Kekhawatiran

228 24 0
                                    


Bab 24. Kekhawatiran

"Sudah yakin?" pertanyaan Pak Tarto setelah selesai salat magrib membuat Veda mengangguk mantap.

"Sudah, Pak?" jawab Veda masih dengan kepercayaan diri yang tinggi ikut memanggil pria yang belum jadi mertuanya itu dengan panggilan "Bapak".

"Kamu tahu kan pernikahan itu bukan main-main? Pernikahan itu untuk seumur hidup."

"Iya, Pak." Veda menegakkan posisi duduknya, "Saya serius mau menghabiskan sisa umur saya bersama Ganes, Pak."

"Ah, kamu kayak main film saja. Ganes sih cengar cengir kamu bilangin begitu." Pak Tarto menatap putrinya yang wajahnya sudah mirip kepiting rebus. "Memangnya kamu sudah siap dengan sikap Ganes? sudah siap menerima kekurangan dan trauma masa lalunya?"

Ganes yang tadinya menundukan wajah seketika mendongak menatap Bapaknya. Sementara Veda melirik sang kekasih hati. Bertanya-tanya dalam hati apa maksudnya trauma di masa lalu?

"Pak ...." Perlahan, tapi pasti air mata Ganes menggenang, bibirnya bergetar hebat. "Bapak tahu?"

Pandangan Ganes beralih pada Veda seiring dengan derasnya air mata yang mengalir di pipinya. Antara malu dan sedih berkecamuk di dalam dada.

Sementara itu dengan kening berkerut Pak Tarto menatap putrinya dan bertanya, "Jadi kamu belum menceritakannya pada Veda?" Pak Tarto menggelengkan kepalanya.

"Sebaiknya Mas Veda pulang dulu. Saya tunggu kepastiannya dua minggu lagi." Pak Tarto beranjak dari tempat duduknya seraya mempersilakan Veda keluar dari rumahnya. Sepertinya pria setengah baya itu mengerti apa yang harus dia lakukan.

Veda yang sedikit bingung dengan suasana malam itu, tetap mengikuti permintaan Pak Tarto. Untuk pertama kalinya Veda melihat Ganes menangis membuatnya menghindar untuk sementara waktu. Ia tak mungkin merengkuh Ganes dalam pelukan di hadapan sang bapak meski dalam hati ia sangat menginginkannya.

Selepas kepergian Veda, tangis Ganes semakin menjadi. Perasaannya kacau balau mengetahui apa yang ia sembunyikan bertahun-tahun lamanya harus terbongkar di hadapan Veda di saat yang tak tepat.

"Bapak kenapa bilang begitu?" tanya Ganes ketika tangisnya mereda.

"Bapak hanya mengatakan apa yang seharusnya. Kejujuran adalah hal paling penting dalam pernikahan, Nes."

"Tapi Ganes ...." kata-kata Ganes terhenti sejenak. "Bapak tahu dari mana?"

"Apa kamu lupa Bapak punya banyak teman di Bekasi? Orang-orang di tempat kerjamu itu kenal sama bapak semua. Jadi tidak mungkin mereka tidak cerita soal kamu dan tetanggamu."

"Tapi, Pak. Itu bukan masalah besar dan tak perlu dikatakan pada Mas Veda. Dia nggak perlu tahu..." Ganes tak kuasa menahan sesak di dadanya.

"Dia harus tahu. Bukankah itu alasan terbesarmu memintanya membangun rumah di desa kita setelah menikah?" potong Pak Tarto cepat sebelum meninggalkan ruang tamu dan masuk ke dalam kamarnya.

***

Ada kejadian yang tak pernah bisa hilang dari ingatan. Meski pernah terlupakan sejenak, tapi ia bisa kembali kapan saja.

Ganes sudah berusaha melupakan segalanya. Namun kenyataannya tragedi itu membekas di hati dan tanpa sadar mempengaruhi kehidupan.

Tak henti-hentinya Ganes menatap ponsel yang menampakan pesan dari Veda yang menanyakan keadaannya. Ia tak tahu harus memulai cerita dari mana. Kecemasan dan ketakutan yang dulu sempat menyiksanya kini tampak nyata.

Malam itu tak sedetik pun Ganes memejamkan mata. Ia takut mimpi buruk menghantuinya. Ia benar-benar tak ingin melihat kekerasan dan darah dalam mimpinya.

Hingga pagi tiba Ganes masih menatap layar ponselnya yang mulai kehabisan daya. Tak lama kemudian mama Ganes memasuki kamar dan menyadarkan sang putri dari lamunan.

"Ya ampun, Mbak. Coba lihat lingkar matamu. Mandi dulu sana, terus salat subuh. Minta ketenangan hati sama Alloh," kata mama Ganes sembari membuka jendela kamar.

Namun bukannya menurut dengan kata-kata mamanya, Ganes justru memeluk wanita paruh baya yang telah melahirkannya itu sambil menangis. "Ganes harus gimana, Ma. Ganes nggak tahu harus bilang apa sama Mas Veda."

Mama Ganes mengelus bahu putrinya dengan lembut dan berkata, "jelaskan saja yang sebenarnya seperti yang bapak katakan. Dia harus tahu apa yang kamu rasakan, Mbak."

"Tapi, Ma. Aku takut dia malah ninggalin aku..."

"Kalau dia ninggalin kamu berarti dia memang bukan jodoh kamu, Mbak. masih banyak laki-laki lain kok."

"Ma..." Ganes jelas tak rela jika Veda meninggalkannya. Meski cintanya belum sedalam lautan, tapi Ganes tahu perpisahan pasti sangat menyakitkan.

Mama Ganes mulai melepas pelukannya dan menyadari bahwa tubuh Ganes terasa panas. "Kamu demam, Mbak? tadi malam beneran nggak tidur ya?"

Benar saja, karena tidak tidur semalaman dan pikiran melayang membuat tubuh Ganes melemah.

Setelah selesai membersihkan diri, Ganes berbaring dan bersembunyi di balik selimut dengan perasaan tidak enak. Untuk pertama kalinya Ganes meminta izin pada Mbak Mara karena sakit padahal rencananya dia ingin pergi bekerja dan bertemu dengan Veda. Tapi ....

***

Sementara itu Veda yang sengaja datang ke kedai foto kopi terpaksa menelan kekecewaan ketika tak menemukan sang pujaan hati di sana.

"Kenapa Ganes nggak masuk kerja?" tanya Veda pada Sofie yang sok sibuk merapikan kertas di etalase yang sebenarnya sudah rapi. Veda merasa kali ini Sofie tidak menyukai kehadirannya.

"Bukannya Mas Veda sudah tahu? Pakai nanya," ketus Sofie tanpa manatap wajah Veda.

"Tahu apa? Kalau sudah tahu pasti aku tidak tanya sama kamu." Sembari memejamkan mata sejenak, Veda menarik telinga kanannya.

"Mas yang buat dia sakit jadi nggak bisa masuk kerja."

Veda mengerutkan kening, "Ganes sakit? Kenapa ..."

Tanpa menunggu jawaban Sofie yang terkesan tidak menyukai kehadiran Veda, sang ketua karang taruna itu berbalik dan menyeberang jalan. Kembali ke ruangan tempatnya bekerja.

Dari semalam Ganes tidak membalas pesannya atau mengangkat telepon darinya, dan sekarang tidak masuk kerja membuat Veda semakin khawatir.

Pria itu benar-benar tidak mengerti trauma dan rahasia apa yang disembunyikan calon istrinya itu. Seingat Veda dari kecil dia tak pernah melihat atau mendengar hal buruk yang dilakukan Ganes.

Seharian Veda tidak bisa berkonsentrasi bekerja mengingat pesannya sama sekali tidak di balas. Ia hanya bisa mendesah pelan ketika mulai mengemudikan motornya menuju rumah.

Di jalan yang cukup ramai karena jam lima begini adalah waktunya orang pulang kerja, Veda mengurangi kecepatan motornya dan masih berharap ada balasan pesan dari Ganes.

Namun sayangnya harapan itu tak pernah terkabul. Getaran ponsel di saku celana membuat Veda buru-buru menghentikan motornya dan mengambil benda pipih itu.

Veda menelan ludah dengan susah payah. Bukan pesan dari Ganes yang ia dapatkan melainkan telepon suara. Tanpa menunggu lama, Veda menekan tombol hijau dan menanyakan kabar Ganes.

"Kamu baik-baik aja, kan?"

"Iya aku baik-baik saja, Mas."

"Syukurlah kalau begitu. Lalu apa yang dimaksud Bapak kemarin malam?" Veda tak bisa menunda pertanyaannya lebih lama lagi, meski ia tahu dari suara serak Ganes, bahwa perempuan itu tidak baik-baik saja.

"Aku ..." Terdengar suara helaan napas Ganes di ujung telepon, kemudian sunyi. Hanya suara kendaraan bermotor yang terdengar di telinga Veda.

"Apa karena kamu sudah tidak perawan lagi?"

****

Tinggal 6 bab lagi tamat nih

Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang