Tidak Usah Menikah

250 25 0
                                    


Mama Ganes memasuki rumah dengan mata merah. Melewati Ganes yang duduk di sofa dengan handuk di tangan. Dasternya yang berwarna ungu terlihat kusut.

"Mama dari mana?" tanya Ganes sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Dari rumah Teja." Mama Ganes segera menyeka air mata yang mengalir di pipinya.

"Lho, mama kenapa?"

"Susi pergi dari rumah, Mbak."

"Hah? Mbak Susi? Kapan, kenapa?" seketika itu Ganes meletakkan handuknya di sandaran sofa, sementara sang mama mulai duduk di samping anak gadisnya itu.

"Nggak ada yang tahu kapan perginya. Teja juga baru pulang entah dari mana. Dia ngamuk-ngamuk karena nggak ada istrinya di rumah."

"Kok bisa sih, Mbak Susi tiba-tiba pergi. Anaknya dibawa juga?"

"Iya. Baju-bajunya di lemari dia bawa semua. Rumahnya masih rame itu para tetangga nenangin Teja."

"Dengan barang sebanyak itu dia pergi kok nggak ada yang lihat ya?"

"Kasihan sekali anak itu. Sudah nggak punya siapa-siapa. Disia-siakan pula." Mama Ganes tak berhenti menyeka air matanya.

Semua orang tahu sejak kedua orang tua Susi meninggal, Teja memperlakukan istrinya itu seenaknya. Susi yang tidak punya keluarga lain juga tidak bisa mengharapkan bantuan dari siapa pun. Para tetangga juga hanya bisa membantu sebatas menasehati Teja, meski pria itu tak peduli sedikit pun.

"Sebelumnya ada yang dengar mereka bertengkar, tapi tidak ada yang berani mendekat. Sore ini waktu Teja banting barang-barang di rumahnya barulah ada warga yang datang menengok ke rumahnya. Ternyata Susi sudah tidak ada di sana. kemana kira-kira dia pergi, Mbak.? Lagi pula dia pasti tidak punya banyak uang mengingat perlakuan Teja selama ini," jelas Mama Ganes lagi.

Sedangkan Ganes tak berkata sepatah kata pun. Pikirannya melayang jauh ke masa depannya jika mengalami hal yang sama dengan Susi — di sakiti suami tanpa bisa meminta bantuan ke siapa pun—. Mendadak Ganes bergidik ngeri. Apalagi saat ingatannya kembali pada tragedi di Bekasi.

Ganes menggelengkan kepalanya. Bukannya tidak peduli, ia hanya ingin berhenti berpikiran buruk, tidak ingin terlalu terpengaruh dengan kisah hidup Susi. Ia tidak ingin pikirannya kacau lagi karena ketakutan akan hal yang belum terjadi.

Perlahan Ganes beranjak dari duduknya dan kembali ke kamar. Menenangkan diri dan memeriksa ponselnya yang sunyi. Mengingat semua kenangan pahit orang-orang sekitarnya membuat Ganes semakin paranoid tentang pernikahan dengan orang yang belum ia kenal dengan baik.

Jika kali ini hubungannya dengan Veda tidak berhasil, lebih baik tidak usah menikah saja.

***

Ketika harapan tinggalah harapan. Ganes mencoba tetap tenang walau pun pikirannya kusut beberapa hari ini memikirkan seseorang yang mungkin tidak memikirkannya.

Apa lagi yang diharapkan Ganes dalam hubungan yang semakin hari semakin tidak jelas ini? Veda tidak pernah menghubunginya sejak pertemuan terakhir kali dan ia pun juga enggan menghubungi lebih dahulu mengingat kata-katanya sendiri yang menyerahkan segala keputusan kepada si ketua karang taruna.

"Baiklah, aku akan diam saja," gumam Ganes sembari mengatur margin pada mesin foto kopi.... "Kalaupun harus berakhir hari ini, besok atau lusa semua pasti akan baik-baik saja."

Untuk apa aku menunggunya? Laki-laki nggak cuma dia kan? Kenapa aku harus repot-repot mikir dia? Kenapa? Bukankah seharusnya dia yang ngejar aku? Bukankah dia yang nggak pernah laku itu harusnya tidak merelakan hubungan kami begitu saja?

Berbagai macam pemikiran aneh terlintas di kepala Ganes. Tanpa ia sadari Sofie dan Mara sama-sama menggelengkan kepala melihat tingkah aneh Ganes.

Setelah Ganes berhenti bergumam, Mara menghampiri karyawannya itu kemudian meraba dahi Ganes dengan punggung tangannya dan bertanya, "kamu sudah sembuh kan, Nes? Kok masih ngedumel mulu dari tadi?"

Seketika Ganes menatap bosnya dengan kening berkerut, "memang apa hubungannya sakit dengan ngedumel?"

"Tentu saja. orang yang sakit hati biasanya ngomel dan marah-marah sendiri." Mara mengangguk-anggukan kepala dan meninggalkan Ganes usai mengeluarkan pemikiran tak masuk akalnya. Perempuan itu hanya ingin memastikan Ganes sudah tidak demam lagi tanpa ikut campur dengan masalah yang pernah diceritakan Sofie padanya.

Mara hampir mirip dengan Ganes yang tidak suka mengorek cerita kehidupan orang lain. Bagi keduanya apa yang kita lihat dari kehidupan orang lain hanyalah sebagian kecil saja yang belum tentu benar adanya. Banyak hal yang tak perlu kita ketahui dari cerita hidup orang lain.

"Mbak..." panggil Ganes yang melihat Mara masuk ke bagian belakang kedai foto kopi, tapi tak menjawab panggilan Ganes sedikit pun, "Mbak Mara kenapa, Sof?"

"Mbak Ganes tuh yang kenapa? Aneh banget beberapa hari ini ngedumel melulu."

"Aku?" Ganes memutar tubuhnya menatap Sofie seraya menunjuk wajahnya dengan jari telunjuk.

"Iya."

"Aku kenapa?"

"Ya aneh saja."

Suasana menjadi hening sejenak. Apa aku jadi aneh karena menunggu kabar dari Veda? Ganes meniup ujung jilbab di dahinya. Jangan-jangan aku akan terlihat seperti orang gila setelah benar-benar ditinggal Veda.

"Oh tidak." Ganes menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Hal itu tentu saja tidak luput dari pandangan Sofie yang lagi-lagi menggelengkan kepalanya.

"Jangan terlalu dipikirkan, Mbak. laki-laki nggak cuma dia kok. Mbak juga cantik jadi gampang aja cari yang lain."

"Iya. Tentu saja. Aku cantik dan bisa mendapatkan laki-laki yang lebih segalanya dari dia."

Masalahnya yang seperti dia nggak ada. Yang sesuai kriteria nggak ada. Aku maunya Cuma dia....

Berkali-kali Ganes mengecek pesan di ponselnya, tapi yang ada hanyalah pesan pinjaman online. Meski sangat penasaran, lagi-lagi Ganes memilih menahan keinginannya untuk menghubungi Veda.

Sudah lebih dari dua minggu pria itu tak tampak batang hidungnya. Tidak mungkin tiba-tiba Ganes bertanya, "Gimana kelanjutan hubungan kita?" atau sebaiknya menanyakan kabar Teja?basa-basi.

Gengsi perempuan itu terlalu tinggi hanya untuk sekadar bertanya. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya karena telah menyerahkan keputusan pada Veda. Seharusnya aku paksa dia buat nikah kan?

Ganes teratawa dalam hati menertawakan pikiran konyolnya. Ia merasa akan menjadi perempuan yang kebelet nikah.... eh, atau memang benar Ganes kebelet nikah?

Bagi beberapa orang mungkin Ganes akan terlihat seperti itu. Bagaimanapun juga ia hanyalah perempuan normal yang ingin menikah dengan pria pilihannya. Menjadi ibu dari anak-anaknya. Menjadi menantu seperti perempuan lain pada umumnya.

Meski zaman telah berubah dan banyak orang yang enggan untuk menikah karena banyaknya kasus kekerasan rumah tangga, perceraian dan masalah lainnya.

Ganes sangat tahu itu. Memang tidak ada pernikahan yang sempurna. Makanya Ganes selektif memilih calon suaminya. Menyingkirkan kemungkinan akan terjadinya masalah rumah tangga yang tidak bisa ia atasi. Salah satunya dengan menikah dengan orang yang tinggal satu wilayah dengannya dan sangat ia kenal.

Hingga waktu menunjukan pukul empat Ganes masih saja sibuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan di perjalanan pulang perempuan itu terus memikirkan si ketua karang taruna yang seolah menghilang.

Kening Ganes berkerut tajam ketika sampai di halaman rumahnya. Sebuah mobil terparkir di sana dan suara gelegar tawa terdengar dari dalam rumahnya. Lalu suara Pak Tarto yang tegas dan keras.

Jantung Ganes berdetak lebih kencang. Bapak pulang dengan sebuah mobil? Ah tidak mungkin.

Rizal??

Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang