Butuh Ketegasan

231 28 4
                                    

Veda tak bisa menahan tawanya ketika menatap wajah Ganes yang memerah dan mata melebar. Sepertinya perempuan itu benar-benar terkejut mendengar lamarannya yang mendadak. Bukan lamaran romantis yang diimpikan para gadis. Ini hanya penawaran.

"Kenapa?" tanya Veda mencoba mengembalikan kesadaran Ganes.

Pria itu mungkin bisa salah paham dengan sikap Ganes. Namun ganes tak memikirka apa pun selain jawaban apa yang harus ia katakan. Ini terlalu cepat. Terlalu jauh dari bayangan Ganes.

Desau angin menerpa wajah kedua insan yang masih terhanyut dalam pikiran masing-masing.

"Kok tiba-tiba ngomong gitu?" Ganes membelai jilbab yang menjulur di dadanya. "Jangan bercanda, deh," lanjut perempuan itu sembari mengalihkan pandangan.

"Tiba-tiba? Apa ini terlalu cepat buat kamu?" Veda tak mengerti kenapa ganes begitu terkejut dengan pernyataannya. Bukankah selama ini Ganes mengharapkan sebuah pernikahan?

"Enggak sih, tapi ..."

"Aku cari istri, Nes. Bukan pacar. Dan kamu lagi cari suami. Kenapa nggak kita coba?"

Ganes memelotot tajam "Hah? Emang beli baju, di coba dulu?"

Lagi-lagi Veda tak mampu menahan tawanya dan membuat Ganes terkesima. Tawa yang membuatnya semakin....ah sudahlah.

"Ya enggaklah. Aku tak suka bertele-tele. Kalau udah suka dan niat maka aku katakan. Aku serius, Nes." Tak sedikit pun Veda mengalihkan pandangan dari perempuan di hadapannya. Tak ada sedikit pun keraguan dalam kata-katanya.

Hal itu tentu saja membuat Ganes mengangguk dengan sendirinya. Ia berharap keputusannya kali ini tak menimbulkan penyesalan.

"Terus Mbak Tania gimana?" Ganes tak ingin bertanya-tanya lagi dalam hati. Dari pada salah paham, dan terus menduga-duga lebih baik ia tanya secara langsung.

"Tania kenapa?" kerutan tajam memenuhi dahi Veda di bawah temaram sinar rembulan.

"Bukannya Mas dan Mbak Tania ..."

"Jangan dengar omongan orang. Mereka sering menyimpulkan segalanya sesuai keinginan mereka," potong Veda cepat dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya.

"Jadi?" lagi-lagi Ganes memastikan.

"Nggak ada apa-apa antara aku dan Tania. Dia hanya teman dan tetangga," tegas Veda mencoba meyakinkan perempuan yang baru saja ia lamar. Veda tahu semua orang ingin dan sering membicarakan hubungannya dengan Tania. Namun ia tak ambil pusing, karena semakin ia membalas ucapan orang-orang itu, mereka akan semakin gencar menjadikannya bahan pembicaraan.

Sejenak Ganes memalingkan wajah untuk menyembunyikan senyum dengan tangan membelai jilbab yang menjulur di dadanya.

"Aku bukan ngajak kamu nikah malam ini. Kita bisa saling kenal lebih dalam lagi, kemudian baru memutuskan akan melanjutkan atau tidak."

"Lebih dalam?" lirih Ganes sembari menundukan wajah. Entah kenapa kalimt itu membuat perutnya sedikit melilit.

Seketika itu tawa Veda menggelegar di kesunyian malam. Susah payah pria itu berusaha menahan, tapi gagal. Tangan kirinya menarik daun telinga yang menjadi kebiasaannya.

"Jangan mikir yang aneh-aneh. Jadi gimana?"

Ganes tak lagi mengulur waktu untuk menganggukan kepalanya lagi. Ia takkan menolak sesuatu yang sangat ia harapkan bukan?

Menikah dengan pria satu desa dengannya. Bisa dekat dengan orang tuanya, tanpa mengkhawatirkan hal yang terus menganggu pikirannya sudah cukup membuat Ganes yakin dengan keputusannya

***

Suara mesin foto kopi yang di iringi siaran radio pagi menemani Ganes yang masih sibuk membersihkan etalase dan merapikan kertas di dalamnya.

Di depan meja etalase Ganes berkata, "Mas Rizal, aku mau bilang soal keputusan yang, Mas tanya waktu itu. Aku nggak bisa menjanjikan apa-apa lagi buat, Mas," kata Ganes to the point. Jika pria itu tetap memaksa, keterlaluan sekali.

"Kenapa? Waktu kita masih banyak, kok. Aku bisa nunggu sampai kamu siap." Rizal menatap lekat wajah perempuan di hadapannya. Ia menyadari raut wajah Ganes tak berubah sedikit pun saat berbicara dengannya. Dingin. Seharusnya ia tahu diri, tapi ternyata kepecayaan dirinya mengalahkan logika.

"Nggak akan ada waktu lagi. Aku telah memilih orang lain." Lagi-lagi Ganes menegaskan, tanpa peduli dengan wajah Rizal yang berubah sendu. Ia tak ingin mengulur waktu lagi untuk memberi harapan palsu pada pria itu. Bagi Ganes semakin lama ia memberi harapan pada Rizal, pria itu akan semakin terluka.

"Siapa?"

Ganes terdiam di tempatnya. Terlihat jelas keraguan di matanya hingga membuat Rizal mendengkus kesal. Mudah saja bagi Ganes menyebutkan nama Veda di hdapan Rizal. Namun Ganes tetap pada pendiriannya untuk tak membagi kehidupan pribadinya dengan orang lain. Apalagi tentang hubungan yang baru saja di mulai semalam. Ia belum tahu orang seperti apa Rizal ini. Ia tak ingin sesuatu yang buruk terjadi.

"Kamu bohong, kan?" selidik rizal yang tak percaya pada Ganes.

Suara klakson yang bersahutan di jalan membuat suasana semakin tegang. Tatapan Ganes menyapu jalanan yang dipenuhi mobil dan motor yang berdesakan sebelum kembali menjawab pertanyaan Rizal.

"Bukan begitu." Ganes bukannya tak ingin mengatakan hubungannya dengan Veda. Hanya saja ia tak ingin menambah masalah mengingat sikap Rizal yang sepertinya tak terima dengan keputusannya. "Aku ..."

"Kamu mengatakan kebohongan untuk menolakku?" potong Rizal cepat sembari berdiri dan melangkahkan kaki meninggalkan kedai foto kopi dengan tatapan kecewa.

Sementara itu Ganes hanya bisa mendesah pelan. Ia meniup ujung jilbab di dahinya. Yang penting dia sudah mengatakan apa yang ingin dikatakan. Terserah Rizal mau mikir apa.aku nggak peduli lagi. Untuk apa menjalin hubungan dengan pria suka memaksa seperti dia? Lebih baik fokus kerja saja.

."Cowok egois," kata Sofie setelah Rizal hilang dari pandangan. Untuk pertama kalinya perempuan itu berkomentar buruk tentang pria.

"Begitu menurutmu?" Ganes menyandarkan kepalanya di meja etalase dengan wajah sendu. Rasanya masih ada yang mengganjal dalam hatinya. Ganes merasa pernah memberikan harapan palsu pada Rizal dan kini ia mnyesalinya. Ah sudahlah.

"Iya. Dari awal udah dibilangin nggak mau kok tetep maksa." Sofie terlihat sedikit emosi setiap kali membahas Rizal. Pria yang menurutnya tak tahu malu. Padahal dulu Sofie mendukung pria itu saat pertama kali mengungkapkan perasaan pada Ganes, tapi melihat sikapnya yang terus memaksa meski sudah ditolak membuat Sofie illfeel.

"Cowok kamu gimana? Udah baikan?" tanya Ganes mencoba mengalihkan pembicaraan. Meski ia tak menyukai Rizal, bukan berarti ia akan menjadikan pria itu bahan gosip.

"Iya, udah." Raut wajah Sofie kembali ceria jika mengingat pacar yang sangat ia cintai.

Pantas saja kini Sofie tidak lagi sibuk dengan ponselnya seperti saat hubungannya bermasalah. Namun gantian Ganes yang sebentar-sebentar melirik layar ponsel di tangannya. Dengkusan pelan terdengar dari bibir Ganes, ketika tak menemukan satu pun pesan dari Veda.

Seperti perempuan lain, Ganes pikir Veda akan lebih sering memberi kabar padanya atau menanyakan kabarnya. Namun ternyata Ganes harus merasakan kecewa, ketika tak satupun pesan yang mucul di ponselnya.

Inikah hubungan serius yang dikatakan Veda?

****

Weekend kalian kemana aja?

Buat yang cuma di rumah aja apakah ada yang mau baca bab selanjutnya?

Publish dua bab hari ini gimana?



Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang