Chapter 5

593 84 4
                                    

Harry segera sadar setelah minggu pertama kalau Dark Lord yang bosan hampir lebih buruk dari yang biasa melempar kutukan tak termaafkan padanya. Voldemort suka menghibur diri dengan menghina berbagai penghuni Hogwarts dan bagaimana dia ingin membunuh semua murid di Hogwarts karena masa remaja mereka yang menyedihkan membuatnya muak. Awalnya memang menghibur, tapi lama-lama itu jadi sangat menyebalkan mendengar bagaimana semua teman-temannya akan mati, dan di ujung minggu Harry jadi sekesal Voldemort.

Saat itu Sabtu malam dan Harry duduk dengan malas di depan perapian ruang rekreasi mengawasi sekitar, sementara sekelompok Gryffindor memainkan turnamen Exploding Snap. Harry terhibur, tapi Voldemort berpikir kalau itu menjengkelkan dan memutuskan untuk mengutarakan pendapatnya. Harry mencoba untuk bersabar, sungguh, tapi setelah komen buruk yang ke-empat kalinya, penyihir muda itu tak tahan lagi.

:Bisakah kau diam!:

Voldemort mendesis marah pada seruan itu, tapi sebelum dia bisa membalas Harry membuatnya diam lagi.

:Tidak, jangan katakan apapun. Seminggu ini aku sudah mendengarmu merengek dan marah marah soal hal apapun dan sekarang aku muak! Mereka teman-temanku yang kematiannya kau rencanakan dan aku lelah mendengarnya. Aku tau kau benci berada di sini denganku, tapi apa kau pikir aku menikmatinya?? Tidak. Pembunuh orang tuaku tidur di kasur yang sama denganku dan aku harus membawanya di leherku setiap hari! Aku tak peduli kalau kau mau mengatakan bagaimana aku akan mati, tapi kalau kau mulai mengancam teman-temanku, kau bisa pergi dan cari cara sendiri untuk jadi manusia lagi:.

Dengan raut marah dan mata hijau Avada yang berkilat, Harry dengan tak lembut menarik tubuh panjang Voldemort dari dirinya dan menjatuhkannya di kursi. Melirik, Harry samar-samar sadar, kalau perhatian semua orang ada pada game kartu itu, maka tak akan ada yang memperhatikan omelannya. Kalaupun mereka melihat, Harry sejujurnya tak peduli, walaupun dia tau kalau itu berarti dia akan dipandang aneh selama beberapa waktu.

Meninggalkan Common Room, Harry menaiki dua anak tangga sekaligus menuju kamarnya yang kosong dan mendaratkan dirinya di tempat tidur, memantrai tirainya agar tertutup. Marah, dia menatap langit-langit batu itu, mengumpat akan ketidakadilan hidupnya dan mengapa selalu dia yang menjilat kaki Fate.

Setelah itu, dia merasakan rasa sakit samar yang meningkat sejak dia meninggalkan ruang rekreasi. Dia tanpa ekspresi tau kalau ini pasti mantra pengikat Dumbledore yang dipasang padanya dan Voldemort. Harry mengejek pada ketidakbergunaan mantra itu dan bertanya-tanya mengapa Dumbledore susah-susah melakukannya, karena selain sensasi tertarik sedikit dan rasa nyeri yang aneh dia bisa dengan mudah mengabaikan mantra itu.

Beberapa saat kemudian, Harry mendengar suara langkah kaki menaiki tangga menuju ruangan yang dia tempati.

"Erm, Harry?" suara Ron memanggil dari luar tirai. Menghela nafas, Harry duduk dan membuka tirai untuk menatap temannya itu.

"Ya, Ron?"

Si rambut merah itu terlihat sedikit tak nyaman, tapi Harry tak tau apa yang jadi masalahnya.

"Ada yang salah?"

"Iya, itu ularmu,"

Harry mengejek. "Apa yang dia lakukan, mengamuk dan mengancam siswa lain? ku harap ada yang melempar buku padanya,"

Kalau Ron heran pada komentar aneh terhadap ular yang kelihatannya biasa saja itu, dia tak menyuarakannya.

"Erm, tidak. Sebenarnya, dia terlihat seperti terkena kutukan menyakitkan,"

Harry mengedip tak percaya pada remaja itu. "Apa?"

"Iya," kata Ron sambil menyugar rambutnya. "Dia menggeliat di lantai dan membuat suara desis yang aneh. Itu membuat yang lain takut,"

A Snake Named Voldemort Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang