"Cinta... tegarkan hatiku... tak mau sesuatu merenggut engkau..." suara cempreng Randu menemani Veda yang tengah menyesap jus buah naga di kafe yang cukup sepi sore itu.
"Berisik, Rand."
"Mentang-mentang hati sudah tenang, suara cempreng dikit aja udah terasa menganggu ya?"
"Kamu ngajak aku ketemuan di sini bukan cuma mau ngejek, kan?" Veda menatap Randu dengan kening berkerut.
"Enggaklah. Mau ngobrol. Aku lagi suntuk nih."
"Lhah kan bisa ke rumah? Biasanya juga kita ngobrol di teras rumah. Kayak kita baru kenal aja."
"Aku agak ngeri ke rumahmu sejak kamu bilang sudah menegaskan perasaan pada Tania."
"Apa hubungannya?" Veda tak habis pikir dengan sahabatnya satu itu.
"Ya adalah. Rasanya aku belum siap melihat wajah sedihnya."
Veda hampir tersedak karena menahan tawanya. "Halah. Kamu berlebihan. Dia baik-baik saja, kok. Kalau kamu takut dia sedih, ya kamu hibur dia."
"Kamu nggak akan tahu karena nggak pernah merhatiin dia, Mas Veda. Dua mata cuma buat lihat Ganes aja, sih." Randu menekankan setiap kata-katanya seolah menyindir atau memang sengaja menyindir.
Sedangkan Veda menyesap jus buah naganya tanpa menanggapi perkataan Randu. Memikirkan apa yang dikatakan orang lain hanya akan menggagalkan rencana besarnya.
"Dia yang biasanya nempel terus sama kamu pasti sekarang canggung," kata Randu lagi.
"Lha terus kenapa? Masa aku harus ngertiin perasaan dia? Maksudmu aku harus sembunyi-sembunyi kalau ketemu Ganes buat jaga perasaannya dia? Nggak usah bilang kalau aku mencintai perempuan lain? Nggak usah bilang kalau aku cuma anggap dia adik gitu?"
"Iyalah. Tunggu sampai dia tahu sendiri. Jangan jahat bangetlah sama dia."
"Jahat gimana maksudmu? Aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan kok. Nggak mungkin aku mau pura-pura baik sama dia. Nanti kalian pada salah sangka lagi. Aku kan harus jaga perasaan Ganes. Lagian lebih jahat lagi kalau aku diam aja. Biarkan ibuku memberinya harapan palsu, terus tiba-tiba aku nikah sama Ganes. Kan dia bisa jantungan." Kali ini Veda sedikit meninggikan suaranya.
Veda mengerti maksud Randu karena sebelumnya dia juga bersikap seperti itu. Namun karena menjaga perasaan Tania itulah hubungannya dengan Ganes berantakan. Sekarang Veda menyadari mana yang harus dijaga dan yakin bahwa apa yang dilakukannya sudah benar.
"Oke, oke. Terserah, deh. Tapi aku tanya satu hal. Kenapa kamu nggak milih Tania jadi istri? padahal dia perfect banget buat jadi ibu."
"Itu kan menurutmu. Buatku nggak begitu. Dia nggak bisa jaga dirinya sendiri sampai sakit-sakitan, gimana mau jaga anak-anakku? Kalau pandanganmu tentang dia seperti itu, kamu aja yang nikah sama dia."
Randu melebarkan mata tak percaya, Veda yang ia kenal penyayang itu mengatakan sesuatu yang pasti membuat Tania pingsan jika mendengarnya.
"Luar biasa ketua karang taruna ini. Luar biasa kasarnya."
"Kamu ngajak ke sini cuma mau ngomongin ini?"
"Mungkin. Dari pada nggak ada yang di omongin."
"Nggak penting. Hati itu nggak bisa dipaksa, Rand. Lagian pernikahan kan nggak cuma soal cinta. Pernikahan itu untuk selamanya. Bukan cuma tentang dua orang, tapi nanti ada anak yang akan menjadi tanggung jawab kita."
Veda terbiasa jujur pada Randu. Sahabat yang sudah seperti saudara baginya. Veda tidak berbohong dengan kata-katanya.
Tania yang lemah dan mudah sakit adalah salah satu alasan kenapa dia tidak pernah menaruh hati pada perempuan itu selain rasa kasihan dan sayang sebagai adik, teman, dan tetangga.
Veda hanya berpikir realistis saja. Dia tidak ingin memiliki istri yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri. Jika istrinya sakit-sakitan, gimana mau menghasilkan anak sehat? Menjaga anak. Mendidik anak?
Terdengar jahat memang, tapi itulah kenyataannya. Ketika pilihannya jatuh kepada Ganes, ia tidak berniat mundur sama sekali.
Veda tersenyum kecil mengingat kekasihnya yang mungkin saat ini sedang gundah menunggu kabar darinya.
Pria itu sengaja tidak menghubungi Ganes sementara waktu karena ingin menyelesaikan masalah satu demi satu. Setelah hubungannya dengan Tania jelas, kini tinggal menunggu persetujuan kedua orang tuanya.
Veda yakin jika Ganes memang jodohnya, segalanya akan berjalan dengan mudah.
***
Tania menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Di depan pintu dapur rumah Veda, perempuan itu terdiam sejenak sebelum mengetuk pintu kayu yang sedikit terbuka sembari mengucapkan salam.
Setelah terdengar jawaban dari dalam, Tania menggenggam daun pintu dan mendorongnya pelan. Dengan senyum mengembang di wajahnya, Tania menghampiri ibu Veda yang sedang mengaduk sesuatu di panci, di atas kompor yang menyala kecil.
"Masak apa, Bu?" Seperti biasa tanpa canggung perempuan itu langsung memetik kangkung yang berada di meja cokelat tak jauh dari tempat ibu Veda berdiri. "Kangkungnya mau di tumis, kan?"
"Ini masak opor ayam kesukaan Veda. Iya kangkungnya mau di tumis."
"Bu..." panggil Tania dengan suara lirih, seperti ada ketakutan dan keraguan tersimpan di sana.
"Ya." Ibu Veda mengalihkan pandangan kepada tania yang mulai memotong batang kangkung. "Veda sudah mulai luluh itu. Lalu Ibu suruh ngantar kamu langsung berangkat pagi-pagi," lanjut Ibu Veda dengan keceriaan yang terlihat jelas.
"Maaf, Bu. Sebaiknya kita tidak usah membicarakan soal pernikahan itu."
"Lho kenapa? Besok Ibu suruh dia antar lagi. Dia itu anaknya manut kok." Ibu veda mematikan kompor dan mulai mengiris bawang putih.
"Tapi, Bu. Mas Veda sepertinya tidak menginginkan pernikahan ini. Tania tidak ingin memaksanya lagi, Bu." Tania sadar dari awal Veda memang tidak pernah menaruh hati padanya. Dari awal Veda memang tidak pernah melihatnya sebagai wanita. Dari awal Veda tidak menginginkannya. Dari awal hanya ibu Veda yang menginginkannya menjadi menantu. Tania tidak ingin menjadi perempuan yang tidak tahu malu dengan memaksa Veda menikahinya.
"Lho kok pesimis gitu. Ini kan hanya soal waktu. Witing tresno jalaran soko kulino, cinta terjadi karena terbiasa. Sabar saja."
"Mas Veda mencintai perempuan lain, Bu."
Gerakan tangan Ibu Veda terhenti. Ia meletakkan pisau di atas telenan, lalu menatap wajah Tania yang sendu. Ibu Veda tentu saja sudah tahu perihal anaknya dan Ganes. Hanya saja ia masih berharap hati anaknya bisa berpaling pada Tania. Dia belum bisa menerima keinginan Veda untuk menikahi perempuan selain Tania.
"Mungkin itu hanya perasaan sesaat Tania. Selama ini kan Veda selalu sama kamu."
"Tidak, Bu ..."
"Tania, tunggu sebentar lagi," potong Ibu Veda cepat.
"Mas Veda sudah menjelaskan perasaannya, Bu. Dan Tania sudah Ikhlas."
"Tenang. Ibu akan bicara pada Veda. Dia pasti dengerin Ibu."
Ibu Veda sepertinya belum mengerti juga, bahwa hati Tania akan semakin terluka jika melanjutkan perjodohan sepihak ini.
Manut = nurut atau mau mengikuti keinginan orang lain
***
Terima kasih sudah membaca....
Di KaryaKarsa sudah tamat lho. Siapa tahu mau baca di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)
RomanceKatanya kalau jodohnya cuma tetangga sendiri itu mainnya kurang jauh. Kelihatan banget nggak gaul. Tapi Ganes nggak peduli. Dia justru cari jodoh yang satu desa sama dia. Atau paling enggak satu kecamatan. Mau tahu gimana kisahnya? Langsung baca a...