Kalimat Sakti

267 32 1
                                    

Sepanjang perjalanan pulang kedua insan yang berada di atas motor itu tak bersuara. Veda yang masih bingung harus berkata apa karena tiba-tiba Ganes minta pulang bareng. Sementara itu Ganes sibuk dengan jantungnya yang berdegup kencang disertai perut yang melilit geli.

Entah perasaan apa yang menguasai tubuh Ganes setelah memutuskan untuk mengejar si ketua karang taruna. Hingga mereka sampai di depan rumah Ganes, keduanya tetap diam.

"Jangan lupa nanti malam hadir ya," kata Veda usai membuka kaca helm dan mematikan mesin. Kepalanya menunduk, tanda hormat ketika melihat Mama Ganes menyapu di halaman.

"Iya, Mas. Terima kasih."

Ganes terus menatap Veda hingga pria itu melajukan motornya dan menghilang di tikungan jalan. Kemudian Ganes melangkah ke halaman rumah, menyapa mamanya dengan riang.

Layaknya perempuan lain yang sedang jatuh cinta, senyum Ganes tak pernah surut dari bibir tipisnya. Sambil besenandung ria gadis itu membersihkan diri dan bersiap untuk rapat muda-mudi nanti malam.

Hal itu tentu saja tidak luput dari pengamatan sang mama. Sebagai wanita yang telah melahirkan dan membesarkan Ganes, ia tahu anaknya kembali jatuh cinta.

"Motormu kenapa? Kok diantar Mas Veda?" tanya Mama Ganes saat anak gadisnya itu berjalan menuju kamar mandi.

Ganes yang tak ingin mengatakan hal sebenarnya, tapi juga tak ingin berbohong memilh untuk tersenyum saja dan cepat-cepat masuk ke kamar mandi. Besok saja dijelaskan.

Tidak seperti para ibu lainnya yang selalu menentukan jodoh untuk anaknya atau memaksa untuk segera menikah jika usianya akan memasuki usia tiga puluh tahun. Mama Ganes lebih suka membiarkan anaknya memilih sendiri kehidupan yang akan ia jalani. Melihat anaknya dekat dengan Veda membuat wanita itu mengulas senyum.

Hingga malam tiba wajah Ganes masih saja secerah mentari. Bersinar-sinar memancarkan kebahagiaan bagi siapapun yang melihatnya.

"Cie... yang tadi boncengan mukanya semringah banget," komentar Dera ketika bertemu di depan rumah Veda yang malam itu menjadi tempat rapat muda-mudi.

Kali ini tidak ada kue atau teh manis seperti biasanya. Randu yang sedang ulang tahun sengaja memanggil mas tukang bakso dan mentraktir anggota karang taruna. Karena dalam waktu dekat tidak ada kegiatan atau hajatan, maka malam ini hanya akan membahas uang kas yang telah terkumpul saja.

"Sst... jangan berisik." Ganes melangkahkan kaki memasuki rumah Veda.

Sebenarnya ini bukan pertama kali Ganes memasuki rumah bercat putih yang sudah beberapa kali dijadikan tempat rapat muda-mudi. Namun kali ini sedikit berbeda. Ganes merasa canggung dan malu menatap orang tua Veda yang ikut mengobrol bersama remaja lain di ujung ruangan.

"Calon mertua," bisik Ganes dalam hati seraya menggigit bibir bawahnya. Seketika itu juga Ganes sadar dan berdehem, menyesali pikiran konyolnya. Belum apa-apa sudah mengkhayal yang tidak-tidak. Apalagi di dekat ibu Veda ada Tania yang membuat nyali Ganes sedikit menciut.

Tak bisa dipungkiri Ganes sangat mengagumi kedua orang tua Veda yang dikenal penyayang itu. Namun saat itu juga senyum Ganes surut saat melihat Ibu Veda berbicara dengan Tania dengan tatapan sayang.

Sudah menjadi rahasia umum, jika keluarga Veda dan Tania sangat dekat dari dulu. Bahkan banyak desas-desus yang megatakan bahwa kedua keluarga itu akan segera menjadi besan. Namun sampai saat ini belum pernah ada kejelasan hubungan mereka.

"Mbak, ayo!" Suara Dera menyadarkan Ganes dari lamunan.

"Ha? Ayo ke mana?" Ganes mendadak tak mengerti situasi di sekitarnya.

"Ngelamun terus, sih. Ayo keluar. Kita bantu masnya hidangkan bakso," kata Dera sembari menunjuk tukang bakso yang tengah meracik bakso di meja teras yang disediakan.

"Emang udah selesai rapatnya?"

"Udah dari tadi, Mbak." Dera tak bisa menyembunyikan kekesalannya melihat ekspresi Ganes.

Waktu begitu cepat berlalu dan Ganes tak menyadarinya. Bagus!

Bersamaan dengan itu tiga remaja putri ikut ke teras untuk membantu menyiapkan makanan, sementara Teja bersama dua cowok lainnya membagikannya kepada anggota karang taruna.

***

Rapat bulanan di rumah Veda berjalan seperti biasanya. Hanya Ganes yang bersikap tak biasa dengan membantu membereskan bekas makanan serta membersihkan ruang tamu rumah si ketua karang taruna. Tanpa sadar ia ingin mencuri perhatian calon mertua yang sedari tadi asyik mengobrol dengan Tania.

Perasaan tidak enak kini menyelimuti hati Ganes, ketika secara terang-terangan Ibu Veda menyebut Tania sebagai calon mantu. Tiba-tiba saja ia merasa seperti calon pelakor yang berusaha merebut suami orang lain.

"Tapi Mas Veda kan nggak cinta sama Tania," lirih Ganes dalam hati. "Sok tahu, mungkin aja Mas Veda diam-diam cinta cuma nggak mau gomong aja." Ganes menggelengkan kepalanya. Mengusir pikiran aneh dalam otaknya.

"Kenapa, Mbak?" tanya Dera dengan sudut bibir kiri terangkat. Tak perlu dijelaskan secara langsung, ia sudah mengerti alasan perubahan ekspresi wajah Ganes.

"Nggak kenapa-kenapa. Udah selesai, aku pulang duluan ya." Dengan langkah lebar Ganes meninggalkan rumah Veda dengan perasaan aneh.

"Kenapa aku harus merasa nggak enak?" tanya Ganes pada dirinya sendiri. Semangatnya untuk mengejar si ketua karang taruna luntur seketika. Bukankah sebelumnya ia sudah dengar kabar bahwa Tania dan Veda sedang menjalin hubungan? Atau Ganes pura-pura lupa? Atau dia menolak percaya. Entahlah.

Tak lama kemudian langkah Ganes melambat, menyadari ada orang lain yang berjalan di belakangnya. Tangan kiri Ganes membelai jilbab hitamnya di dada. Lalu menengok ke samping saat dilihatnya Veda mensejajari langkahnya. Dari tadi kek.

Tak bisa dipungkiri hatinya berbunga-bunga malam itu. Berbeda dengan malam-malam sebelumnya yang hanya dihiasi emosi. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Ganes menolak percaya pada hubungan Veda dan Tania.

"Mas nggak kerja besok?" Ganes melirik Veda dari ujung matanya. Lalu memalingkan wajah ke arah lain sambil meniup ujung jilbab di dahi.

"Kerja." Singkat padat dan jelas jawaban Veda.

"Mas pulang aja, nanti kemalaman kalau masih harus ngantar aku," bohong Ganes, padahal dalam hati berharap di antar sampai rumah.

"Biasanya juga ngantar kamu sampai jam satu malam. Nggak apa-apa."

"Yah, biasanya itu kan malam Minggu, Mas." Sudut bibir Ganes terangkat membentuk setengah lingkaran.

"Ada yang ingin kubicarakan."

"Apa?"

Bukannya dari tadi udah bicara ya?

"Gimana kalau kita nikah, Nes?"

Veda menghentikan langkahnya, begitu pun Ganes. Antara terkejut dan heran dengan kata-kata Veda yang keluar dari jalur pembicaraan mereka. Ganes memperhatikan pria di sampingnya dengan saksama. Kalimat yang pernah dikatakan oleh Rizal, kini meluncur dari bibir Veda.

Hal yang tak pernah disangka oleh Ganes. kalimat yang ingin ia dengar dari pria yang tinggal satu wilayah dengannya, kini menjadi kenyataan. Dari bibir kemerahan milik Veda, kalimat sakti itu mengudara.

Bagaimana bisa? Tiba-tiba.

Apa ini nyata? Atau hanya gurauan?

Bagaimana jika Veda tahu bahwa sebenarnya Ganes ....



Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang