Empat Belas

46 8 0
                                    

"Tapi kok dia sampai nggak bisa ingat di mana peristiwa itu terjadi dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kasus tersebut?"

"Memory itu dihapus bersama tembusannya, maka wajar saja kalau hal-hal kecil lainnya yang masih berkaitan juga ikut terhapus!"

Sandhi menggumam sambil manggut-manggut lirih. "Apa kamu nggak bisa mengembalikan memory yang terhapus itu?" tanya Sandhi penuh harap.

"Secara diam-diam sudah kucoba dua kali, tapi masih gagal. Mungkin butuh waktu khusus untuk menanganinya sampai berhasil."

Sandhi menyampaikan penjelasan Kumala itu kepada Voya. Tapi tanggapan Voya datar-datar saja. Dia menganggap analisa itu buatan Sandhi sendiri dan terlalu mengada-ada. Sebab pikirnya. "Mana mungkin ada orang yang bisa menghapus ingatan orang lain untuk beberapa bagian tertentu saja."

"Mungkin jiwaku masih dibayang-bayangi perasaan senang, lega, dan gembira yang berlebihan, karena dadaku bisa utuh kembali. Perasaan yang berlebihan itulah yang membuat konsentrasiku belum bisa bekerja sepenuhnya, seperti hari-hari kemarin."

"Yaah... pendapat itu memang masuk akal," kata Sandhi dengan sabar. "Tapi kayaknya Kumala mau menangani masalah gangguan daya ingatmu itu pada waktu khusus nanti. Siapkan saja dirimu dan waktumu buat mengembalikan daya ingat tersebut."

"Apakah aku boleh menolak rencana itu?"

"Kalau bisa jangan deh. Ini demi kepentingan pribadimu, juga demi kepentingan kita bersama. Sebab kalau file yang terhapus itu nggak dikembalikan seperti semula, lantas bagaimana kita bisa mengetahui si pemilik ludah mumi itu?"

"Anggap saja dia sudah mati. Beres! Ngapain pusing-pusing mikirin dia sih?"

"Bukankah tadi Kumala sudah bilang pada kita, bahwa pemilik ludah mumi itu berkaitan erat dengan kasus munculnya surat berdarah Menurutnya, darah yang dikirim melalui surat tersebut dapat mempengaruhi nasib orang yang melihatnya. "

"Cuma melihat darah yang dituliskan pada kertas surat itu saja masa bisa mempengaruhi nasib seseorang sih?"

"Darah yang lenyap sendiri setelah dibaca seseorang itu, dipastikan oleh Kumala sebagai darah mumi. Padahal menurut pengalaman spiritualnya, sebagian besar darah mumi itu mengandung kutukan maut, yaitu merenggut nyawa orang yang pertama kali memandanginya. Bagi orang kedua, ketiga dan seterusnya nggak kena pengaruh kutukan darah tersebut, Voy. Makanya, mereka yang menjadi korban pasti orang pertama yang melihat tulisan darah pada kertas surat itu, tak peduli apakah dia si pemilik nama pada alamat surat atau bukan. Pokoknya orang pertama yang melihat darah itu pasti mati!"

Handphone Voya berdering. Sandhi menahan diri untuk tidak melanjutkan bicara, sementara Voya langsung menyambut si penelepon yang sudah diketahui orangnya lewat nomor yang muncul pada displaynya.

Sandhi berlagak tak menyimak, tapi sebenarnya sangat ingin tahu apakah si penelepon seorang lelaki atau seorang wanita. Ia juga diam-diam memperhatikan nada bicara Voya saat itu, santai atau formal. Mesra atau biasa. Entah mengapa tiba-tiba Sandhi jadi ingin tahu hal-hal seperti itu. Bahkan ia merasa kesal jika Voya menerima telepon dari seorang lelaki.

"Perasaanku sudah mulai edan nih! Gawat," pikirnya sambil menahan rasa malu dan geli sendiri dalam hati. Anehnya, hati Sandhi nekat merasa lega setelah tahu penelepon itu adalah seorang perempuan yang bernama Fifin.

Agaknya perempuan itu teman dekat Voya, terbukti cara Voya menyambutnya dengan ceria, penuh canda, bahkan terkesan akrab sekali.

"Hallo? Ada apa Tuan Putri Fifin, Ratu Ganjen...!" tawa sedikit parau berhamburan seenaknya.

Sandhi menikmati suara tawa yang bagirya dapat membangkitkan gairah asmara pemuas cinta.

"Aduh, sorry deh, kalau petang ini aku nggak bisa. Aku punya urusan sendiri, Fin. Tapi kalau malam-malaman, oke aja sih. Memangnya siapa aja yang mau datang nanti? Hmm, terus...? Eh, cowok luh itu datang juga nggak? Yaah... suruh pulang aja deh cowok luh nanti. Habis, kalau elu bawa cowok, gue mau bawa apa? Uuh, sorry ya... memangnya gue tante girang? Parah luh, Fin...!"

Sandhi dapat menyimpulkan percakapan melalui HP itu. Fifin dan beberapa orang rekannya lagi mengadakan acara kecil-kecilan di Kiss Cafe. Acara itu tidak akan menjadi seru dan meriah jika tanpa Voya. Bisa tidak bisa Voya diwajibkan
datang dalam acara tersebut.

Voya tidak memberikan kepastian, sebab ia tidak punya pasangan yang cocok buat bergabung dengan mereka. Entah sengaja atau tidak pernyataan itu diucapkan keras-keras di depan Sandhi, yang jelas hati Sandhi sempat deg-degan karena merasa akan mendapat peluang emas untuk menjadi orang yang akan menemani janda cantik itu, walaupun hanya semalam saja.

Repotnya, usai membahas acara tersebut dengan Fifin, Voya sama sekali tidak membicarakannya kepada Sandhi. Bahkan membahas kekonyolan Fifin pun tidak sama sekali.

"Kita jadi ke rumah Pramuda kan?" justru itu yang ditanyakan.

Dengan memendam rasa dongkol Sandhi menjawab. "Jadi dong. Kumala sudah standby tuh."

"Kok lama sih! Dari tadi dia masuk kamar dan nggak keluar-keluar lagi lho. Coba tengokin sana!"

"Kalau dia di dalam kamar sampai berjam-jam berarti, dia sedang lakukan hubungan gaib dengan papa-mamanya di Kahyangan."

"Jadi, sekarang dia sedang dialog dengan orang tuanya?"

"Mungkin saja begitu, karena sudah hampir satu jam belum keluar juga dari kamarnya."

"Udah pukul tujuh lewat nih. Kita mau berangkat kapan?"

Sandhi jadi semakin kesal, seolah-olah Voya bosan ngobrol dengannya di serambi itu. Senyum Sandhi pun mulai bernada sinis.

"Udah nggak sabaran, ya?Kepingin cepat sampai di Kiss Cafe?" sindir pemuda itu. Ia sengaja menyinggung Kiss Cafe supaya dijadikan bahan percakapan selanjutnya.

Tapi harapannya kali ini juga tidak terkesampaian. Voya tidak membahas Kiss Cafe, tapi hanya tertawa sumbang, seakan menertawakan saltingnya Sandhi saat itu. Makin geregetan Sandhi dibuatnya.

"Ntar lama-lama gue pelet pakai Aji Tunduk Seta luh!" geram Sandhi dalam hati. Ia memang punya ilmu pelet pemberian Buron yang mampu membuat wanita seangkuh apa pun menjadi tunduk bertekuk lutut mengharapkan kepuasan cinta darinya.

Tapi apakah pantas kekuatan ilmu pelet itu ditujukan kepada Voya, sementara sikap Voya sendiri sebenarnya sangat bersahabat dan ramah padanya? Kalau tidak diguna-guna pakai ilmu pemikat, sikap Voya seperti selalu memancing
gairah Sandhi, bikin Sandhi jadi tersiksa sendiri batinnya. Maka tertegunlah Sandhi mempertimbangkan langkahnya.

****

57. Asmara Mumi Tua✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang