21. ∞ S E L E S A I ∞

2.8K 165 9
                                    

Lita masih terus menangis tersedu-sedu dengan Cio yang memeluknya dari arah belakang. Perlahan Lita berbalik dan mendorong dengan kasar tubuh Cio, hingga anak nya itu terpental jatuh tepat di kaki Bambang.

"Kamu tidak boleh baik sama saya Cio, saya jahat sama kamu, harusnya kamu membenci saya! Pukul saya Cio, pukul saya!" Lita terus berteriak histeris dan melemparkan semua barang yang ada di dekat nya, Lita seperti wanita kesetanan hari ini.

Bambang dengan cepat membantu Cio berdiri dan melindungi anak nya itu. Bambang mendekati Lita dan memeluk sang istri, pelukan yang tidak pernah ia berikan sejak mereka berdua menikah.

"Kamu tidak salah, Cio juga tidak salah. Dia hanya tidak tahu apa alasan kamu selama ini membenci dia, dan apa alasan ku membenci dia. Tapi, lihat sekarang dia sangat mencintai kamu, walau bagaimanapun kamu adalah kakak dari ibu nya, rasanya tetap sama seperti kamu ibu kandungnya. Aku yang salah Lita, aku yang seharusnya kamu hukum bukan diri kamu sendiri begitu pun dengan Cio."

Lita membalas pelukan Bambang dengan lembut. "Maaf, mas. Aku nggak pernah sadar, aku terlalu dibawa emosi dan egois. Aku lupa kalau sekarang Cio tumbuh tanpa kasih sayang orang tua. Aku melupakan kalau dia bukan hanya butuh makan untuk hidup, tapi dia juga butuh kasih sayang."

Lita melebarkan tangan kanan nya, meminta Cio juga bergabung dalam pelukan mereka. Dengan senang hati Cio mendekat dan memeluk kedua orang tua nya.

"Ayo kita makan dulu," ajak Lita.

"Mama udah masak?" Cio bertanya.

Lita menggeleng pelan. "Kita masak mie aja ya."

Malam yang dingin kembali terasa begitu hangat, ditemani cahaya remang-remang. Malam ini Cio dapat merasakan cinta dalam rumah ini, tertawa dan bercanda bersama kedua orangtuanya, untuk pertama kalinya Cio merasakan itu semua. Rumah ini akan selamanya seperti ini, di isi oleh tawa dan canda setiap hari.

Setelah acara makan malam, kedua orang tua Cio kembali ke dalam kamar mereka masing-masing. Dan Cio masuk ke dalam kamarnya.

Betapa terkejutnya pria itu ketika melihat seorang wanita yang tengah duduk manis di atas ranjang, dia adalah Hana.

"Lo!" Cio menunjuk Hana dengan raut wajah terkejut, bagaimana jika orang-orang di rumah ini melihat kehadiran Hana.

Hana melirik Cio sekilas dan akhirnya berujar, "kita harus pulang, Sat. Waktu nya tinggal sedikit."

"Tapi gue belum jujur ke semua teman-teman gue, Han. Terutama Bulan."

Hana menutup pintu kamar Cio dan mengunci nya rapat-rapat. Kamar Cio memang terpaut lumayan jauh dari kamar kedua orangtuanya, jika Hana mengunci pintu, walaupun mereka berteriak. Tidak akan ada yang mendengar suara mereka.

"Apa yang mau Lo katakan ke mereka? Lo mau jujur kalau Lo itu Satria bukan Cio? Lo juga mau jujur ke Bulan? Sat, please. Gak lucu."

"Terus gue harus gimana? Apa setelah gue pulang, Cio juga kembali ke dalam tubuhnya?"

Hana mengangguk. "Tanpa Lo sadari, alam bawah sadar Cio masih ada. Walaupun Lo pulang, Cio akan melanjutkan hidupnya. Dan seolah berpikir semua yang terjadi memang dia yang melakukan. Dan, Lo. Lo nggak akan pernah mendapatkan cinta Bulan, karena cinta nya hanya untuk Cio."

"Tapi yang mencintai Bulan bukan Cio melainkan Satria."

Hana tertawa mendengar jawaban polos Cio. "Bulan dan Cio akan bahagia dengan kehidupan mereka, Sat. Lo nggak perlu jujur soal apapun, kalau Lo nggak pulang sebelum jam enam pagi. Cio akan mati selamanya, dan Satria juga nggak akan pernah kembali. Berapa orang yang akan tersakiti? Orang tua Cio kehilangan anak mereka dan orang tua Satria juga akan kehilangan anak mereka."

Cio diam tidak bergeming, Hana memang benar. Cio tidak boleh egois, toh Kalaupun dia pulang, Cio akan melanjutkan hidupnya bersama Bulan dan teman-teman nya. Dan, Satria, dia akan melanjutkan hidupnya juga menjadi Satria yang seutuhnya. Tanpa rasa takut, tanpa rasa khawatir. Dia bisa hidup dengan bebas, walaupun melepaskan Bulan bukan lah sesuatu yang mudah ia lakukan sekarang ini.

"Gue harus apa?" tanya Cio pada Hana.

"Ikut gue." Hana menarik tangan Cio agar mendekat ke sebuah cawan yang di dalam nya terdapat air dan sebuah kalung permata berwarna biru. Hana dan Cio bersamaan memasukkan kedua tangan mereka ke dalam cawan, hingga tatapan keduanya mengabur.

****

Dentuman suara begitu keras dan memekakkan telinga. Satria ingin berteriak namun suara nya tertahan, dada nya sangat sesak. Deru nafas pria itu kian memberat, sampai akhirnya dia mendengar suara yang samar-samar dibarengi dengan suara tangisan memanggil namanya.

"Satria, bertahan sayang."

"Bertahan, nak. Mama mohon!"

"Ayo, Satria. Lo pasti bisa, jangan lemah!"

"Dokter....!!"

Suara itu kembali senyap. Berganti dengan suara detak jam dinding dan air hujan. Perlahan Satria membuka mata dan menatap sekelilingnya, ruangan yang serba putih lengkap dengan alat-alat medis di sekitar laki-laki itu.

"Sat, Lo udah bangun." Kasih datang dan membantu Satria agar bisa duduk.

"Bulan."

Kasih menoleh sekelilingnya, tidak ada siapapun disana selain mereka berdua. "Lo manggil gue?" Kasih mencoba memastikan.

Satria menggeleng beberapa kali, matanya menyapu seluruh ruangan yang tampak sangat sepi. Kemudian menatap ke arah Kasih yang masih melihat nya dengan raut wajah bingung. "Dimana kedua orang tua gue?"

"Mereka lagi urus administrasi, Sat."

"Sat, Lo udah bangun." Seorang wanita dengan rambut sebahu dengan poni se alis masuk ke dalam ruangan Satria. Dia adalah Hana, Hana membawa beberapa cemilan di tangan nya. Dia mengarahkan jari telunjuk ke arah bibir, dan tersenyum penuh arti. Seolah mengisyaratkan Satria untuk diam, dan seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

Pada akhirnya Satria tetap menjadi Satria. Kemanapun dia pergi, dia tidak akan pernah menemukan Bulan, Matahari maupun orang-orang yang pernah ia temui ketika ia menjelma sebagai remaja pria bernama Gracio. Bahkan pertanyaan tentang dimana dia pada saat itu belum terjawab hingga saat ini.

Satria berdiri di atas balkon rumah dan menatap tanah yang mulai kembali di tetesi air hujan. Sekelebat kenangan manis itu berputar, tentang Bulan dan ke anggunan yang tidak pernah Satria temukan. Oh, ayo lah. Satria sangat merindukan gadis itu, dimana dia akan mencari nya, lagi pula Kalau pun Satria berhasil menemukan Bulan, akan kah dia mengenal Satria? Akan kah dia tahu, bahwa pria yang mencintai nya adalah Satria. Atau mungkin kah sekarang Cio dan Bulan sudah mulai menikmati hari-hari mereka.

Satria menarik selimut yang ia kenakan untuk membalut tubuhnya, agar selimut itu semakin melekat. Udara dingin mulai menusuk ke dalam tulang-tulang cowok itu, perlahan Satria berjalan meninggalkan Balkon dan menutup pintunya.



S e l e s a i.

CLARITY [TRANSMIGRASI BOY] || SELESAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang