11

226 25 2
                                    

Ketika kami menunggu di trotoar, Renjun menoleh kearahku. "Apa yang akan kita katakan pada ayahmu?"

Dan inilah pertanyaan yang telah aku hindari untuk tanyakan pada diri sendiri sepanjang malam. Ayahku adalah pria setia dan dapat diandalkan—seorang ksatria. Tradisional. Aku percaya ayahku akan bangga karena aku membela kehormatan Renjun. Tapi dia juga seorang pengusaha. Dan kenyataannya adalah, aku bisa saja membela Renjun dan masih mendapatkan kontrak dari Siwon. Itu yang seharusnya kulakukan. Well, itulah yang akan kulakukan seandainya ini terjadi pada orang lain selain Renjun di meja perundingan.

"Aku akan menangani urusan dengan ayahku."

"Apa? Tidak, kita satu tim, ingat? Kita berdua kehilangan klien ini."

"Aku yang marah pada Siwon."

"Dan aku juga tidak mencegahmu. Sekarang, aku menghargai apa yang telah kau lakukan untukku, Jeno, sungguh. Kau luar biasa, sebenarnya."

Mungkin itu hanya karena pengaruh vodka, tapi kata-katanya membuatku merasa bahagia dan terhibur.

"Tapi aku tidak butuh seorang penyelamat," ia melanjutkan. "Aku wanita dewasa, dan aku pasti bisa menangani apa pun yang mungkin ayahmu berikan. Kita akan bicara padanya bersama-sama pada Senin pagi. Setuju?"

Ini mengkonfirmasi bahwa: Huang Renjun adalah seorang wanita yang luar biasa.

"Setuju."

Kemudian sebuah mobil Ford Thunderbird warna hitam menderu di jalan dan berhenti di depan kami. Ya—kubilang Thunderbird. Dapatkah kalian katakan bahwa ini benar-benar akhir pekan tahun 80an? Seorang pria dengan bentuk tubuh rata-rata dan rambut cokelat muda keluar dari dalam mobil.

Apakah hanya aku, atau memang dia terlihat seperti orang brengsek menurut kalian juga? Jenis orang yang ketinggalan jaman. Jenis semprotan cuka dan air milik nenek kalian.

Dengan kening berkerut, Jaemin memusatkan perhatian pada Renjun sebelum menatap kearahku. Dan kemudian dia bahkan terlihat lebih marah lagi. Mungkin si tolol ini tidak sebodoh seperti yang kukira, dia menyadari kehadiran seorang pesaing ketika melihatku.

Dia berjalan memutar dan membukakan pintu penumpang untuk Renjun. Renjun mendesah dan memberiku senyum terpaksa. Lalu ia berjalan dua langkah kearah mobil dan tersandung pada lubang di trotoar. Aku bergerak untuk menangkapnya, tapi si brengsek lebih dekat dan mendahuluiku. Dia memegang Renjun dalam jarak yang agak jauh, kemarahan di wajahnya berubah menjadi rasa jijik.

"Apa kau mabuk berat?"

Aku benar-benar tidak suka nada bicaranya. Seseorang perlu mengajari dia sedikit sopan santun.

"Jangan mulai, Jaemin. Aku mengalami malam yang berat," Renjun memberitahunya.

"Malam yang berat? Benarkah? Seperti mempunyai pertunjukan terbesar dalam hidupmu saat pacarmu tidak ada? Apakah seburuk itu, Renjun?"

Pertunjukan? Apakah dia benar-benar baru saja mengatakan pertunjukan? Apakah Renjun sungguh-sungguh tidur dengan si tolol ini? Kalian pasti bercanda.

Renjun melepaskan diri dari pegangannya. "Kau tahu..." Dia mulai kata-katanya dengan tajam—dan kemudian melemah. "Sudahlah...ayo kita pulang." Dia masuk ke dalam mobil dan si brengsek itu membanting pintu di belakangnya. Dia melotot kearahku saat berjalan memutar menuju ke kursi pengemudi.

Renjun menurunkan kaca jendelanya. "Selamat malam, Jeno. Dan terima kasih...untuk semuanya."

Aku memberi Renjun senyuman meskipun hasratku untuk menghancurkan wajah tunangannya sangat besar. "Tidak masalah."

Dan Thunderbird menderu pergi. Meninggalkanku, untuk dua malam berturut-turut, mendambakan Huang Renjun. Aku mengusap tangan ke wajahku ketika sebuah suara muncul di belakangku.

messy [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang