Perasaan Yang Menguat
Dalam beberapa minggu setelah Safira mencampak kan ku di bawah pohon itu, aku merasa seperti ada dinding tak kasat mata yang tumbuh di antara Safira dan aku. Meskipun kami berdua masih bekerja bersama di kepanitiaan festival sekolah, namun ada keengganan yang terasa di antara kami berdua untuk saling bertemu.
Safira tetap ramah, tetapi senyumnya terasa lebih kaku. Terkadang saat aku menatap matanya langsung, ia mencoba menghindari kontak mata dengan ku. Lalu Aku mencoba mencari tahu apa yang salah, apakah dia masih merasa canggung dengan kejadian itu atau ada sesuatu yang lebih dalam yang tidak bisa ia katakan.
Saat kami duduk bersama dalam rapat terakhir sebelum festival dimulai, aku merasa ada kesempatan untuk membicarakan semua ini. Namun, setiap kali aku mencoba untuk berkata, ucapan ku terasa terjebak di tenggorokanku. Aku takut bahwa jika aku mengutarakannya, semua akan berubah menjadi lebih buruk.
Jadi aku memutuskan untuk menahan semua perkataan yang ingin kuutarakan setelah rapat usai, aku tak tau bagaimana aku memulai percakapan dengannya. Hati ku serasa hancur saat ia mulai tidak lagi berbicara dengan ku akhir akhir ini, tapi dia adalah wanita yang ku mau dan hanya dialah yang mau ku miliki.
Festival Di Mulai
Hari ini tepat pada hari dimana festival itu dimulai, aku bergegas mengkencangkan kaki-kaki ku di pagi hari. Untuk mengawali hari, ku sruput segelas teh hangat yang baru saja ku buat. Udara pagi begitu segar, dan semangat festival terasa di udara. Aku melihat ke cermin dan merapihkan rambut ku yang baru ku cukur di sebuah barbershop.
Melihat wajah yang baru dan juga fresh, aku merasa seperti 'manusia' yang baru. Aku mengenakan baju yang di berikan kak rizka kemarin,
"Baju ini khusus hanya untuk orang di balik layar saja yang boleh mengenakannya." Kata Kak Rizka kemarin.Aku tiba di sekolah dengan semangat yang tinggi. Sekolah yang biasanya sepi, kini dipenuhi dengan keriuhan dan kesibukan. Panitia sibuk memastikan semuanya berjalan lancar, dan aku tak sabar untuk melihat reaksi semua orang saat mereka melihat panggung yang telah kami susun dengan susah payah.
Ketika festival dimulai, suasana sekolah berubah menjadi penuh warna. Anak-anak sekolah menikmati setiap sudut acara, dari stan makanan hingga panggung utama. Aku melihat Safira sibuk mondar-mandir mengatur para pengunjung, pandanganku tertahan sejenak saat dia tersenyum melihat anak-anak menikmati festival.
Seketika saat aku memandangnya, aku berkhayal bahwa dia berbalik arah menatap ku dengan senyuman di wajah nya. Namun saat aku mengusap mata ku, Safira sudah tidak ada disana. Saat itulah tiba-tiba Kak Rizka datang membuat ku kaget setengah mati, karena ia berpakaian serba hitam serta membawa sabit besar yang ia bawa.
"Astaga, Kak Rizka jangan bikin gitu dong." Ucap ku kepada Kak Rizka dengan kesal.
"Maaf ya Dika, ini hanya kostum khusus untuk membuka Festival Sekolah. Aku akan memerankan sosok pencabut nyawa yang akan mengakhiri cerita kita di atas panggung."
Kak Rizka melontarkan senyum misterius, membuatku merasa tidak yakin apakah harus tertawa atau tetap serius. "Ini hanya untuk menambah kesan dramatis pada pembukaan festival. Tidak usah khawatir, Dika."
Sementara hatiku masih berdegup kencang akibat keterkejutan, Kak Rizka bersiap-siap untuk masuk ke dalam karakternya yang dramatis. Aku mencoba menenangkan diri dan mengalihkan perhatian pada persiapan terakhir panggung.
Safira yang melihat kejadian itu dari kejauhan merasa cemburu karena tidak bisa berada dekat dengan Dika, akhirnya Safira melanjutkan pekerjaan nya.
Ketika pertunjukan dimulai, suasana sekolah semakin hidup. Lampu-lampu sorot menyala, musik memenuhi udara, dan panggung terlihat menakjubkan. Aku bersama dengan panitia yang lain terus memastikan segalanya berjalan sesuai rencana. Namun, di tengah kesibukan itu, pikiranku kembali melayang pada Safira.
Safira tampak sibuk dengan tugasnya, mengarahkan pengunjung dan memastikan semua berjalan lancar. Meski begitu, aku merasa ada jarak yang semakin lebar di antara kami. Hati ini ingin menyapanya, ingin menyelesaikan ketidaknyamanan yang ada di antara kami, namun aku masih terjebak dalam ketakutan akan reaksi dan akibatnya.
Seiring berjalannya waktu, aku semakin tersadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan ini. Meskipun perasaanku yang rapuh, aku harus menguatkan hatiku dengan cara ku sendiri. Mungkin inilah saatnya untuk bertemu dengan Safira, untuk mengungkapkan perasaanku dan menyelesaikan kebingungan yang terus menggantung di pikiranku.
Dengan hati yang berdebar, aku memutuskan untuk mengatasi ketakutan dan ketidakpastian yang selama ini menghantuiku. Sambil mengamati Safira yang tetap sibuk, aku mencari celah untuk berbicara dengannya.
Setelah pertunjukan berlangsung lancar dan suasana semakin memanas, aku memilih waktu yang tepat. "Safira," panggilku sambil mendekatinya.
Safira menoleh ke arahku dengan tatapan sinis, meskipun terlihat sedikit ada perasaan khawatir. "Ada apa, Dika?"
"Maafkan aku jika mengganggu, Safira. Tapi ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu." Kata ku dengan nada rendah.
Dia menjawab dengan nada sopan, "Tentu, Dika. Ada apa?"
"Sekarang, di tengah-tengah keriuhan festival ini, mungkin bukan saat yang tepat, tapi..." aku merangkai kata-kata di kepala ku, mencari cara terbaik untuk menyampaikan perasaanku. "Apa yang sebenarnya terjadi di antara kita? Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres, dan aku ingin tahu."
Safira menatapku dengan pandangan yang menghilangkan keraguan di antara aku dan dia. "Dika, ini bukan tempat yang tepat untuk membahasnya."
"Tapi maaf, Safira, tapi aku rasa ini gak bisa terus-terusan berlanjut. Ini mungkin memang bukan tempat yang tepat, tapi aku nggak bisa kalau di gantung begini. Kita perlu bicara." ucap ku serius menatap nya sembari memegang tangannya.
"Iya Dika, aku tau tapii..." Ucap Safira ragu...
Tiba-tiba sorot lampu menyilaukan pandangan kami berdua, semua mata menyorot kepada kami. Seperti nya aku tahu berbuatan siapa ini, dan benar saja pelaku nya naik ke atas panggung. DIa adalah ketua osis Kak Rizka, seolah-olah mengetahui bahwa ada drama pribadi yang ingin terungkap, Kak Rizka memegang mikrofon dan berbicara dengan suara menggelegar.
"Selamat sore menjelang malam, para penonton yang luar biasa! Sepertinya ada sesuatu yang ingin diungkapkan di tengah-tengah kegembiraan festival ini, bukan?" ucap Kak Rizka dengan nada penuh keceriaan, seakan-akan menambahkan dimensi baru pada pertunjukan.
Safira dan aku saling beradu pandang, campur aduk antara kekagetan dan kebingungan. Namun, sorot lampu dan perhatian semua orang membuat ku dan dia seperti terjebak dalam momen kebahagiaan ini.
Kak Rizka tertawa sambil menatap kami berdua. "Tidak perlu khawatir, ini hanya sedikit tambahan untuk meramaikan festival. Aku tahu bahwa di antara kalian berdua ada sesuatu yang perlu diungkapkan, dan aku pikir ini adalah saat yang tepat!"
Mataku membulat. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi sudah jelas Kak Rizka punya rencana tersendiri. Dia kemudian memandang kami berdua.
"Dika dan Safira, apa kalian berdua bersedia mengikuti tantangan kecil ini?" tanya Kak Rizka sambil memegang kertas di tangannya.
Sementara aku berusaha mencerna apa yang baru saja diucapkan Kak Rizka, dia melanjutkan dengan penuh semangat, "Oke, untuk menambah keseruan, kita akan punya sesi tanya jawab singkat di panggung ini! Aku akan melemparkan pertanyaan kepada kalian berdua, dan kalian harus menjawab dengan jujur. Tidak perlu malu-malu, ini hanya untuk hiburan!"
Aku dan Safira saling pandang penuh kebingungan, tapi kami berdua sepakat untuk melanjutkan permainan ini, mungkin sebagai cara untuk melepas tegangan yang ada di antara kami. Kak Rizka mengajak kami berdua ke atas panggung, namun kami menolak akan ide itu. Tapi Febri dan Aldi mendorong ku naik keatas, begitu pula dengan teman-teman Safira.
Terpaksa aku dan Safira naik ke atas panggung, seluruh warga sekolahpun ikut bertepuk tangan menyemangati kami berdua. Seakan merestui hal ini, para guru juga mendukung kami berdua...
~Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Until You Look At Me!
RomanceSinopsis : Seorang pemuda yang pemalu dan lemah sedang mengalami pembullyan di kantin sekolah. Namun, datang lah seorang gadis pemberani melindunginya seperti ksatria penyelamat. Gadis itu membuat hati pemuda itu terpicut, dengan keberaniannya. Ga...