Chapter 9

703 77 8
                                    

Pagi hari setelah Natal, Harry bangun dengan mudah dan tak terganggu, kecuali satu hal.

:Ah, pagi,: sapa Harry, sedikit terkejut melihat Voldemort, er, meringkuk di dadanya. Mata merah Voldemort mengamati kasur hidupnya.

:....Pagi: katanya lambat, seakan memaksa dirinya untuk sopan, tak peduli kalau dia biasanya tak akan pernah terganggu untuk melakukan hal itu. Harry menukikkan sebelah alisnya tapi kemudian mengendikkan bahu.

Harry duduk dengan hati-hati, Voldemort merosot ke atas pangkuannya. Dia meraih kacamata tapi gerakannya terhambat oleh ekor ular yang terjalin di jari telunjuknya. Ditariknya perlahan tapi ekor itu tak kunjung lepas.

"Uh," gumamnya, melirik pada kobra yang diam saja itu. :Bisakah kau lepaskan?:

Harry, setelah beberapa minggu dengan Voldemort, tau kalau ular tak punya kelopak mata, tapi saat ini dia menemukan hal itu meresahkan bagaimana sang Dark Lord hanya menatapnya tanpa berkedip. Dan juga, ekor ular itu masih melingkar di jarinya.

:...please?:

Jarinya terbebas. Menatap Voldemort penuh tanya, dia mengambil ular itu dan berdiri, menempatkannya kembali ke atas sprei. Harry menggeleng.

Dia tak akan pernah paham dengan pria itu.

Saat Harry menggosok giginya dengan malas, dia mengamati wajah ngantuknya dalam pantulan cermin. Wajahnya terlihat lawak dengan busa pasta gigi mengalir di dagunya dan rambutnya yang mencuat kemana-mana. Setelah berkumur, Harry menyugar rambut gelapnya, hal itu membuat poninya tersingkap. Untuk suatu alasan, bekas luka yang sudah ada selama dia hidup tiba-tiba saja terlihat memukau. Matanya tetap menatap bayangan dalam kaca saat jarinya menyusuri garis zigzag petir di dahinya. Jejak tipis mimpi berkelip melewati otaknya, tapi seperti air yang melewati jarinya dan dia tak bisa memegang pada hal itu. Harry terkekeh pada diri sendiri, dia mengumpulkan barang-barangnya dan meninggalkan kamar mandi, merasa bodoh karena baru saja memutuskan kalau bekas luka itu cukup memikat kalau saja ini tak membuatnya banyak masalah.

Saat dia kembali, Voldemort masih di tempat yang sama Harry meninggalkannya. Pemuda itu tanpa peduli membuka baju tidurnya dan mencari-cari pakaian bersih di dalam koper. Dia menggoyangkan baju bersih untuk menghilangkan kerutan sambil melirik pada pria-ular di atas kasur yang masih menatapnya.

Sekarang, Harry bisa dibilang telanjang (dia masih merona kalau mengingat 'insiden kamar mandi') di depan Voldemort beberapa kali selama beberapa minggu lepas, dan sebelum ini dia menghabiskan bertahun-tahun hidup dengan anak laki-laki lain jadi dia tak benar-benar malu, tapi untuk alasan aneh cara pria itu mengamatinya membuat Harry sedikit merona dan dengan cepat dia memakai kemeja, diikuti dengan sweater garis garis abu biru. Celana tidurnya dengan cepat diganti dengan jeans, Harry dengan gagah mengabaikan kehadiran seseorang yang lain di ruangan itu. Dia menggeleng, merasa sedikit bodoh dari paranoia akan... yah, dia tak tau apa itu sebenarnya.

Dipakainya sepasang kaos kaki dan sepatu, Harry menuju ke arah tangga.

:Mau kemana kau?: Voldemort menyalak. Harry menghentikan langkahnya dan melirik dari balik bahu.

:Uh, sarapan?:

:Bawa aku denganmu: tuntut sang Dark Lord. Harry berjalan kembali ke arah ranjang.

:Baiklah, tak perlu marah-marah: Mereka pergi sarapan bersama.

Setelah itu, Harry duduk di Common Room yang tak biasanya sepi, menjadi satu-satunya dari tiga Gryffindor yang tetap tinggal selama liburan, sebuah buku tentang pelindung berada di pangkuannya sementara tangannya dengan lesu mengetuk sampul buku. Voldemort melingkar di pundaknya, kepalanya terkulai seakan sedang membaca buku Harry, tapi dia sadar kalau bukan tulisan yang Voldemort amati.

A Snake Named Voldemort Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang