"Tania ihklas, Bu."
"Sabar dulu. Nanti Ibu yang bicara sama Veda." Ibu Veda terus mengulangi kalimatnya. Tidak peduli calon menantu yang ia harapkan itu mulai mengigit bibirnya, menahan air mata.
"Mas Veda tidak pernah menginginkan Tania sebagai istri, Bu. Ada wanita lain yang ia cintai," lirih Tania dengan kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
"Tania sudah tahu?"
"Iya. Mas Veda sudah bilang. Dan Tania tidak ingin menganggu kebahagiaan Mas Veda, Bu. Tania harap Ibu merestui Ganes. Tania tidak ingin menjadi penghalang kebahagiaan mereka, Bu."
Ibu Veda hanya bisa mendesah pelan. Wanita paruh baya itu ingin sekali Tania yang ia kenal dan rawat dari bayi itu menjadi menantunya. Namun apa daya, ia tak bisa menyetir hati putranya sendiri.
Ia ingat perdebatannya dengan sang suami beberapa waktu yang lalu, di malam Veda meminta restu untuk melamar Ganes.
"Veda tak bisa memilih kemana hatinya berlabuh. Apa lagi kita, Bu. Tidak mungkin kita memaksakan kehendak dan memaksanya menikahi perempuan yang tidak ia cintai karena bukan kita yang menjalani pernikahan itu, Bu."
"Tapi ibu ingin Tania yan menjadi menantu kita."
"Memangnya kenapa dengan Ganes? kenapa, Ibu menolaknya?"
"Ibu tidak menolaknya. Ibu hanya lebih memilih Tania saja."
Ayah Veda mendengkus kasar, "Hanya karena Ibu merasa lebih mengenal Tania? hanya karena merasa lebih dekat dengan Tania. Tapi yang menikah itu Veda bukan Ibu."
Ibu Veda paham apa yang dikatakan suaminya. Meski hatinya berat menerima kenyataan, tapi mau bagaimana lagi.Tidak mungkin dia terus memaksa anaknya untuk menuruti keinginannya, ia juga tahu Veda takkan mungkin mau dipaksa.
***
"Mas beneran mau lamar anaknya Pak Tarto?" Ibu Veda membelai bahu putranya yang sedang menonton televisi sore itu. Setelah pembicaraan menyesakan dengan Tania dan malam-malam di mana wanita paruh baya itu harus menerima kenyataan bahwa harapannya telah pupus.
"Iya, Bu. Veda ingin... ."
"Beneran tidak bisa Tania saja?" potong Ibu veda dengan cepat. Ia masih berharap ada keajaiban yang mengubah hati putranya.
Sementara itu Veda terdiam sejenak. Menoleh dan menatap wajah sang ibu tanpa berkedip. "Bu. Veda hanya ingin menikahi Ganes. Kalau pun dia bukan jodohku, rasanya Veda tak akan memilih Tania sebagai istri."
"Kenapa? Dia perempuan baik-baik."
"Baik saja tidak cukup untuk dijadikan istri, Bu." Veda memandang wajah ibunya lekat-lekat, "Ibu juga tahu kalau Tania memiliki penyakit serius. Veda harap ibu mengerti maksudku."
"Veda." Ada kesedihan mendalam di mata Ibu Veda. Ia lebih tahu bagaimana Tania hidup selama ini. Ia tahu dari kecil Tania tak pernah sesehat anak-anak lainnya.
"Ibu tidak ingin punya cucu sakit-sakitan, kan?"
"Ibu mengerti. Ibu memang tidak berhak mengatur hidupmu," kata Ibu Veda sedikit ketus.
Veda mengedipkan matanya yang perih berkali-kali sambil mengembuskan napas pelan. "Drama lagi." batin Veda mulai mengeluhkan situasi yang sering terjadi jika membicarakan Tania bersama sang ibu.
Namun kalimat sang ibu selanjutnya membuat Veda terdiam tak percaya.
"Ibu menyerahkan keputusan padamu. Ibu tak ingin menghalangi keinginanmu lagi." Ibu Veda sadar hanya dirinya yang merasa kasihan pada Tania dan ingin merawatnya sebagai menantu. Namun kini ia mengerti apa yang dimaksud Veda dan tak ingin lagi memaksakan keinginannya.
"Bu... ." Veda memperbaiki posisi duduknya.
"Bagaimana mungkin ibu memaksa. Yang jalani kan kamu sendiri."
Dengan nada sedikit sewot ibu Veda meninggalkan sang anak dalam kebingungan. Rasanya percakapan itu seperti roller coaster, naik turun dengan cepat dan membuat jantung berdetak kencang.
Veda merasa lega karena sang ibu sudah membuka hati untuk Ganes. Veda tidak peduli dengan yang lain, asalkan wanita yang telah melahirkannya itu telah memberi restu, segalanya akan semakin mudah.
Sebelumnya Veda ragu ibunya bisa menerima Ganes mengingat hanya ada nama Tania sebagai menantu di hati sang ibu.
Namun Veda yakin ibu Veda cukup mengenal siapa Ganes, meski tidak sedekat Tania. Mereka sama-sama tinggal di desa yang sama selama bertahun-tahun, rasanya tidak mungkin ibu Veda tidak tahu sepak terjang perempuan yang ia cintai.
Berada di lingkungan yang sama bertahun-tahun pasti sang ibu lebih tahu tentang Ganes dari pada dirinya. Karena biasanya para ibu lebih sering menceritakan tetangganya kan?
Lagi pula selama ini tidak ada kabar buruk tenang Ganes. Jadi apa lagi yang membuat sang ibu menolak Ganes. Selain Tania?
Selama ini sangat sulit bagi Veda mengatakan bahwa ia tidak ingin menikahi perempuan yang penyakitan. Katakanlah ia terlalu jahat untuk mengatakan hal itu, tapi itulah kenyataannya.
Sebagai pria normal, Veda ingin memiliki keluarga yang sehat. Anak-anak yang sehat. Memang semua orang bisa saja sakit kapan saja. Bukannya Veda tak ingin merawat istrinya jika sakit. Namun membayangkannya saja tak sanggup, jika istrinya sakit-sakitan sejak awal pernikahan dan berakibat pada keturunannya.
Selain hatinya yang tidak menyimpan rasa untuk Tania, Veda hanya bersikap realistis demi masa depannya.
***
Gerimis disertai angin sepoy-sepoy mengiringi kedatangan Randu di rumah Veda. Pria jangkung itu berlari kecil menghampiri Veda yang sedang duduk di kursi teras.
"Sudah ada kabar dari Susi?" kata Randu sembari meletakkan bokong tipisnya di kursi.
"Kenapa tanya aku?"
"Lho, biasanya kalau ada masalah begitu kan kamu ikut bantu cari. Aku cari kemana-mana nggak ketemu. Sejauh apa Susi pergi ya?"
"Aku pasti bantu kalau Teja mencarinya. Tapi sekarang ini jangankan mencari, dia sepertinya tidak peduli lagi." Veda menghela napas pelan. "Siapa tahu itu keputusannya untuk melepaskan Susi. Atau memberi waktu pada istrinya itu untuk sendiri."
"Kasihan juga si Teja."
"Ya itu kan karena perbuatannya sendiri. Mana ada perempuan sabar yang selamanya mau diperlakukan seperti Susi. Dibentak, diselingkuhi, dipukul. Sebagian besar orang pasti malah senang Susi pergi. Mungkin dia bisa lebih bahagia. Sudahlah, tidak usah ngurusi orang."
"Kamu kapan kawinnya?"
"Hush, lambemu." Veda hampir saja berteriak, "Kawin masa harus bilang-bilang. Nanti kamu pengen."
"Nggak mungkin. Aku sudah pernah tahu rasanya."
"Masa? Merawanin anaknya siapa kamu?"
"Jaman sekarang mana ada perawan. Udah kamu kapan nikahnya?"
"Nantilah tunggu saja."
"Tunggu, tunggu nanti disamber orang baru tahu rasa."
Seketika itu Veda tersadar sudah hampir satu bulan ia tidak menghubungi Ganes. Veda terlalu percaya diri menganggap kekasihnya itu akan bersabar menunggunya yang tak memberi kabar sama sekali.
"Nggak mungkinlah."
"Kenapa nggak mungkin?"
"Aku tahu bagaimana Ganes."
"Tahu apa?" Randu terenyum miring. "yang namanya hati bisa berubah kapan saja. ingat nggak kalimat, Alloh maha membolak-balikan hati manusia?"
Seketika itu Veda khawatir, tapi tak ingin langsung menghubungi Ganes. Hal pertama yang ia pikirkan adalah menelpon calon mertuanya. Sebagai ketua karang taruna, mudah saja bagi Veda untuk mendapatkan nomor Pak Tarto.
Menanyakan kapan pria tua itu pulang kampung adalah cara terbaik.
![](https://img.wattpad.com/cover/213612551-288-k658332.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Nyinom (Ketika Jarak Berbeda Makna)
RomansaKatanya kalau jodohnya cuma tetangga sendiri itu mainnya kurang jauh. Kelihatan banget nggak gaul. Tapi Ganes nggak peduli. Dia justru cari jodoh yang satu desa sama dia. Atau paling enggak satu kecamatan. Mau tahu gimana kisahnya? Langsung baca a...