14

242 31 2
                                    

Hari Senin pagi, aku berada di ruang konferensi menunggu rapat staff untuk dimulai. Semua orang di sini. Semua orang, kecuali Renjun. Ayahku melirik arlojinya. Dia punya rencana golf pagi ini, dan aku tahu dia tidak sabar untuk segera sampai di sana. Aku menggaruk belakang telingaku.

Di mana sebenarnya dia?

Akhirnya, Renjun datang dengan mantel masih terpakai dan setumpuk folder hampir terjatuh dari tangannya. Dia terlihat......mengerikan. Maksudku, dia cantik, dia selalu cantik. Namun dilihat dari seseorang yang mengamatinya secara dekat—Renjun sedang mengalami hari yang buruk. Lihat bagaimana pucatnya dia? Dan sejak kapan lingkaran hitam itu ada di bawah matanya? Rambutnya diikat dalam gelung yang berantakan, ini akan terlihat sangat seksi jika dia tidak terlihat begitu...sakit.

Dia tersenyum gugup kearah ayahku. "Maaf, Tuan Lee. Saya terlambat."

"Tidak masalah, Renjun. Kami baru saja mulai."

Ketika ayahku mengucapkan dengan cepat pengumumannya, tatapanku tak pernah lepas darinya. Dia tidak menatapku sekalipun.

"Renjun, kau membawa berkas proyeksi untuk Pharmatab?"

Ini adalah kesepakatan yang ayahku bicarakan dengan si brengsek itu di pesta kantor. Kesepakatan yang ditutup Renjun pekan lalu. Dia mendongak, mata cokelatnya yang besar membuatnya terlihat seperti rusa tersorot lampu (begitu terkejut hingga tidak bisa bergerak).

Renjun tidak membawa berkasnya.

"Ahh...berkasnya...um..."

Aku membungkuk dan berseru, "Aku memiliki berkas itu. Renjun memberikannya padaku minggu lalu untuk kupelajari. Tapi aku meninggalkannya di meja rumahku. Aku akan memberikannya untukmu secepatnya, Dad." ayahku mengangguk, dan Renjun menutup matanya dengan lega.

Setelah rapat selesai, semua orang perlahan berjalan keluar, dan aku berjalan di samping Renjun. "Hei."

Dia menunduk menatap ke arah folder di tangannya dan mengatur mantel di lengannya. "Terima kasih atas apa yang kau lakukan di sana, Jeno. Kau benar-benar baik."

Aku tahu apa yang kukatakan beberapa hari sebelumnya—bahwa aku sudah selesai dengannya. Aku tidak bersungguh-sungguh. Aku sedang mengeluarkan uneg-unegku, membuang pergi hawa frustasi seksualku. Kalian sudah tahu itu. Apakah Renjun tahu? Apakah dia peduli?

"Aku harus sesekali melakukan hal yang baik. Hanya untuk membuatmu terus memperhatikan." Aku memberinya senyum kecil yang tidak mendapat balas darinya.

Dan dia masih juga belum menatapku. Ada apa dengannya?

Jantungku mulai berdebar di dadaku saat aku memikirkan segala kemungkinan. Apakah dia sakit? Apakah terjadi sesuatu pada ibunya? Apakah dia dirampok di kereta bawah tanah?

Ya Tuhan.

Renjun berjalan masuk ke dalam kantornya dan menutup pintu, meninggalkanku berdiri di luar. Di sinilah pria berada dalam posisi yang tidak menguntungkan. Ketika Tuhan memberikan tulang rusuk tambahan kepada Hawa, Tuhan seharusya juga memberi sesuatu yang ekstra kepada kaum pria. Telepati mental misalnya?

Aku pernah mendengar ibuku memberitahu ayahku bahwa ibuku tidak harus menjelaskan mengapa dia marah. Bahwa jika ayahku belum tahu kesalahan apa yang telah dilakukannya, itu berarti ayahku tidak sungguh-sungguh menyesalinya. Apa-apaan artinya itu? Sekilas info, ladies: Kita tidak bisa membaca pikiran kalian. Dan terus terang, aku tidak sepenuhnya yakin kalau aku menginginkannya. Pikiran wanita adalah tempat yang menakutkan untuk dikunjungi.

Pria? Kami tidak meninggalkan banyak ruang untuk keragu-raguan: Kau orang brengsek. Kau mengauli pacarku. Kau membunuh anjingku. Aku membencimu. Langsung. Jelas. Tidak ambigu. kalian para wanita kapan-kapan harus mencobanya. Ini akan membawa kita semua satu langkah lebih dekat menuju perdamaian dunia.

messy [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang