Yuhuuu...
Ganes baru publish lagi hari ini.
Entah apanya yan eror, tiap buka wp mau nulis akun saya log out mulu.
Untung hari ini udah bisa.
Yang mau baca lebh banyak bab bisa ke Karyakarsa ya, di sana udah sampai bab 22.
Tenang, sama-sama gratis kok.
Happy reading....
***
"Setelah menikah aku tak ingin tinggal di sini, Nes."
Ganes sangat berharap kalimat yang meleburkan senyumnya itu adalah gurauan Veda saja. Ganes merasa sangat mengenal Veda dengan baik. Melihat hubungan Veda dengan orang tua dan keluarga lainnya sangat dekat membuat perempuan itu berpikir sang kekasih juga memiliki keinginan yang sama dengannya. Membangun rumah tangga di lingkungan kerabat dekat.
Di tengah riuh suara ibu-ibu yang menyemangati para peserta lomba estafet air, Ganes dan Veda sama-sama terdiam. Menyelami pikiran masing-masing.
Baru saja Ganes ingin menanyakan alasan Veda, pria itu sudah di panggil Tania, "Mas, tolong angkatkan air minum dulu," kata perempuan itu dengan suara lemah lembutnya. Saking lembutnya hingga terdengar samar. Tanpa memedulikan Ganes, Tania menarik pergelangan tangan Veda menuju tumpukan dos air gelas yang disediakan untuk panitia dan peserta lomba.
"Manja banget, sih," kesal Ganes dengan wajah ditekuk. Lama-lama Ganes berubah seperti Dera. Mengomentari sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu penting.
Tania yang tidak tahu hubungan Veda dan Ganes tak mungkin merasa butuh izin untuk meminta bantuan pada Veda yang selama ini dekat dengannya. Ganes bukan siapa-siapa.
Di sudut lapangan bola, telah berkumpul lima tim yang terdiri dari enam wanita berbagai usia di setiap timnya. Mereka berbaris sesuai garis yang dibuat dengan tali rafia warna merah. Masing-masing peserta memegang baskom kecil untuk mengoper air.
Ketika panitia meniup peluit, para peserta sudah bersiap untuk memindahkan air dari wadah satu ke wadah lainnya melewati kepala.
Beberapa penonton sudah mulai berteriak memberikan semangat untuk tim yang mereka dukung. Tak lupa juga mengingatkan para peserta untuk tidak menengok ke belakang karena akn dikenai sangsi.
"Ayo semangat, Ibu-ibu."
"Tuang terus."
"Pasti bisa."
Suara warga yang menonton diiringi percikan air yang tumpah membuat suasana semakin meriah.
Pakaian peserta yang telah basah kuyup oleh tumpahan air tak juga menyurutkan semangat mereka. Acara lomba terlaksana dengan penuh kegembiraan.
Begitu pula yang terpancar dari Veda yang terus menyemangati para peserta yang diburu waktu. Tak terasa teriakannya yang terlalu bersemangat membuatnya tersedak air liurnya sendiri.
"Minum dulu, Mas," tawar Tania sembari memberikan segelas air mineral pada si ketua karang taruna itu.
"Terima kasih."
"Akhirnya lomba bisa terlaksana dengan baik ya," kata Tania lagi lau menyesap air gelas di tangannya. Kemudian mengambil sapu tangan dari saku rok dan menyeka air air minum yang tak sengaja tumpah di dagu Veda. Kalau Dera yang melihat ini pasti akan berkata "lebay".
"Iya. terima kasih. Kalau bukan karena bantuanmu mungkin lomba ini akan tertunda."
"Udah banyak banget terima kasihmu buat aku, Mas. kata yang lain dong."
Veda bukannya tak mengerti maksud Tania. Hanya saja, ia tak ingin memperpanjang obrolan ketika matanya menatap Ganes yang tak menutupi ketidaksukaan di wajahnya.
Sebagai pria, Veda tentu saja mengerti maksud dari wajah berlipat Ganes itu. Namun ia tak ingin membuat segalanya terlihat berlebihan. Ia berharap Ganes akan bersikap sesuai dengan umurnya.
***
Seperti sebuah bangunan yang baru saja di bangun, kemudian diterpa angin puting beliung hingga hancur berkeping-keping. Impian indah Ganes menikah dengan pria yanag tinggal satu wilayah dengannya tiba-tiba sirna.
Sejak pertemuannya dengan Veda di lapangan, Ganes tak nafsu makan, tak bisa tidur, dan terus memikirkan Veda. Apa yang akan ia lakukan selanjutnya? Bukankah ia hanya tinggal bertanya pada kekasihnya, membicarakan hal yang membuatnya gelisah.
Namun pada kenyataannya, Ganes tak menghubungi Veda bahkan untuk sekadar menanyakan kabar. Ketakutannya akan berakhirnya hubungan dengan Veda membuatnya ragu untuk berbicara lebih jauh tentang kegelisahannya.
"Mbak kenapa, sih?" tanya Sofie yang sedari tadi memerhatikan Ganes.
"Kenapa? Aku." Ganes malah balik bertanya seperti merasa aneh dengan pertanyaan Sofie. "Kamu kok nanya aneh-aneh."
Sofie makin mengerutkan keningnya, "Bukan aku yang aneh, tapi, Mbak. Dari tadi bengong sambil ngelus-elus ujung jilbab sampai mulus kek abis di setrika gitu," jawab Sofie seraya menunjuk jilbab segi empat yang menjulur di dada Ganes.
"Entahlah, Sof. Kepalaku pusing."
"Karena Mas Veda?"
Tanpa ragu Ganes mengangguk mantap, meski ia tak ada rencana untuk menceritakan masalahnya.
"Tinggal dihubungi aja, Mbak. diajak ketemu. Diajak ngomong. Jangan diam aja di sini. Nanti sakit hati sendiri lho." Sofie mencoba memberi saran.
Ganes mendesah pelan. Mungkin apa yang dikatakan Sofie memang benar. Ia harus segera membicarakan masalah yang membelit otaknya. Ganes tak ingin memendam kegelisahannya sendirian.
Saat itu juga Ganes mengetikan pesan pada Veda dan mengajaknya makan malam setelah pulang kerja nanti. Dalam hati Ganes mengutuk dirinya sendiri karena pesan itu tak juga dibalas. Rasa tak nyaman dalam hatinya kini kian menggunung.
Jam di layar ponsel Ganes sudah menunjukan pukul lima lewat lima belas menit, tetapi Ganes belum juga beranjak dari kursi plastik belakang meja etalase.
Sudah tiga jam berlalu sejak ia mengirimkan pesan pada Veda, tapi tak ada tanda-tanda pesan itu akan dibalas, dibaca pun tidak.
"Jangan bengong, Mbak. udah jam pulang ini," komentar Sofie seraya menutup pintu kedai fotokopi.
"Iya. Aku ambil tas dulu." Ganes bangun dari duduknya, lalu mengambil tas selempang serta helmnya di rak penyimpanan ruang tengah ruko.
Berkali-kali Ganes mendesah pelan berharap sesak di dadanya segera hilang. Sayangnya rasa sesak itu semakin menjadi dan membuatnya berhent bernapas sejenak ketika melihat Veda sudah berada di depan kedai fotokopi dengan jaket hitamnya.
"Mau makan di mana?" kata Veda sembari menghampiri Ganes yang tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Terserah, Mas aja." Ganes mengedipkan matanya sekali.
Tak ada percakapan berarti antara Ganes dan Veda. keduanya tetap mengendarai sepeda motor masing-masing hingga sampai di sebuah restoran di tengah kota Klaten.
"Tadi aku lagi rapat, jadi nggak sempat balas. Tapi aku baca kok." Veda membuka pembicaraan ketika mereka berada di dalam restoran. Veda cukup mengerti perasaan Ganes hanya dengan melihat raut wajah Ganes yang kusut. Tak bisa dipungkiri Veda juga khawatir akan kandasnya ubungan mereka.
"Kenapa, Mas nggak mau tinggal di desa setelah menikah?" Ganes tak bisa menahan rasa ingin tahunya. Ia tak ingin lagi berpura-pura baik-baik saja sementara hatinya kalut. Umur tiga puluh sudah di depan mata, sementara hubungan yang ia harapkan malah akan segera kandas. Siapa yang tak kalut?
"Makan dulu, baru kita bicara," jawab Veda tenang bersamaan dengan datangnya bebek bakar yang di bawa oleh pelayan.
"Mas!" Ganes tak melirik makanan mereka sedikitpun. Tak ada nafsu makan sedikitpun. Ini harus segera selesai.
"Karena ada hati yang harus di jaga, Nes."
Alasan apa itu? Ganes mendesah pelan.
"Terus gimana dengan hatiku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)
RomanceKatanya kalau jodohnya cuma tetangga sendiri itu mainnya kurang jauh. Kelihatan banget nggak gaul. Tapi Ganes nggak peduli. Dia justru cari jodoh yang satu desa sama dia. Atau paling enggak satu kecamatan. Mau tahu gimana kisahnya? Langsung baca a...