"Yah, aku ingin melamar Ganes."
Kata-kata itu akhirnya keluar dari bibir Veda di hadapan sang ayah di ruang makan pagi itu. Untuk pertama kalinya nama Ganes ia sebut di depan sang ayah sebagai gadis yang akan ia lamar.
"Ganes?" Ayah Veda mengerutkan kening tajam. Ia menyadari bahwa putranya tak pernah membicarakan hal selain tentang pekerjaan dan karang taruna. "Kenapa tiba-tiba?"
"Tidak tiba-tiba, Ayah. Hal ini sudah lama Veda pikirkan."
"Apakah ibumu sudah tahu?" pria setengah baya itu mengalihkan pandangan ke langit-langit rumah.
"Belum, Yah. Sepertinya akan sulit mengatakannya pada Ibu. Bagaimana menurut, Ayah?"
"Ibumu takkan setuju. Kenapa bukan Tania? Sudah lama kamu dan ibumu memberi harapan padanya?" Ayah Veda berbicara penuh keyakinan. Tanpa keraguan sedikit pun. Tanpa peduli raut wajah Veda telah berubah. Ayah dan ibu veda ternyata berpikiran sama dengan Ganes dan warga desa, atau Veda yang tidak pernah menyadari bahwa sikapnya memang seperti apa yang mereka pikirkan.
"Kenapa, Ayah berpendapat seperti itu?"
"Selama ini kita sudah sering membicarakannya. Ibumu sudah menganggap Tania sebagai menantu. Kamu diam saja, jadi kami anggap kamu pun setuju."
Veda terdiam sejenak. Ia mencoba mengingat kembali hal-hal yang berhubungan dengan Tania. Mengantar gadis itu pergi kerja, pulang bersama dari mesjid setelah salat atau setelah rapat muda-mudi, sering berinteraksi saat rapat sebagai ketua dan sekretaris ketua karang taruna, terus apa yang salah?menerima sebotol air minum dari Tania? memberi jaket pada Tania saat cuaca dingin? Kepala Veda mulai pening.
"Itu ibu, Yah. Bukan Veda. Veda tak pernah sekalipun menganggap Tania sebagai calon istri. Dia itu hanya teman dan tetangga. Veda sering membantah perkataan Ibu soal Tania." Veda mencoba mengontrol suaranya agar tak meninggi. Bertengkar dengan Ayah bukanlah hal yang Veda harapkan.
Veda hanya tak ingin menunda rencananya melamar Ganes, mengingat Pak Tarto yang menegurnya semalam —Saat mendapati Veda memegang bahu Ganes—. Ia pun mengerti kekhawatiran pria tua itu setelah melihat anaknya berjalan bersama pria di tengah malam.
"Kamu kok tega sama ibu, Mas?" Ibu Veda yang tiba-tiba muncul dari pintu dapur menyahut dengan lantang. Terlihat jelas kekecewaan disertai kemarahan di wajah wanita paruh baya itu.
Wajar saja jika seorang ibu marah dan kecewa mendapati sang putra memilih calon istri lain dari pada gadis pilihannya. Namun tidak semestinya Ibu memaksakan keinginannya bukan?
Pagi itu Veda memilih untuk diam sejenak. Memikirkan kalimat yang tepat untuk menolak gadis pilihan ibunya.
"Veda tidak mencintai Tania, Bu. Dia tidak bisa menjaga kesehatannya sendiri hingga daya tahan tubuhnya buruk. Kalau dia tidak bisa menjaga dirinya sendiri bagaimana dia bisa menajga anak-anakku nanti, Bu?" Veda berdiri dari duduknya dan menyimpan piring bekas sarapan, setelah mengeluarkan bom yang meluluhlantahkan hati sang ibu.
Sulit bagi Veda mengatakannya, tapi baginya jujur lebih baik daripada hidup dalam kepalsuan.
***
Sementara itu, suasana di rumah Ganes tak kalah menegangkannya dengan rumah Veda. Baru kali ini Ganes tidak tahu kalau bapaknya akan pulang.
"Duh gimana ngomongnya sama, Bapak?" keluh Ganes dalam hati.
Selama hampir setahun menjalin hubungan dengan Veda, Ganes memang tidak pernah menceritakan hubungannya dengan siapa pun. Tidak ada kencan spesial seperti remaja kebanyakan. Tidak ada kontak fisik berarti yang menimbulkan prasangka di mata orang lain, hingga tak ada yang percaya bahwa Ganes adalah calon istri Veda.
Bahkan sampai kepergok oleh bapaknya semalam pun, Ganes belum berani bicara mengingat Veda yang belum memberi kepastian. Juga hatinya yang masih menyimpan keraguan.
"Mbak ngapain sama Veda tadi malam?"
"Dia cuma antar Ganes pulang, Pak."
"Memangnya kamu anak-anak yang perlu di antar? Lagi pula sekadar antar kenapa pakai pegang-pegang?"
Ganes menelan ludah dengan susah payah dan berkata, "Saat ini Ganes belum bisa jelaskan." Hanya itu yang bisa keluar dari bibir Ganes. Ia ingin pagi ini segera berlalu dan bertemu dengan Veda. ia harus mendapat kejelasan dari Veda dulu baru ia bisa menjelaskan pada keluarganya.
"Kalau begitu ajak Veda ke rumah malam ini. Bapak ingin dia yang jelaskan sebelum Bapak balik ke Semarang besok sore." Pak Tarto menggelengkan kepala mendengar penjelasan yang tidak jelas dari putrinya.
Seketika Ganes tak bisa lagi berbicara. Otaknya kembali berpikir bagaimana caranya menyampaikan pesan bapaknya pada Veda, mengingat hubungannya sedang tidak baik-baik saja. Dalam hati ia juga tak ingin terlihat seperti perempuan yang ngebet kawin jika mendadak minta dilamar.
Namun dia tak ingin mengulur waktu lagi. Banyak orang di zaman ini tidak terlalu memikirkan pernikahan, bahkan ada beberapa yang bersikeras ingin menghabiskan sisa hidupnya sendiri.
Ganes tidak peduli orang mau berpendapat seperti apa karena itu bukanlah urusannya. Selama hal itu tidak berpengaruh pada hidupnya dan keluarganya, terserah saja.
***
Di tengah kegelisahan hatinya Ganes mencoba mengirim pesan pada Veda, tetapi berkali-kali ia menghapus pesan itu. Rasanya sulit sekali merangkai kata untuk meminta bertemu dengan pria itu.
Hingga akhirnya Veda muncul dengan sendirinya di kedai foto kopi. "Ganes tadi bawa motor?" tanya Veda tanpa basa-basi.
"Bawa." Hanya satu kata yang bisa keluar dari bibir Ganes, padahal ada ribuan kata bersahutan di dalam dadanya.
"Oh. Kukira nggak bawa jadi kita bisa pulang sama-sama. Aku ingin bicara."
"Mumpung sepi kita bicara di sini aja." Ganes to the point.
"Oke. Aku juga tak mau menunda-nunda lagi, Nes. Aku tak bisa membangun rumah tangga tanpa restu orang tuaku."
Seketika mata Ganes melebar. Berbagai macam kata kasar berkecamuk dalam batinnya.
"Tapi aku tak ingin kehilangan kamu. Aku mengerti alasan kamu tak ingin jauh dari orang tua. Tapi aku juga tak bisa menjalani pernikahan di atas kekecewaan dan keluarga Tania," jelas Veda.
"Memangnya kenapa? Mas takut nyakitin hatinya? Berarti Mas juga cinta dong sama dia." Ganes tidak bisa menahan amarahnya. Ia tak peduli Mbak Mara dan Sofie yang berada di belakang mendengar teriakannya.
"Bukan begitu. Aku tak peduli bagaimana perasaan Tania. Aku hanya tak ingin menyakiti perasaan Ibu. Beliau pasti juga merasa bersalah pada Tania, Nes. Aku tak ingin membuat Ibu terus dihantui rasa bersalah."
Ganes mendesah pelan. Ia juga tak peduli pada perasaan Tania, yang terpenting sekarang adalah perasaan Veda.
"Jadi, Mas ini serius atau tidak? Mau lanjutin hubungan kita atau tidak? Mau nikahin aku atau tidak?" kata Ganes tanpa merasa malu dengan kalimatnya yang terkesan ngebet kawin.
"Nes, ..."
"Bapak mau tahu tentang hubungan kita. Aku nggak bisa jelasin apa pun dan Bapak ingin, Mas yang jelasin malam ini di rumah," potong Ganes cepat tanpa memberi kesempatan pada Veda sedikit pun.
Sementara itu tanpa berpikir lebih lama, Veda menyanggupi permintaan Ganes untuk menemui Bapaknya. Ia takkan membiarkan image-nya buruk di hadapan orang tua Ganes karena terlalu lama mengambil keputusan. Ia pikir bisa menyelesaikan masalahnya dengan ibu dan Tania nanti.
Katakanlah Veda terlalu percaya diri dan langsung mendatangi rumah Ganes sore itu juga. Di sambut suara azan di mesjid, Veda memasuki rumah calon mertuanya dengan jantung berdegub kencang.
Nyali Veda menciut seketikasaat mendapati tatapan calon mertuanya yang kurang bersahabat.
![](https://img.wattpad.com/cover/213612551-288-k658332.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)
RomanceKatanya kalau jodohnya cuma tetangga sendiri itu mainnya kurang jauh. Kelihatan banget nggak gaul. Tapi Ganes nggak peduli. Dia justru cari jodoh yang satu desa sama dia. Atau paling enggak satu kecamatan. Mau tahu gimana kisahnya? Langsung baca a...