08

232 30 3
                                    

Aku sudah pernah mencium ratusan cewek. Tidak—anggap saja sudah ribuan. Aku hanya ingat beberapa dari mereka. Tapi ciuman ini? Ini adalah salah satu ciuman yang tidak akan kulupakan dalam waktu dekat.

Dia terasa...Oh Tuhan, aku belum pernah memakai narkoba, tapi aku membayangkan rasanya seperti ini saat pertama kali menghirup kokain. suntikan pertama dari heroin. Sungguh membuat ketagihan.

Bibir kami beradu dan bergerak satu sama lain. Marah dan basah.

Aku tidak bisa berhenti menyentuhnya. Tanganku ada di mana-mana: wajahnya, rambutnya, turun di punggungnya, mencengkeram pinggulnya. Menariknya lebih dekat, sangat ingin untuk merasakan lebih—mengharapkan Renjun untuk merasakan persis apa yang dia lakukan terhadapku.

Membutuhkan udara, aku merenggut mulutku dari bibirnya dan menyerang lehernya, aku menikmati dirinya, seperti pria kelaparan. Dan itulah diriku yang sebenarnya—rakus—akan dirinya. Aku menarik nafas saat aku menjilat, menghisap, dan menggigit dari rahang menuju ke telinganya.

Dia merintih dengan suara tak jelas, tapi aku mengerti. Suaranya, liar dan seksi, membuatku mengerang. Dan aroma tubuhnya. Ya Tuhan. Dia berbau seperti...bunga dan gula. Seperti salah satu hiasan berbentuk mawar pada bagian atas kue.

Sungguh Lezat.

Dan tangannya juga tidak tinggal diam. Tangannya mencengkeram bisepku, panas dari tangannya merembes melalui kemejaku. Dia menggoreskan kukunya dipunggungku dan jari-jarinya turun ke bawah pinggang celana panjang longgarku. Pertama menyentuh kemudian menangkup pantatku.

Aku sekarat. Aku terbakar. Darahku berubah menjadi api, dan aku merasa seakan kami akan berubah menjadi asap sebelum kami sampai di sofa. Renjun terengah saat aku menarik daun telinganya ke dalam mulutku dan lidahku menari melintasi daging di bawahnya.

"Jeno? Jeno, apa yang kita lakukan?"

"Aku tidak tahu," aku mengerang dengan suara datar. "Hanya...jangan berhenti menyentuhku."

Renjun tidak berhenti.

Dan aku kembali ke bibirnya. Meluncurkan lidahku kedalam mulutnya. Menggesernya masuk ke dalam bibirnya dengan cara yang sama seperti aku sangat ingin meluncurkan kejantananku kedalam tubuhnya yang basah dan siap menyambut. Aku merasa pinggulnya mendorong kearahku. Dan setiap darah yang tersisa dalam tubuhku mengalir ke bawah, membuat kejantananku menjadi lebih keras dibanding yang pernah kualami seumur hidupku.

Berminggu-minggu perasaan rindu dan frustasi mengalir melalui tubuhku. Aku sudah terlalu lama menyikat gigi dengan pepsodent—dan rasanya seperti sampah.

"Apa kau tahu betapa aku menginginkan ini? menginginkanmu? Oh Tuhan, Renjun...aku sudah bermimpi tentang ini...memohon agar ini terjadi. Kau membuatku...ah, aku tak pernah...bisa puas akan dirimu."

Tangannya berada di dadaku sekarang, mengusap, menggaruk, turun di perutku, sampai salah satu tangannya menyenggol bagian depan celanaku, dan aku mendesis dalam kenikmatan murni yang menyakitkan. Sebelum aku bisa menarik napas, Renjun membelai kejantananku melalui celanaku, dan aku mendorong ke depan. Segala kendali atau kemampuan menghadapi situasi hilang seketika.

Tanganku naik ke payudaranya, dan Renjun melengkungkan punggungnya untuk membawanya lebih dekat, aku meremasnya, dan dia mengerang lagi. Tanganku meluncur menuju di mana putingnya berada, frustasi karena blus dan bra miliknya. Aku ingin menarik dan mencubit payudaranya yang indah, sampai dua puncaknya mengeras. Mulutnya di leherku, mencium, dan aku mengangkat daguku.

Rasanya tidak pernah seperti ini, aku belum pernah merasakan seperti ini, aku belum pernah punya perasaan sebesar ini pada seorang wanita, tidak peduli jika ini adalah campuran dari amarah dan nafsu.

messy [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang