Part 6 - Berpikir Panjang

8 2 1
                                    

Ucapan Adalah Kekuatan

  Hari ini langit sangat cerah, awan dilangit membentuk gulungan yang terputus-putus. Aku duduk di kursi taman sekolah, dengan di temani sebuah kucing yang ada di paha ku. Kucing berwarna abu-abu dan juga putih, kucing ini sangat manja sekali kepada ku. Namun setelah ku elus-elus sebanyak 3 kali, kucing itu tiba-tiba berubah menjadi Safira yang tertidur di pangkuan ku. 

 Yang ku elus dari tadi adalah rambut dari Safira yang lembut, rambut nya yang tergerai(terurai) di paha ku saat dia tertidur lelap. Tidak ada yang lebih menenangkan daripada melihatnya tertidur dengan damai. Wajahnya yang teduh dan napasnya yang tenang membuat hatiku merasa hangat.

 Aku tidak tahu harus bagaimana di situasi seperti ini, harus kah aku membangun kan nya? Aku sangat kebingungan dengan situasi seperti ini, Aku memandangi Safira dengan perasaan campur aduk. Ada kebahagiaan karena bisa melihatnya dengan jarak sedekat ini, namun ada juga perasaan cemas yang tumbuh dalam diriku. 

 Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil langkah kecil dan hati-hati. Aku menggerakkan tanganku perlahan, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah Safira. Dia masih tertidur lelap, tanpa sadar akan kehadiranku di sini. Saat aku menyingkirkan beberapa helai rambut wajah nya ia pun seperti merasakan kehadiranku.

 "Dika..." desisnya dalam tidurnya, suara lembut yang membuat hatiku berdebar lebih cepat. Aku memperhatikan wajahnya yang damai, menghela nafas dalam-dalam.

 "Safira," panggilku perlahan, "Aku ingin kamu tahu... bahwa aku senang bisa mengenalmu. Aku menyukai setiap saat yang kita habiskan bersama, meskipun kadang aku merasa canggung. Aku berharap bisa lebih dekat denganmu."

 Lalu tiba-tiba, dunia menjadi kabur dan perlahan-lahan memudar. Suara angin sepoi-sepoi memudar, digantikan oleh deringan suara alarm telepon genggamku. Aku membuka mataku dengan perasaan bingung. Semua hal yang barusan ku lewati hanyalah mimpi, mimpi itu begitu nyata namun kini hilang begitu saja. Alarm ku masih berdering, dan aku segera mematikan alarm itu. 

 Aku duduk di atas tempat tidurku, merasakan kenyataan yang mulai kembali menghampiri. Hati ku masih terasa hangat akibat perasaan dari mimpi itu, tetapi sekarang aku tahu bahwa itu hanya mimpi. Aku merenung sejenak, mencoba mengingat setiap detail dari mimpiku yang indah tadi.

"Kok bisa sih, dia masuk ke mimpi ku?" Gumam ku bingung dan ingin kembali tidur. 

 Aku menghela nafas dan merenung sejenak. Meskipun mimpi itu hanya khayalan, perasaan yang muncul dari dalamnya tetaplah nyata. Aku menyadari bahwa ucapan ku adalah sebuah kekuatan yang bisa mengubah arah hubungan ku dengannya, jika aku terapkan di dunia nyata. Dalam mimpiku, aku berani mengungkapkan perasaanku pada Safira, dan itu adalah sebuah langkah yang membebaskan ku untuk berani berkata kepada seseorang.

 Aku bangkit dari tempat tidur, berusaha mengumpulkan semangat untuk menghadapi hari yang sebenarnya. Aku ingin lebih berani dan tulus dalam berbicara dan berinteraksi dengan orang-orang di sekitarku, termasuk Safira.

 Setelah mandi dan bersiap-siap, aku pergi ke sekolah dengan perasaan yang berbeda. Aku merasa lebih percaya diri dan terbuka untuk menghadapi hari ini. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan mengambil langkah-langkah kecil untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan Safira dan juga dengan orang lain.

 Di sekolah, aku melihat Safira berjalan di koridor. Hatiku berdebar, seperti masih ada rasa canggung mengingat mimpi tadi malam. Aku mendekati Safira dengan senyuman, ingin mengucapkan halo walaupun masih ada rasa canggung.

"Hai Safira," sapaku dengan tulus saat kami berpapasan.

Safira tersenyum, "Hai Dika. Bagaimana kabarmu hari ini?"

"Aku baik-baik aja, terima kasih. Bagaimana dengan kamu?" balasku, mencoba untuk berbicara dengan lebih santai.

"Hari ini Aku merasa lebih baik dan semakin baik," balasnya.

"Syukurlah."

"Hmm, Dika. Kamu pernah penasaran tentang mimpi gak sih?" Bertanya Safira kepada ku.

"Waduh..." Gumam ku di dalam hati. "Hmm, mimpi ya. Ya sedikit sih, emang kenapa kamu penasaran tentang mimpi?" Ucapku.

"Gak apa-apa aku kepikiran aja, eh aku duluan ya." Ucap nya pergi dengan perasaan canggung.

 Ucapan Safira yang sangat ambigu, membuat ku semakin penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan Safira. Apakah mungkin mimpi kami saling terhubung satu sama lain, ataukah ini hanya sebuah kebetulan. Aku harap opsi pertama yang jadi kenyataan, namun aku sadar itu tak mungkin terjadi di kehidupan nyata.

  Setelah percakapan singkat dengan Safira tadi,  membuat ku merasa ada hal yang berbeda dalam diriku. Bahkan jika aku belum yakin apakah mimpi kita benar-benar terhubung, aku tetap ingin menjalani hari dengan semangat dan penuh keyakinan pada diriku. 

 Kelas ku yang berada di lantai dua sekolah, yang letaknya cukup terpencil dan jarang dilihat dilihat guru. Terletak di sebelah ruang perpustakaan, kelas ini menawarkan suasana yang damai dan jauh dari keramaian koridor utama. Meskipun terletak di pojok, kelas ini memiliki daya tarik sendiri karena memberikan ketenangan kepada kami (murid) yang ada disini.

 Ketika pelajaran berlangsung, aku mencoba fokus dan belajar sebaik mungkin. Pikiranku terus kembali pada perasaan yang aku rasakan dalam mimpi, tapi aku berusaha untuk tidak terlalu terlarut dalam khayalan itu. Aku berharap bahwa semua hal yang akan terjadi kedepannya, itu merupakan hal baik untuk ku. 

 Setelah pelajaran berakhir dan waktu istirahat di mulai, aku memutuskan untuk pergi ke kantin sendirian tanpa di temani Aldi. Namun sebelum ke kantin, Aku memutuskan untuk menghampiri Febri di lorong sekolah. Aku melihat dia sedang duduk sendirian di bangku, dan tampak terdalam dalam pikirannya. Aku menghampirinya dengan hati-hati.

"Hallo Febri, kamu sedang apa?" Tanya ku untuk mendekati nya. 

Dia terkejut mendengar suaraku, namun kemudian tersenyum. "Oh, Kak Dika. Aku gak kenapa-kenapa kok."

Aku mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Aku merasa ada yang berubah. Apakah ada yang salah ama aku?"

Febri menatapku sejenak, kemudian menggeleng. "Nggak, Kakak nggak  salah. Aku cuma ngerasa tidak enak ama Kakak."

"Tidak enak? Tidak enak kenapa?" Tanya ku.

 Wajahnya tampak sedikit berat, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang ia tahan. "Ingat hari itu, pas kamu di-bully ama kelompok Toni? Aku melihat semuanya, tapi aku merasa tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantumu. Aku merasa begitu tidak berdaya, Kak Dika."

 Aku terdiam sejenak, mengingat hari itu. Saat itu aku benar-benar merasa tak berdaya dan tak bisa berbuat apa-apa. Aku merasa haru dan berterima kasih karena dia menceritakan perasaannya

"Febri, aku mengerti perasaanmu. Tapi aku juga ingin kamu tahu bahwa kamu tidak perlu merasa bersalah. Lagi pula, maaf ya aku baru tahu kalau kamu itu. Eeh, perempuan..." 

"Jadi Kak Dika udah tahu rahasia aku? Maaf ya aku baru bilang sekarang..." 

"..." 

"Hmm, Kak Dika?"

Aku berbalik lalu berkata. "Iya, Safira yang memberitahuku. Tapi jangan khawatir, aku tidak merasa aneh atau apa pun. Kamu tetap temanku, tidak peduli jenis kelaminmu."

Wajahnya tampak lega, "Terima kasih, Kak Dika. Aku merasa sangat lega mendengarnya."

Until You Look At Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang