"Mandiri atau jaga perasaan Tania?"
"Kenapa kamu selalu menyebut nama Tania di antara pembicaraan kita? Ini nggak ada hubungannya sama sekali, Nes. Ini tentang kita!" senja itu Veda tak menutupi kekesalannya sama sekali.
Pekerjaan yang menumpuk serta urusan karang taruna yang belum selesai membuat Veda cukup lelah untuk membicarakan hubungannya dengan Ganes.
"Iya terus alasan, Mas mau tinggal jauh dari orang tua itu apa?"
"Jauh menurut kamu itu berapa meter. Kalau masih satu kabupaten, satu kecamatan itu nggak jauh, Nes. Kita nggak harus tinggal di samping rumah orang tua, kan?" bayangan kalimat ibu Veda yang menginginkan anaknya untuk tinggal di pekarangan samping rumah itu kembali memenuhi kepala si ketua karang taruna. Sayangnya ia tak menjelaskan apa yang ada di dalam pikirannya hingga membuat Ganes murka.
"Mas! Kamu nggak mengerti maksud..."
"Cukup, Nes. Aku tak ingin bertengkar lagi. Sekarang kita pulang."
Ganes terdiam sejenak. Pembicaraan itu selesai begitu saja. Keduanya sama-sama memilih untuk meredam amarah yang menyelimuti hati masing-masing.
Di saat-saat tertentu diam merupakan cara terbaik untuk menghindari pertengkaran. Namun tidak ada yang tahu mungkin saja kediaman itu dapat mendatangkan petaka di kemudian hari.
Hari-hari Veda disibukkan dengan pekerjaan dan persiapan pertunjukan ketoprak serta pembagian hadiah tujuh belasan. Hampir sama seperti pria lainnya, Veda tidak terlalu memusingkan hubungan asmara dan lebih mementingkan pekerjaannya.
Sangat berbeda dengan Ganes yang hampir setiap hari memikirkan cara untuk berbicara dengan Veda. Entah untuk memperbaiki hubungan mereka, atau mengakhiri harapan yang tiada ujungnya itu.
Di sela kesibukan Ganes dalam memikirkan kelanjutan hubungannya, kehadiran Rizal di kedai foto kopi membawa suasana baru bagi gadis itu.
"Ini aku bawakan bandeng presto," ucap Rizal sembari memberikan tiga kantong plastik berbeda pada Ganes.
"Banyak banget," komentar Ganes dengan senyum yang beberapa hari ini telah hilang dari bibirnya.
"Nggak banyak kok. Dua kantong itu untuk Mbak Mara sama Sofie. Satu kantong buat kamu bawa pulang sekalian buat bapak dan ibu."
"Wah, kode tuh Mbak Ganes. Makasih ya Mas." Sofie mengambil bandeng presto miliknya dan Mara. Lalu melenggang ke belakang, menuju dapur.
"Salam dari aku buat bapak sama ibu ya. Simbah juga. Kapan-kapan aku masih boleh main, kan?" Rizal masih menatap gadis di hadapannya dengan mata penuh kerinduan.
Bukannya mengerti arah pembicaraan Rizal, Ganes justru bergurau, "Mau main apa? Main kelereng?" atau Ganes hanya pura-pura mengalihkan pembicaraan.
"Aku serius, Nes. Apa nggak bisa kamu kasih kesempatan lagi?"
"Aku tahu. Kapan, sih abang nggak serius kalau ngomong?"
"Veda belum melamar, kan?"
Seketika itu Ganes melebarkan mata. Antara terkejut dan kesal pada Rizal yang tiba-tiba menanyakan hal yang baru saja ia lupakan.
"Benar, kan? Aku masih punya kesempatan," kata Rizal lagi penuh percaya diri.
"Memangnya abang mau selamanya hidup denganku, di dekat keluargaku, tinggal di sampng rumah orang tuaku?" tiba-tiba saja Ganes mengutarakan apa yang ia inginkan dari Veda kepada Rizal. Ia tak peduli lagi pada rasa cinta. Yang penting adalah masa depannya.
"Jelas mau. Kenapa aku menolak hal membahagiakan itu?" Rizal tersenyum menang. "Jadi kamu terima lamaran aku?"
"Belum. Aku masih memikirkannya."
Meski jawaban Ganes bukanlah jawaban yang diharapkan oleh Rizal, tapi tanpa Ganes sadari ia telah memberikan harapan baru pada Rizal. Atau membiarkan hatinya membuka hati untuk pilihan lain.
Jika semudah ini meminta Mas Veda mengikuti keinginanku....
***
"Kostum ketoprak udah diurus, Ran?" tanya Veda pada Randu sembari memeriksa laporan keuangan karang taruna di teras rumahnya. Masih dengan seragam kerja yang kusut, Veda membuka lembar demi lembar kertas A4 yang penuh coretan.
"Sudah. Besok tinggal pakai. Malam ini panggungnya mulai di buat, bahan-bahannya sudah siap semua," kata Randu seraya mengalihkan pandangan ke halaman rumah Tania dan melihat gadis itu aru saja memarkir motor maticnya. "Calon istri baru pulang, tuh."
"Siapa?" Veda tak sedikitpun mengalihkan pandangan.
"Tania."
"Calon istrinya siapa?" tanya Veda lagi pura-pura tak mengerti atau memang tak mengerti arah pembicaraan Randu karena terlalu fokus dengan kertas-kertas di tangannya.
"Calon istri kamu lah." Randu kesal dan memukul bahu Veda, hingga membuat si ketua karang taruna tersadar.
"Kenapa Tania?" Veda mengalihan pandangannya pada Tania yang baru saja masuk ke dalam rumahnya. Sebuah ingatan melintas di benaknya. "Astaga. Ini dia," gumam Veda pelan. Akhirnya dia menemukan akar dari permasalahannya dengan Ganes selama ini.
"Ya memangnya siapa lagi?"
"St, jangan berisik. Aku tak mengerti kenapa orang berpikiran seperti itu." Suara Veda terdengar kesal.
"Nggak usah bohong lagi. Akui aja. Resmikan supaya nggak jadi bahan gunjingan," desak Randu lagi.
"Gunjingan apa, sih? Memangnya aku sama Tania ngapain?" Veda mencoba memelankan suara agar tak didengar ibunya yang berada di dalam rumah. Veda tidak akan pernah lupa bahwa sang ibu selalu memuja anak gadis tetangganya itu.
"Semua orang tau Tania cinta mati sama kamu. Matanya ngak pernah bisa bohong," jelas Randu sok yakin. "Apalagi ibumu sering bilang kalau tania menantu idamannya. Kan itu salah satu kode buat kamu ngelamar dia."
"Aku sama dia cuma tetangga, Ran."
"Tapi kamu juga nerima perhatian dia tanpa protes. Bukannya kalian memang menjalin hubungan? Kamu sering antar dia pulang."
"Rumah kami kan berdekatan, jadi kami sering pulang bareng. Bukan aku antar dia pulang. Kecuali kami beda arah dan aku ngikuti dia, itu baru namanya ngantar pulang."
Randu hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, "tapi tetap saja itu membuat orang berpikir kalian benar-benar menjalin hubungan."
Veda mendesah pelan dan berkata, "Ah pantas dia juga bicara seperti itu."
Veda menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Mungkin dia sudah keterlaluan selama ini membiarkan orang membuat kesimpulan sendiri. Ia pikir hanya Ganes yang salah sangka tentang hubungannya dengan Tania. Ternyata hampir semua orang di desanya salah paham.
"Siapa?" Randu menangkap sebuah rahasia di dalam desahan napas Veda. Tak seperti biasanya, pria itu terlihat putus asa sekaligus lega.
"Terserah apa yang dikatakan orang lain. Aku dan Tania memang hanya tetangga dan sebatas teman saja, Ran. Hanya saja ia dekat dengan ibu dan otomatis kami lumayan akrab juga. Tidak lebih."
"O begitu. Jadi siapa orang yang tadi kamu maksud? Ah pantas dia juga bicara seperti itu." Randu mencoba meniru gaya bicara Veda.
"Calon istriku."
Seketika itu Randu melebarkan mata. Ia tahu calon istri yang dimaksud Veda bukan Tania. Otaknya berpikir keras ketika Veda berdiri dan merapikan kertas-kertas di meja. "Aku mandi dulu, nanti aku nyusul ke lapangan."
Randu tak menjawab, masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Mungkinkah ada calon istri lain yang diantar Veda dan rumahnya beda arah dari rumahnya?
Randu menggelengkan kepalanya beberapa kali. Lalu ia tersadar, "Ganes," lirih Randu saat Veda menghilang di balik pintu.
![](https://img.wattpad.com/cover/213612551-288-k658332.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)
RomanceKatanya kalau jodohnya cuma tetangga sendiri itu mainnya kurang jauh. Kelihatan banget nggak gaul. Tapi Ganes nggak peduli. Dia justru cari jodoh yang satu desa sama dia. Atau paling enggak satu kecamatan. Mau tahu gimana kisahnya? Langsung baca a...