"Pagi ini kamu antar Tania ya, Mas. Mamanya bilang motornya masih di bengkel," ucap Ibu Veda sambil meletakkan piring di hadapan putranya.
"Nanti Veda telat kalau harus antar dia, Bu. Tempat kerja kami kan beda arah." Veda tak segan menunjukan ketidaksukaannya mengantar calon mantu yang diinginkan sang Ibu. Sejak kecil, Ibu Veda sangat berharap Tania yang lemah lembut akan menikah dengan putranya. Veda ingat beberapa tahun yang lalu Ibunya dengan terang-terangan menentang hubungannya dengan seorang wanita di kampusnya. Sejak saat itu si ketua karang taruna tak ingin lagi menjalin sebuah hubungan.
"Makanya cepetan sarapan. Nggak enak lho sama mamanya. Ibu tadi udah terlanjur bilang kamu yang antar Tania." Perempuan paruh baya itu memegang pundak sang anak dengan tatapan memohon. Tatapan yang sudah sering Veda lihat ketika menyangkut Tania. "Kasihan, kalau harus nunggu angkot di jalan. Dia bisa masuk angin nanti," kata Ibu Veda lagi sembari duduk di kursi yang berseberangan dengan putranya.
"Naik motor juga kena angin, Bu. Kenceng lagi kalau Veda yang bawa motor."
"Kalau gitu jadikan dia mantu Ibu. Suruh berhenti kerja, nanti selagi Mas kerja, Ibu yang jaga dia. Bikin rumah di tanah samping aja, Mas. Supaya dekat. Senang sekali kalau Ibu bisa dekat sama Tania. Lagipula ibu pengen punya cucu."
"Lho, kan sudah ada Caca, Dila, Sisi." Veda menyebutkan anak dari ketiga kakakya yang telah menikah.
Veda mengangkat piringnya ke bak cucian, lalu menggosoknya dengan spoon. Secepatnya ia keluar dari pembicaraan mengenai Tania, dan bersiap pamit pada sang Ibu. Tak bisa dibayangkan jika ia harus menjalani kehidupan rumah tangganya bersama Tania, kedua orang tua dan mertuanya, dalam satu lingkungan sang sama. Dan pembahasan tentang pernikahan membuat semangat pagi Veda menguap begitu saja.
Sedari kecil Veda selalu menurut pada kedua orang tuanya, bahkan pilihan jurusan kuliah hingga pekerjaan, Veda mengikuti saran orang tuanya yang ia anggap akan menjadi hal terbaik dalam hidupnya. Veda selalu percaya pilihan ayah dan ibunya adalah yang terbaik untuknya.
Namun sebagai pria, calon kepala keluarga, Veda ingin menjadi pemimpin bagi keluarganya. Tanpa campur tangan orang lain, meski itu keluarganya. Bukan berarti Veda akan meninggalkan dan meluapakan orang yang telah membawanya ke dunia, tapi ia hanya ingin mandiri bersama keluarga kecilnya kelak.
Pengalaman hidup cukup membuatnya ekstra hati-hati dalam memilih pendamping hidup. Ditambah ibunya yang menginginkan menantu seperti Tania membuat Veda selalu ragu untuk melangkah ketika ada gadis yang menyukainya.
Tak bisa dipungkiri, dengan tubuh tinggi tegap, dan wajah putih berahang tegas cukup menyedot banyak perhatian para gadis di mana pun ia berada. Tapi sekali lagi, Veda bukanlah pria yang mudah menambatkan hatinya. Tak peduli usia kian bertambah tanpa bisa dicegah. Bujukan-bujukan sang ibu untuk segera menikah. Veda masih tetap menunggu dipertemukan dengan jodoh impiannya..
***
Jari-jari lentik Ganes mulai memencet beberapa tombol di mesin foto kopi. Kepalanya yang dihiasi jilbab segiempat hitam sedikit mengangguk-angguk menyanyikan lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu.
Mungki beberapa orang akan menganggap Ganes aneh atau nggak gaul, karena menyanyikan lagu anak-anak jaman dulu yang sudah jarang di nyanyikan oleh anak-anak. Jaman sekarang balita lebih suka menyanyikan lagu bahasa inggris. Tapi sejak memutuskan untuk segera manikah, Ganes kembali mengenang lagu-lagu lama yang sering dinyanyikan oleh ibunya. Ganes ingin menyanyikan lagu penuh kasih sayang itu untuk anak-anaknya kelak.
Tak jauh dari tempat Ganes, Sofi —teman kerja Ganes— tengah menyusun kertas hasil foto kopian di meja etalase sebelum di jepit dengan stapler. Gadis berwajah bulat itu beberapa kali memeriksa ponsel di sakunya dengan wajah cemas.
"Mbak, cowokku lagi marah. Gimana kalau dia minta putus?" kata Sofie dengan wajah lesu.
"Yaudah putus aja. Masih banyak cowok lain."
"Mbak Ganes kok gitu? Aku sayang banget sama dia, Mbak." Sofie menatap Ganes sebal. Jawaban Ganes benar-benar membuat suasana hatinya makin buruk.
"Emang mau gimana lagi? dia minta putus, ya udah. Putus." Tak sedikit pun Ganes mengalihkan pandangannya dari mesin foto kopi. Ia sedang tak ingin berbasa-basi. Masih banyak pekerjaan yang harus ia lakukan.
Kedua perempuan itu tak lagi bicara, hingga seorang pria datang dengan senyum mengembang. "Sholehah, tolong difoto kopi tiga puluh lembar dong," kata pria itu saat Ganes menghampirinya di seberang etalase.
"Ganes, Mas. Bukan Sholehah," balas Ganes sembari mengambil kertas yang di bawa pria bernama Rizal itu. pegawai kantor kejaksaan yang sering datang hanya untuk menggoda Ganes.
"itu panggilan sayang, Leha."
"Lhah kok malah jadi Leha? Jangan ubah nama orang ah."
Rizal duduk di kursi plastik seberang etalase, sambil menopang dagunya dengan kepalan tangan. Tatapan matanya fokus pada perempuan di depan mesin foto kopi, lalu berkata, "makin cantik aja kalau lagi jutek. Mas tinggal aja ya, nanti Mas ke sini lagi."
"Nggak usah. Ini udah selesai kok." Ganes mengambil kertas hasil foto kopiannya dan memberikannya pad Rizal. Ganes tak ingin pria itu sering datang dengan tatapan aneh saat melihatnya. Risih.
Bagi Ganes ini bukan pertama kalinya ia ditatap penuh kekaguman oleh pria. Bahkan ditatap penuh nafsu juga pernah. Tapi Ganes bukan lagi gadis yang senang diperhatikan pria. Ia justru benci jika ada yang memperhatikannya secara berlebihan.
Ganes memang ingin segera menikah mengingat umurnya yang hampir kepala tiga. Namun bukan berarti ia dengan mudah menerima siapa saja yang menawarkan pernikahan.
Sudah terlalu banyak kisah pernikahan pahit yang ia dengar dari teman dan saudara-saudara yang telah menikah. Ia tahu sebagian besar pernikahan tidak seindah khayalan. Sebagian besar rumah tangga tak semenyenangkan kelihatannya. Maka dengan hati-hati Ganes memilih calon pendampingnya. Pendamping yang mau menerima kekurangannya, yang tak ingin jauh dari orang tua dan keluarganya.
Tak lama setelah kepergian Rizal, seorang remaja putri berseragam putih abu-abu memasuki kedai foto kopi.
"Maaf, dengan Mbak Ganes ya?" tanya remaja itu dengan senyum merekah di bibir.
"Iya, ada yang bisa dibantu?" Ganes sedikit mengerutkan kening menatap remaja itu. baru kali ini, orang datang ke kedai foto kopi menanyakan namanya lebih dulu. Biasanya langsung mengutarakan apa keperluannya ke foto kopi.
"Ini di suruh mas cakep, eh Pak Veda buat foto kopi rangkap dua puluh, terus distapler urut sesuai halamannya," kata remaja itu sambil menyodorkan beberapa kertas di atas meja etalase.
"Tumben mas cakepnya nggak ke sini sendiri?" sindir Ganes dengan bibir terangkat sebelah.
"Pak Veda lagi sibuk, Mbak. katanya nanti aja uangnya, soalnya mas cakep lagi nggak pegang uang kecil." Remaja itu tersipu malau saat menyebut "Mas cakep", sementara Ganes memutar bola matanya, ketika mulai mengoperasikan mesin foto kopi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)
RomanceKatanya kalau jodohnya cuma tetangga sendiri itu mainnya kurang jauh. Kelihatan banget nggak gaul. Tapi Ganes nggak peduli. Dia justru cari jodoh yang satu desa sama dia. Atau paling enggak satu kecamatan. Mau tahu gimana kisahnya? Langsung baca a...