Hadiah yang Diberikan

50 5 0
                                    

Selepas membereskan asrama, keenam remaja itu Pak Tian kumpulkan di ruang depan yang bisa juga disebut ruang tamu. Berdiri berjejer seraya menunggu hadiah yang guru kesiswaan itu janjikan.

"Kalian penasaran, nggak, hadiah dari Bapak?" tanya Pak Tian dengan seringai tampannya.

Julli menjawab lebih dulu. "Jujur, sih. Nggak sama sekali."

Kendati mendapat jawaban sinis dari murid bangornya, Pak Tian tetap memamerkan senyum terbaiknya. Sembari menepuk tangan sekali, dia melangkah keluar sebentar hanya untuk mengambil aquarium mini berbentuk vas yang di dalamnya sudah ada ikan cupang berwarna biru.

"Taraaaa.... Ini hadiah untuk kalian."

Kriikkk...kriikk...

Meskipun Pak Tian sudah berupaya seheboh mungkin memberi kejutan, nyatanya sama sekali tak ada respons yang berarti dari keenam muridnya itu.  Selain Mars yang menautkan kedua alisnya bingung, yang lain hanya diam sembari menduga-duga. Mau diapakan ikan cupang itu?

"Ini ikan cupang kesayangan Bapak. Kalian boleh merawatnya. Namanya Komar."

"Anjiirrr... nama bapak gue!" seru Elang yang setengah tak terima nama bapaknya sama dengan ikan cupang biru milik Pak Tian.

Kontan Choky dan Jaery kompak tertawa. "Nanti bisa diadu sama Bapak lu. Siapa Komar terkuat di muka bumi ini. Hahahaaa...."

"Sialan!" umpat Elang yang berupaya menendang pantat Jaery.

"Bapak harap kamu menyayangi Komar sebagaimana kamu menyayangi Bapak kamu, Lang," ujar Pak Tian serius.

"Kalau kita gagal rawat Komar terus Kimar meninggal. Gimana?" tanya Elang yang sebetulnya tidak serius-serius amat. Tapi siapa sangka jawaban Pak Tian sungguh terdengar sangat horror.

"Nilai kalian taruhannya."

"Lah...lah... Gimana ceritanya cuma perkara rawat ikan cupang, yang kena imbas nilai akademik kita, Pak? Nggak bisa gitu, dong." seru Mars paling heboh. "Nggak masuk akal."

Bersama Julli yang menaikkan satu sudut bibirnya, Pak Tian lalu berujar, "Gimana jadinya hal yang kamu bilang nggak masuk akal itu jadi kenyataan? Penasaran nggak? Kayanya bakal seru kalau seorang Mars Prayoga nantinya nggak lolos SNMPTN."

"Pak!" Mars bahkan kehilangan kosa katanya.

"Kenapa?"

"Tolong jangan mempersulit hidup saya, Pak," keluhnya dengan hela napas dramatis. Banyak hal yang sebetulnya tidak Pak Tian ketahui tentang dia. Mars sudah lelah dengan hidupnya, dan Pak Tian ada hanya untuk menambah beban-beban yang tidak perlu.

"Bapak tidak mempersulit hidup kamu. Kamunya aja yang berlebihan. Merawat ikan cupang mudah, kok. Yang penting perhatikan air dan suhunya. Ganti secara rutin, kasih makan secara teratur. Jangan dibuat setres."

Mars mengusap wajahnya kasar ketika Pak Tian menyerahkan aquarium mini itu pada Julli. "Bapak titip Komar sama kalian, yah? Rawat dia sampai besar."

Elang menghela napas frustrasi. "Gue kira hadiahnya bakal satu unit motor fazzio warna sage, taunya ikan cupang."

Suara kekeh Pak Tian terdengar begitu menyebalkan. Jelas bukan tanpa alasan  dirinya yang memberikan ikan cupang pada mereka. Nyawa ikan cupang itu betulan dipertaruhkan. Pak Tian ingin tahu, bisa sejauh mana rasa tanggung jawab keenam remaja egois itu. Hasilnya bisa dilihat dari tergantung ikan cupang menjalani kehidupannya nanti. Jika ikan cupang itu hidup sehat dan terawat cantik berarti ada komunikasi dan interaksi yang mulai terbangun bagus. Tapu jika ikan cupang itu berakhir mati, itu artinya Pak Tian perlu mencari cara lain untuk keenam siswanya itu sampai bisa saling mengerti.

"Masih ada hal lain yang perlu Bapak bicarakan sama kalian."

Kompak sekali keenam siswa itu meng'hadeuh. Julli lantas menaruh aquarium itu ke atas meja kaca. Gerakannya super hati-hati. Bukan karena khawatir berpengaruh pada nilai akademisnya, sih. Tapi karena dia suka saja pada warna ikan cupang yang terlihat sangat jantan. Pertama kali lihat saja, Julli langsung kepikiran untuk nanti si Komar akan diadukan dengan ikan cupang milik bocil-bocil tetangga rumahnya.

Perhatian Julli kemudian teralih pada Pak Tian yang kini mengeluarkan dompet-dompet milik mereka.

"Uang kalian Bapak sita."

"Astaga!" kali ini Choky yang paling frustrasi.

Pak Tian tersenyum miring lagi. Di dompet siswa paling tajir melintirnya itu ada uang tunai lima juta rupiah. Nominal paling banyak di antara teman-teman lainnya.

"Kamu simpan uang sampai lima juta itu buat apa?"

"Uang, uang saya, Pak. Yang penting bukan hasil nyolong."

"Uang Bapak lo, kali. Bukan duit lo," dengkus Jaery.

"Diem lo!"

Ekheem.

Pak Tian berdehem keras. "Aturan memperpendek tali masih berlaku, yah."

Keduanya lantas terdiam. Daripada terus ribut, mereka memilih mendengarkan perkataan Pak Tian yang sebetulnya sangat malas untuk didengarkan.

"Untuk satu minggu ke depan..." Lelaki berusia tiga puluhan itu merogoh saku celananya hanya untuk mengeluarkan lima lembar uang warna merah yang kemudian diserahkan pada Mars.

"Apa ini Pak?" Mars jelas kebingungan.

"Lima ratus ribu itu untuk memenuhi kebutuhan satu minggu kalian."

"Apa? Cuma lima ratus ribu? Untuk berenam? Jelas kurang, lah, Pak," protes Choky paling keras. Itu mah jatah uang saku aku sehari aja masih kurang.

"Itu artinya mulai saat ini kamu harus belajar hemat."

Ingin sekali saat ini juga Choky menangis sambil teriak 'Mamaaa'. Sungguh, dia sepertinya tidak akan sanggup menjalani hidup sampai hari esok.

"Pak, anak mama mau nangis, nih," ledek Jaery yang menyadari wajah Choky yang sudah merah.

Elang dan Senja yang penasaran, kompak menoleh. Keduanya lantas tertawa melihat Choky yang hampir menangis.

Agaknya dalam hal keuangan, yang merasa terbebani hanyalah Choky. Yang lain tidak masalah. Atau lebih tepatnya belum mempermasalahkan.

"Ok. Karena hari udah hampir sore. Bapak pamit pulang dulu. Jangan macam-macam, CCTV di sini merekam dengan sangat baik. Segala aturan masih berlaku walaupun Bapak nggak ada di sini."

Keenam remaja itu mengangguk patuh selayaknya mengerti sungguhan. Padahal dalam hati mereka hanya menginginkan Pak Tian cepat pergi saja.

-tbc








Cerita Dari Kita |NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang