Ulang Tahun

1K 102 13
                                        

4 hari tanpa Nunew, tanpa komunikasi juga.

Zee sudah hampir gila. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada otak dan tubuhnya. Menahan diri tidak menemui Nunew sudah seperti menahan lapar dan dahaga. 4 hari ini hidupnya layaknya robot. Makan harus diingatkan asisten, cara kerjanya 11-12 dengan mesin daur ulang. Sepanjang 4 hari ini telinganya sampai panas karena diomeli asistennya terus menerus. Kalau saja itu hari-hari biasa, mungkin dia sudah melempar asistennya ke laut.

Tengah malam nanti adalah penentu hidup dan matinya. Kalau saat tengah malam nanti dia mati, dia ingin mati di ranjang dengan pakaian pilihannya sendiri. Kalaupun tidak mati, dia juga ingin hidup dengan pandangan baru keesokan harinya.

Nunew bilang sampai jumpa di ulang tahunnya, tapi sampai saat ini, jam 7 malam, dia belum juga datang atau menghubungi Zee. Dalam keputusasaan, Zee hanya berbaring di tengah-tengah ranjang memakai baju tidur terbaiknya. Karena selama 4 hari tidurnya tak pernah nyenyak, entah kenapa sekarang ingin sekali dia mengatupkan matanya, padahal ini belum terlalu malam untuk tidur.

Saat matanya mulai tertutup, di alam bawah sadarnya, dia disambut pemandangan yang tak asing lagi. Kegelapan menari-nari di sekitarnya. Cahaya terang hanya bersumber dari singgasana yang berada tepat di tengah ruangan. Di atasnya, duduklah Sang Dewi dengan gaun merah darah berumbai semata kaki. Kulit wajahnya yang seperti porselen terasa tak nyata bagi Zee yang biasa melihat manusia-manusia dengan kulit tebal di sekitarnya. 

"Apa kabar, Nak?" sapa Sang Dewi seraya tersenyum sendu.

Zee baru sadar ternyata dia tidak sedang berdiri melainkan duduk bersila di bawah singgasana Sang Dewi. "Apa kau datang untuk menjemput ajalku?" tanyanya tanpa basa-basi setelah menguasai diri.

"Kau sekarang sudah memilki belahan jiwa, lalu untuk apa aku mencabut nyawamu?"

"Lalu apa maumu? Karena yang aku tahu kau hanya datang saat pengumuman belahan jiwa."

"Manusia dan pelajarannya yang sok tahu," gerutu Sang Dewi. "Asal kau tahu, aku bisa datang pada mimpi siapapun dengan tujuan dan tugas yang berbeda. Dan hari ini tugasku mengambil sesuatu darimu." 

Rongga dada Zee seolah terbelah mendengarnya. Pikirannya mulai membayangkan hal yang tidak-tidak. "Apa... apa maksudmu?" 

"Tenang saja. Aku tidak akan mengambil belahan jiwamu," kata Sang Dewi mengetahui arah pikiran Zee, membuatnya bisa bernapas lega. "Saat aku memutuskan membiarkanmu hidup, ada harga yang harus dibayar dari takdir kematianmu," jelas Sang Dewi sambil mencondongkan tubuhnya. "Aku harus mengambil kesuburanmu. Kau tidak akan pernah memiliki anak. Bagaimanapun caramu untuk memiliki anak, anak itu akan mati."

"Saat kau memilihkanku belahan jiwa laki-laki, aku sudah tahu konsekuensinya," sahut Zee tak gentar.

Sang Dewi menggeleng, lalu kembali menegakkan punggungnya. "Kau belum mengerti. Setiap pasangan pasti ingin memiliki anak dari DNA-nya sendiri. Di dunia manusia, mereka yang ingin memiliki anak akan melakukan segala hal untuk mendapatkannya. Termasuk bayi tabung, menyewa ibu pengganti, dan hal lainnya. Tapi semua itu tidak akan pernah terjadi padamu."

"Jadi maksudmu aku mandul?"

"Tidak. Spermamu bisa membuahi siapapun. Hanya saja saat anak itu lahir, mereka ditakdirkan untuk meninggal. Kalaupun kau berniat mengadopsi anak, anak itu juga akan meninggal. Hal itu sebagai ganti akan takdir kematianmu. Kau ingin hidup, berarti harus ada yang meninggal."

"Bagaimana kau melakukan hal yang tidak manusiawi seperti itu?!" teriak Zee.

"Ingat, Nak. Aku bukan manusia. Kau harus bersyukur karena aku memberikan ultimatum terhadap kematianmu. Dan kau harus tau, kutukan keluargamu sudah berakhir. Kau satu-satunya orang terakhir yang mendapatkan kutukan itu dan berhasil mematahkannya."

Your FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang