Kehilangan kali ini adalah awal dari kerasnya hati dan kepalaku. Aku mendadak bisa menjadi monster yang paling menakutkan sekaligus mematikan untuk anak-anakku. Bahkan di saat mereka masih tak paham bagaimana cara semesta yang keji ini bekerja tanpa...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy Reading!
Suara ribuan rintik hujan yang jatuh di atap kamar mandi membuat suasana rasanya semakin tidak menentu. Isi kepala Bapak berkecamuk, hatinya gelisah.
Setelah lepas kendali selama perjalanan, Bapak langsung membawa Dierja pulang tanpa berniat membawa anak itu ke rumah sakit meski penampilan dan keadaannya sudah sangat mengkhawatirkan.
Rasanya mustahil seorang Bapak melakukan hal seperti ini pada darah dagingnya sendiri, namun begitulah faktanya. Bagio Diwanto adalah definisi dari orang tua yang gagal, orang tua yang bahkan belum siap menjadi orang tua.
Setelah melihat baju seragam Dierja yang basah, serta celananya yang masih dipenuhi oleh sisa muntahan, Bapak membawa Dierja ke dalam kamar mandi. Di dalam sana, dengan emosi yang masih belum stabil, Bapak melepas semua balutan di tubuh kecil Dierja.
Satu hal yang berhasil membuat Bapak terdiam adalah ketika matanya tertuju pada beberapa bagian tubuh putranya itu yang dihiasi oleh luka, memar dan kemerahan akibat pukulan dan cubitan baru yang Bapak berikan bermenit-menit lalu.
Untuk beberapa detik Bapak terdiam sembari menatap luka-luka itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Suara hujan dan suara petir yang saling bersahutan membuat suasana hati Bapak semakin berkecamuk. Rasa penyesalan jelas sudah memenuhi seluruh ruang di hatinya, sampai rasanya untuk mendongak dan menatap wajah Dierja pun Bapak tidak sanggup.
Sembari mengembuskan napas panjang, Bapak berdiri, mengambil air satu gayung penuh dan mulai memandikan Dierja yang sedari tadi tidak mengeluarkan suaranya.
Mati-matian Bapak mengontrol dirinya sendiri untuk tidak menyakiti putranya lagi, meskipun perasaan kesal masih menggebu-gebu hingga saat ini.
Lalu setelah membalut tubuh kecil Dierja menggunakan handuk, Bapak berjalan lebih dulu tanpa mengatakan apa-apa, membiarkan Dierja berjalan sendirian di belakang sana dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
Dierja ingin sekali menangis, namun rasa takut akan dicubit dan dipukuli Bapak jauh lebih besar ketimbang rasa sakitnya. Alhasil meski sambil meringis sesekali, Dierja melangkah perlahan-lahan menuju kamarnya. Setidaknya Bapak sudah berbaik hati mau membantu Dierja mandi tanpa mengguyurnya dan memukulnya atau bahkan menguncinya di dalam kamar mandi.
Di dalam kamar, dengan sisa tenaganya Dierja memakai baju tidur sendirian tanpa bantuan. Rasanya sakit sekali setiap tangannya diangkat, setiap tubuhnya bergerak. Ternyata cubitan dan pukulan yang Bapak berikan masih tersasa sangat menyakitkan meski Dierja sudah sering mendapatkannya.
Sepanjang memakai baju dan mendudukkan badannya di atas kasur, Dierja tidak mengatakan apa-apa. Hening. Hanya ada suara hujan dan petir yang semakin terdengar jelas di atap kamarnya.
Lalu sambil menatap kosong lurus ke depan, Dierja sesekali terbatuk. Matanya mulai berat, rasanya Dierja sudah tidak kuat lagi untuk mempertahankan kesadarannya. Kepalanya pusing, hidungnya tersumbat, napasnya masih sesak, sekujur tubuhnya sakit dan lemas bukan main.