21. Confession

122 10 0
                                    

"Apa yang kamu mau luruskan?

"Oh annyeong," sapaku lembut sembari ia mengambil jarak yang cukup jauh dari kursi tempatku duduk. Wajahnya yang ditutupi masker dan topi selalu sukses mengejutkanku. "Duduk dulu lah masa berdiri. Dingin tau."

"Langsung aja. Apa yang mau kamu omongin?" ucap Jeonghan membuka obrolan. Tiba tiba saja semua persiapanku menguap dari kepala dalam hitungan detik.

"Bentar ya Han," tuturku pelan dan hanya diiyakan Jeonghan dari ujung bangku taman. Aku menarik nafasku pendek.

Kuperhatikan sosoknya dalam diam.

Mimpi apa aku sampai bisa dipertemukan dengan kamu dengan cara seperti ini ya?

Aku selalu mengucap syukur untuk setiap kesempatan yang memperbolehkan aku mengenalnya sejauh ini. Bertemu dengannya adalah bagian terbaik dalam hidupku.

Jika ada orang yang bertanya padaku, peristiwa apa yang akan kupilih untuk kuulang di kehidupan berikutnya, maka tanpa ragu aku akan mengatakan kesempatanku bersama Jeonghan.

Melihatku yang lama terdiam, akhirnya Jeonghan bertanya kembali.

"Jadi?"

Satu hirupan nafas lalu akhirnya kukerahkan semua keberanianku untuk memanggilnya.

"Han, aku-"

"Kalau kamu mau bilang ngejauhin aku itu demi kebaikan aku, mending stop sekarang," potong Jeonghan pelan. "Aku tau kamu mau ngomong itu kan?"

Aku mengangguk pelan. Sudah kuduga dia pasti tahu. Lagipula dia memang si pintar, Yoon Jeonghan. Tidak aneh kalau dia sudah bisa memperkirakan ucapanku hari ini.

Kupaksakan senyum manis lalu berkata, "Hebat banget udah tau aku mau ngomong apa."

"Ga mau," lanjutnya cepat. "Aku ga mau kamu ngejauh dan aku juga ga mau ngejauhin kamu. Ada apa kenapa tiba tiba begini? Ga bisa kita kaya biasanya aja?"

"Ga bisa. Mau kamu mau atau engga, aku bakalan tetep ngejauh."

"Aku ga mau kita harus kaya begini (y/n)-ah," lirihnya. "Kenapa kamu tiba tiba gini si? Aku ada salah apa sama kamu? Obrolin sama aku jangan seenaknya bikin keputusan sepihak."

"Kamu ga ada salah apa apa. Aku cuma ngerasa kalau aku harus jaga jarak sama kamu," balasku pelan.

"Kenapa? Kenapa kamu mau jaga jarak sama aku? Setelah semua yang udah kita laluin bareng kenapa tiba tiba kamu mau ngejauh? Jawab aku (y/n)-ah."

"Kita ini sebenernya apa Han?"

"Apa?" tanyanya bingung sembari memastikan pertanyaanku dengan seksama walau aku yakin dia sudah mendengarnya.

"Kita ini apa? Ga ada hubungan lebih dari sekedar rekan kerja kan?"

"Engga. Bagiku kamu temanku-"

"Stop."

Aku mencengkram hotpackku dengan keras lalu berkata, "Aku ga mau denger kamu ngomong aku itu cuman temen. Kamu sadar ga perilaku kamu ke aku selama ini? Itu aja udah ngelewatin bates pertemanan Han. Aku pengen banget sembunyi dibalik perjanjian kita, cuma staff yang nemenin idolnya, tapi tetep aja ga menutup fakta kalo kamu suka aku kan? Bagian paling fatal adalah kamu menyukaiku yang adalah seorang staff. Kamu udah ga waras? Bagaimana dengan adik adikmu, staff staffmu, manejer, CEO kalian, dan semua orang yang udah susah payah berjuang bersamamu sampai posisi setinggi ini? Kamu mau buang mereka semua?"

"Kamu serius ngomong gitu (y/n)-ah?"

Jeonghan terdiam tidak percaya. Tatapannya menaruh perasaan kecewa yang mendalam. Tidak butuh waktu lama untuk aku menyadari ia sedang menahan air mata. Genangan air di pelupuk matanya sukses membuatku hancur. Aku mengutuki diriku yang membuatnya seperti itu.

Jeonghan.. maafin aku.

"Baiklah. Kuakui. Aku suka kamu (y/n)-ah. Sejak kamu menampakkan diri kamu sebagai staff Woozi, sejak kamu pertama kali mengajakku ngobrol di balkon malam itu, aku selalu menyukaimu," Jeonghan tertawa hambar sembari mendongkakkan kepalanya agar air matanya tidak jatuh. "Baru aja aku bertekad buat ngasih liat usahaku kalo memang aku sesuka itu sama kamu, tapi malah begini."

Aku hanya bisa mematung sembari memohon diriku agar tidak menangis. Rasanya aku hanya ingin memeluknya dan mengatakan maaf ini hanya prank semata. Namun sayang inilah kenyataan pahit yang harus aku katakan.

"Aku mau tanya, (y/n)-ah. Apa selama ini kamu bener bener cuman nganggep aku sebates rekan kerja? Apa aku bener bener ga pernah terlintas di kepalamu?" tanyanya lagi. Jeonghan kemudian menatapku dibalik masker hitamnya. "Apa aku pernah nempatin hati kamu barang sedetik aja?"

Selalu Han. Bahkan namamulah yang selalu kubawa dalam setiap doaku.

Tapi aku tidak mungkin bilang seperti itu kan? Aku menghela nafas panjang dan kembali mengucapkan maaf dalam hati kecilku.

"Kalau kubilang ga pernah gimana Han? Aku sama sekali ga punya perasaan suka padamu."

Aku menatapnya lekat dengan segala gejolak emosi yang kutahan sedari tadi sembari berusaha tegar padahal hatiku sudah hancur berkeping keping bak kaca pecah. Bohong kalau aku merasa baik baik saja setelah mengatakan semua itu.

Detik ini aku sudah siap dengan segala konsekuensiku. Dengan apa yang akan terjadi setelah ini, aku percayakan pada takdir dan akan kuterima semua kebenciannya setelah selesai dari tempat ini.

"Saat ini aku bener bener ga mau bercanda (y/n)-ah."

"Aku serius."

"Ini pasti cuman konten kan? Ga mungkin kamu begini-," ucapnya pelan seakan baru saja tertampar kenyataan yang tidak pernah ia duga.

"Engga. Sejak awal aku ga pernah sekalipun suka sama kamu. Kapan kamu mau sadar si Han?"

Kalimat itu lepas dari mulutku begitu saja. Kualihkan pandanganku ke arah lain membelakanginya berusaha menyembunyikan air mataku yang sudah menggenang. Ribuan kata maaf sudah terlontar dalam hatiku.

Seandainya saja aku tidak ceroboh, tidak bertemu denganmu, dan tidak mengiyakan perjanjian konyolmu, apakah kita bisa bertemu dalam kondisi lain? Apakah ada kesempatan untukku bersanding denganmu suatu saat nanti? Dimana kita mampu dipertemukan lagi hanya dengan tautan mata?

Aku tidak tahu lagi. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya aku menghentikan semua ini. Aku tidak ingin menyakitinya lebih dalam lagi.

Hening. Sesuai yang kuduga. Aku tahu ucapanku hari ini merupakan satu satunya cara agar ia membenciku. Dengan begitu, ia bisa kembali fokus pada karirnya dan aku kembali ke garis batasanku sebagai staff.

Walau hati kecilku benar benar hancur.

Tidak lama Jeonghan akhirnya membuka suara.

"Arraseo aku ngerti kok. Makasi udah jujur tentang perasaan kamu (y/n)-ah. Aku bakal batalin semua perjanjian kita mulai besok. Tapi boleh ga aku minta hari ini menjadi hari terakhir kita?"

Aku buru buru menghapus air mataku dan berkata, "Boleh. Hari ini terakhir ya. Aku juga udah janji nemenin kamu buat beli baju kan."

Hatiku perih. Sedikit demi sedikit pertahananku runtuh. Air mata mulai keluar dari ujung pelupuk mataku.

Bego. Udah dihapus malah makin nangis.

Tiba tiba bisa kurasakan uluran tangan Jeonghan kembali menarikku ke dalam pelukannya. Ia membalikkanku dengan cepat dan menenggelamkan kepalaku ke dalam dadanya sembari mengusap rambutku lembut. Aku bahkan tidak sadar air mata semakin membanjiri pipiku.

Akhirnya aku mengerti alasan semua member memilih Jeonghan sebagai hyung ternyaman. Sehangat itulah pelukannya. Pelukan yang tidak pernah ada tatapan penghakiman.

Pelukan yang selalu aku dambakan sejak lama.

Tidak pernah aku duga bahwa tempatku berpulang ada dalam dirinya. Seorang yang jauh dari genggaman tanganku.

Sedih, kesal, kecewa pada diriku sendiri. Semua perasaan itu bercampur aduk. Mengapa aku selalu tidak bisa mempertahankan tembokku saat bersamanya.

Kenapa aku jatuh cinta padamu Han? Pada kamu yang jelas tidak bisa aku miliki.

Unspoken Love || Yoon JeonghanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang