajak aku nikah karena mendadak moody-an saat menyadari kakek kamu udah tua dan bisa tiba-tiba meninggal, keribetan kayak gini nggak mungkin kejadian. Kenapa waktu itu kamu nggak nawarin kesepakatan ini sama si Brian-Brian itu aja?"
Mata Faith membelalak. Dia mengusap dahi. "Sakit, Om!"
"Makanya, itu otak dipake buat mikir, jangan buat nge-halu melulu."
"Otakku emang dipake untuk mikir, Om! Gimana ceritanya aku ngajak Brian nikah, padahal setahu kakek aku pacaran dan tidur sama kamu! Yang ada Kakek malah kena serangan jantung kalau tahu aku pacaran sama dua orang sekaligus. Kakek juga nggak mungkin kasih izin nikah muda sama cowok yang seumuran. Dia setuju sama kamu karena kamu sudah om-om dan mapan!"
"Mau dengar kata-kata bijak?" tawarku untuk menurunkan emosi Faith.
"Itu pasti bukan kata-kata Om." Faith mencibir. "Kamu kan jauh dari kategori bijak."
Aku mengangguk. "Ini memang kata-kata yang aku dengan dari Tanto, walaupun aku yakin dia juga dapat nyomot entah dari mana. Katanya, orang yang kita temuin di waktu yang salah itu bukan jodoh kita karena orang yang ditakdirkan untuk kita akan selalu dipertemukan gimanapun sulit rintangannya. Anggap aja untuk saat ini Brian belum bisa jadi pasangan kamu, tapi nggak berarti kemungkinan itu sudah tertutup untuk selamanya. Kalian masih sangat muda. Nggak ada yang tahu apa yang akan terjadi pada kalian lima atau mungkin sepuluh tahun nanti."
Faith mendengus. "Basi, Om!"
Aku tertawa. "Iya, aku juga tahu kalau itu quote basi. Tapi masih relevan dan mungkin aja kamu terpengaruh." Aku menggerakkan tangan mengusirnya. "Kamu masih mau berdiri di sini dan nonton aku pakai baju atau mau keluar sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Karma Rakha
DragosteKalau ada satu hal yang dihindari Rakha, itu adalah komitmen dengan lawan jenis. Dia menikmati kebebasannya dan tidak berniat menghadirkan seorang perempuan secara permanen dalam hidupnya. Monogami bukan prinsip hidupnya. Sayangnya dia harus menguba...