Sudah Waktunya

277 30 4
                                    

Halo, selamat pagi....

Maaf, ternyata kemarin salah publish yak. hehe...

Kurang fokus nih kayaknya.

Terima kasih teman-teman yang sudah mengoreksi di kolom komentar.

Ini aku publish ulang babnya ya...

Happy reading...

***

Usai pertemuannya dengan Veda malam itu, Ganes jadi terus terbayang wajah si ketua karang taruna. Wajah yang sebelumnya tak pernah terlintas sedikit pun. Tak perrnah terpikirkan sama sekali kecuali ketika bertemu.

Kalau diingat lagi Veda memang sering memperlakukan Ganes sedikit berbeda dengan yang lainnya. Walaupun pria itu juga sering memarahinya, tetapi hanya Ganes yang diantar pulang ketika acara muda mudi selesai.

Tak bisa dipungkiri, selama bersama Veda ia merasakan kenyamanan. Kenyamanan. Atau ini hanya alasan untuk mendukung pilihannya membuka hati untuk Veda.

Berawal dari niat iseng, Ganes mengirimkan pesan kepada Veda. Hal yang sebelumnya tak pernah dilakukan oleh Ganes. Iseng ya. HANYA ISENG!

Malam Mas

Rapat bulanan muda-mudi tanggal berapa ya?

Pesan Ganes terkirim seiring dengan munculnya notifikasi pesan dari Farah.

Ciee yang diantar Mas Veda

Ganes tak membalas pesan Farah, ia malas menjelaskan dan ditanya macam-macam. Ganes juga tak peduli dengan apa yang dipikirkan oleh Veda. Yang penting mulai komunikasi lebih sering saja sama si ketua karang taruna yang kalau diperhatikan dengan seksama memang cakep. Atau sebenarnya dari jauh juga terlihat tampan, hanya saja Ganes baru menyadarinya. Baru menyadarinya?

"Percaya atau tidak, tingkat ketampanan seseorang itu tergantung pada pemikiran kita tentangnya. Atau bisa dibilang sesuai dengan tingkat perasaan kita terhadapnya." Ganes bermonolog dalam hati.

"Karena setampan apa pun seseorang, kalau kita tidak suka maka sampai kapan pun kita tidak akan pernah mengatakan bahwa dia tampan. Begitu pula sebaliknya, sejelek apa pun seseorang, kalau kita udah suka pasti kelihatan sangat tampan," lanjut Ganes, masih di dalam hati.

Jemari lentik Ganes menutup bibir merahnya yang merekah mengingat dirinya terlambat menyadari sesuatu yang penting.

"Mbak Ganes kenapa?" tanya Sofie sembari meletakkan setumpuk kertas hasil foto kopi untuk diurutkan sesuai halaman, lalu di steaples. Keningnya berkerut tajam melihat teman kerjanya itu senyum-senyum sendiri di depan layar ponselnya.

"Nggak kenapa-kenapa." Ganes mengubah raut wajahnya menjadi datar usai berdehem sekali. Tentu saja ia takkan menceritakan tentang perasaannya pada Sofie. Pantang bagi Ganes untuk membagi hal pribadinya pada orang lain. Dari pengalamannya selama dua puluh delapan tahun, ia tahu semua kalimat yang keluar dari mulutnya tak kan berhenti di dua telinga saja, tetapi akan segera menyebar ke telinga lainnya.

"Kenapa senyum-senyum gitu? Tumben? Baca pesan dari Mas Rizal ya?" tanya Sofie lagi penasaran. Sementara Ganes mengutuk dirinya sendiri karena melupakan pria itu.

"Bukan kok." Ganes mulai mengambil steaples di laci meja dan mulai menyusun kertas.

Bukan dengan sengaja, Ganes melupakan Rizal. Pria itu memang tak pernah ada di ingatannya kecuali pas ketemu atau pria itu mengirim pesan.

Kini Ganes tahu kenapa Rizal tak pernah bisa secara utuh memasuki hatinya. Karena ternyata tanpa di sadari di lubuk hati yang paling dalam, Ganes menyimpan nama Veda yang selama ini telah memberi sebuah kenyamanan.

Tak lama kemudian, siswi SMK yang praktik di ruangan kantor Veda muncul dan memberikan beberapa lembar undangan yang harus di foto kopi dengan wajah kusut.

"Kenapa kusut banget?" tanya Ganes sembari meraih undangan yang disodorkan siswi SMK itu.

"Capek, Mbak. Pak Veda nggak kasih waktu buat istirahat. Ini udah jam dua, belum sarapan lagi." gadis berseragam putih abu-abu itu duduk lesu di kursi plastik depan etalase sambil mengembuskan napas lelah.

"Pantas saja pesanku belum di balas sampai sekarang. Ternyata lagi sibuk," lirih Ganes dalam hatinya.

Ganes terlihat berpikir sejenak. Keningnya berkerut tajam. Menyiapkan rencana. "Berapa orang di ruangan Mas Veda?" tanya Ganes sembari mengambil selembar uang merah dari saku roknya.

"Lima, Mbak. termasuk aku."

"Selama ini di foto kopi, kamu beli nasi bungkus aja di warung sebelah." Ganes menyodorkan uang merahnya pada si siswi SMK yang tentu saja membuat gadis itu keheranan. Wajar saja zaman sekarang mana ada orang yang memberikan uang dengan Cuma-Cuma. Pasti selalu ada maksud di balik kebaikannya.

"Makasih, Mbak. Tapi aku nunggu perinta Pak Veda saja," tolak siswi SMK itu ragu.

"Nggak apa-apa ambil aja. Kasih tahu Pak Veda kalau aku yang suruh kamu beli nasi." Ganes menahan senyum di bibir. Ia mulai memikirkan reaksi Veda yang terkejut karena apa yang ia lakukan.

Setelah terdiam cukup lama, siswi SMK itu mengangguk dan mengambil uang yang Ganes sodorkan. Ia tak tahu apa hubungan Ganes dan Veda, yang ia rasakan sekarang hanyalah lapar dan tentu saja tak mau menolak rejeki. "Makasih, Mbak Ganes."

Tak menunggu lama gadis itu melesat ke warung nasi padang yang berada tak jauh dari kedai foto kopi. Ganes pikir ia harus gerak cepat untuk menarik perhatian Veda. Ia takkan melepaskan kesempatan di depan mata kan? Walaupun ia sadar ia terkesan berlebihan. Kalau dia tanya, bilang aja karena lagi ada rejeki lebih.

***

Menyadari umur yang kian bertambah dan tuntutan untuk menikah, Ganes memutuskan untuk menetapkan Veda sebagai target. Ganes tak ingin membuang waktu lagi. Ia ingin segera mewujudkan mimpinya untuk menikah dengan pria yang satu wilayah dengannya.

Tak ada bayangan patah hati di kepala Ganes. Kini ia yakin akan terus mengejar Veda apapun yang terjadi. Ganes percaya si ketua karang taruna itu memiliki perasaan padanya, kalaupun tidak, ia akan berusaha membuatnya memilikinya.

Meski bayangan masa lalu yang mengerikan tak pernah pergi meninggalkannya, tapi Ganes bersyukur bisa mengatasi dan menyembunyikan ketakutannya sendiri tanpa menyusahkan orang lain.

Namun sesekali Ganes memikirkan kemungkinan bagaimana jika suaminya kelak mengetahui ....

Ganes segera menggelengkan kepalanya. Hatinya sedang senang dan tak ingin memikirkan hal yang akan membuat mood-nya memburuk.

Hari ini Ganes yang biasanya menunggu bus di terminal, kini berdiri di depan kantor dinas pendidikan. Sambil mengelus jilbab yang menjulur di dadanya beberapa kali Ganes melirik pintu gerbang. Lalu meniup ujung kain yang menutup dahi, ketika melihat motor Veda masih terparkir di dekat gerbang.

Ganes mungkin tidak menyadari betapa alay-nya dia saat ini. Seperti remaja sedang nunggu gebetan bahkan stalking cowok dan mengapal plat motornya.

Sekali ini saja untuk memuluskan rencana dan setelah itu bisa bersikap biasa. Ya, sekali ini saja.

Tak lama kemudian, pria yang ditunggu-tunggu muncul juga. Dengan dahi berkerut tajam, Veda menghampiri Ganes dengan motornya.

"Nunggu bus di sini?" tanya pria itu sambil mematikan mesin kendaraan roda duanya.

"Enggak. Lagi nungguin kamu." Ganes tak segan mengatakan niatnya lagi.

"Hah! Aku?" mata Veda kian melebar, dengan jari telunjuk mengacung di mukanya sendiri. Rasanya suasana jadi semakin aneh.



Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang