06

264 31 4
                                    

Dan dimulailah—Olimpiade investasi perbankan. Sebenarnya aku ingin mengatakan ini adalah kontes dewasa antara dua rekan profesional dan sangat cerdas. Aku ingin mengatakan ini penuh persahabatan.

Aku ingin menga...tapi aku tidak ingin. Karena aku pasti bohong.

Ingat komentar ayahku? Komentar bahwa Renjun menjadi orang yang pertama datang ke kantor dan orang terakhir yang pulang? Komentar itu menempel dalam pikiranku sepanjang malam.

Mendapatkan kontrak dari Choi Siwon bukan hanya tentang melakukan presentasi terbaik, menemukan ide-ide terbaik. Itulah yang dipikirkan Renjun—tapi aku lebih tahu. Toh, pria itu adalah ayahku; kita memiliki DNA yang sama. Ini juga tentang penghargaan. Siapa yang lebih berdedikasi. Siapa yang akan mendapatkannya. Dan aku bertekad untuk menunjukkan pada ayahku bahwa aku adalah "orangnya".

Jadi, hari berikutnya aku datang satu jam lebih awal. Selanjutnya saat Renjun tiba, aku tidak mendongak dari mejaku, tapi aku merasakannya saat ia berjalan melewati pintuku.

Lihat ekspresi wajahnya? Langkahnya sedikit terhenti saat ia melihatku? Cemberutnya muncul ketika menyadari bahwa dia adalah orang kedua yang datang? Lihat tatapan keras di matanya?

Jelas, aku bukan satu-satunya orang yang melakukannya dengan sangat serius.

Pada hari Rabu, aku datang pada waktu yang sama dan melihat Renjun sedang mengetik di mejanya. Dia mendongak ketika melihatku. Dia tersenyum riang. Dan melambai.

Ku. Rasa. Tidak.

Hari berikutnya, aku datang setengah jam lebih awal...dan seterusnya. Apa kalian bisa melihat polanya di sini? Saat Jumat berikutnya datang, aku mendapati diriku berjalan ke depan gedung jam setengah lima pagi.

Setengah-lima-pagi!

Sekarang masih gelap. Dan saat aku sampai ke pintu gedung, tebak siapa yang kulihat di depanku, datang pada waktu yang sama?

Renjun.

Dapatkah kalian mendengar desisan dalam suaraku? Kuharap kalian bisa. Kami berdiri di sana saling beradu pandang, mencengkeram kafein berisi cappuccino double-mocha ekstra besar di tangan kami.

Sedikit mengingatkan kalian tentang salah satu film koboi lama, bukan? Kalian tahu maksudku—di mana dua orang berjalan menyusuri jalanan kosong di siang bolong untuk saling baku tembak. Jika kalian mendengarkan dengan cermat, mungkin kalian bisa mendengar panggilan kesepian burung pemakan bangkai sebagai latarnya.

Secara bersamaan, Renjun dan aku menjatuhkan minuman kami dan lari bergegas ke arah pintu. Di lobi, dia menekan tombol lift dengan mati-matian sementara aku langsung menuju tangga. Betapa jeniusnya diriku, kupikir aku bisa melangkah tiga anak tangga sekaligus. Tinggiku hampir 180 cm—kakiku panjang. Satu-satunya masalah, tentu saja bahwa kantorku ada di lantai empat puluh.

Idiot.

Ketika aku akhirnya mencapai lantai tempat kerja kami, terengah-engah dan berkeringat, aku melihat Renjun sedang santai bersandar di pintu kantornya, mantel sudah dilepaskan, segelas air di tangan. Dia menawarkannya padaku, diiringi dengan senyum mempesonanya.

Itu membuatku ingin mencium dan mencekiknya pada saat yang sama. Aku tidak pernah suka sadomasokisme. Tapi aku mulai melihat manfaatnya.

"Di sini kau rupanya. Sepertinya kau bisa menggunakan ini, Jeno." Dia memberiku gelasnya dan pergi dengan langkah yang dibuat-buat. "Semoga harimu menyenangkan."

Benar.

Tentu, aku akan melakukannya.

Karena sejauh ini sudah mulai bagus.

messy [noren]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang