Part 4 - Pianis Yang Sinis

8 2 1
                                    

 Seorang Dewi Kebahagiaan Sedang Bersedih

"Dika, tolong bawakan buku-buku ini ke meja ibu ya!" 

"Oh, siap bu." 

 Sekolah merupakan tempat dimana semua individu berkumpul dan saling berbagi pendapat pada suatu ilmu yang baru di dapatkan. Hari ini aku merasa di sibukkan dengan menolong beberapa guru untuk membawa sesuatu yang mereka bawa, namun itu tak mengapa buat ku. Karena perkataan Kak Maya tadi pagi, aku memberanikan diri untuk berkomunikasi dan bersosialisasi.

  Aku berjalan melewati meja-meja guru dengan hati-hati, membawa tumpukan buku dari kelas ku. Meskipun agak berat, aku merasa senang bisa membantu. Saat tiba di meja guru-guru, aku meletakkan tumpukan buku ini dengan hati-hati.

"Makasih ya, Dika," ucap Bu Rita, salah satu guru di sekolahku, dengan senyuman hangat. "Kamu selalu siap membantu."

"Sama-sama, Bu," jawabku sambil tersenyum. Senyuman Bu Rita membuatku merasa berharga dan dihargai atas bantuan kecilku.

 Sambil berjalan keluar dari ruangan guru, aku merasa ada yang berbeda dalam diriku. Aku merasa lebih percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Saat melintasi lorong sekolah, aku melihat Safira sedang duduk sendiri di bangku dekat taman sekolah. Wajahnya terlihat sedih, seolah-olah ada beban yang dia pikul.

"Eh, hallo Safira. Kenapa kamu duduk sendirian di sini? Kamu gak apa-apa kan?" Ucap ku menegurnya.

 Safira menoleh ke arahku dengan senyuman pahit. "Oh, Dika. Tidak apa-apa kok. Hanya perasaan biasa-biasa saja."

Aku bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. "Safira, aku selalu siap mendengarkan keluh kesah mu jika kamu ingin bercerita?"

Safira mengangguk pelan. "Terima kasih, Dika. Tapi sebenarnya ini hanya masalah kecil."

"Tenang saja ucap kan saja kepada ku, semua hal akan terasa mudah jika di bicarakan." Ucap ku untuk menenangkan nya.

Safira menghela nafas. "Tadi di kelas, ada  teman sekelas yang mengomentari penampilanku. Dia bilang aku terlalu biasa dan tidak punya gaya. Dika, jujur ama aku. Aku keliatan gitu buat kamu?" 

Aku meminta izin untuk duduk di sebelah nya. "Boleh kah aku duduk?" 
"Silahkan." Jawabnya memberikan izin duduk di sebelah nya

"Jadi gini Safira, kamu unik dan berharga apa adanya. Jangan biarkan kata-kata orang lain merusak rasa percaya dirimu." Sembari aku duduk dan mendengarkan cerita nya dengan serius.

Safira tersenyum tipis. "Terima kasih, Dika. Tapi kadang-kadang kata-kata orang bisa membuatku merasa ragu."

Aku tersenyum lembut. "Safira, setiap orang memiliki pandangan dan opini mereka sendiri. Tapi yang paling penting adalah bagaimana kamu melihat dirimu sendiri. Kamu harus yakin dengan siapa dan bagaimana kamu itu. Kamu tidak perlu berubah hanya karena komentar orang lain."

Safira mengangguk, tapi wajahnya masih terlihat ragu. "Aku tahu, tapi rasanya sulit untuk tidak memikirkan apa yang mereka katakan."

"Safira, mari coba sesuatu. Coba kita gantikan setiap komentar negatif dengan satu hal positif tentang dirimu sendiri. Misalnya, jika seseorang mengatakan kamu terlalu biasa, cobalah katakan pada dirimu sendiri bahwa kamu memiliki kepribadian yang unik dan berharga."

Safira merenung sejenak. "Ya, Mungkin itu cara yang baik. Aku perlu lebih banyak belajar tentang  mencintai diriku sendiri ketimbang memikirkan omongan orang lain, benar bukan Dika?"

Aku tersenyum. "Itu dia! Kamu adalah seorang gadis yang istimewa dengan banyak hal yang bisa kamu banggakan. Dan Ingatlah bahwa kamu tidak sendirian merasakan perasaan ini. Kita semua pernah merasa seperti itu."

Until You Look At Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang