Dan berakhirlah mereka di sini. Di ruang konseling, berdiri berjejer di depan meja Pak Tian dengan kepala tertunduk —terkecuali Julli. Bocah bangor satu itu bahkan sama sekali tak gentar meski Pak Tian sudah mengeluarkan ekspresi paling sangar. Seakan-akan dua kotak bungkus rokok bukan menjadi momok menakutkan kalau-kalau dia akan mendapat skors lagi.
"Bisa, kamu jelaskan, apa yang membuat kamu dan Julli berantem pagi-pagi di ruang loker?" Pak Tian membetulkan letak kacamatanya yang sedikit menurun sebelum mengetuk-ngetuk kepala Mars dengan pena.
Tanpa banyak berkata-kata, Mars merogoh kantong celana abu-abunya dan mengeluarkan dua bungkus rokok djarum super dari sana.
"Buset, rokoknya djarum super." Itu suara Jaery yang reflek menginterupsi. Dua bola matanya melotot sempurna. Takjub dengan merek rokok yang mampu Julli beli. Namun, dia buru-buru menutup mulutnya ketika menyadari empat pasang mata melirik sinis secara bersamaan.
"Itu punya Julli, Pak. Dia nggak terima waktu saya ambil rokoknya." Pengaduan Mars yang praktis membuat satu sudut bibir Julli terangkat. Merasa geli pada tingkah murid teladan kesayangan para guru ini.
"Julli, apa benar rokok ini punya kamu?"
"Iya," jawabnya enteng. Tanpa perlu repot-repot mencari alasan untuk mengelak. Toh, Julli yakin, tanpa adanya pertanyaan tersebut, Pak Tian jelas sudah tahu kalau rokok itu tentu miliknya.
Pak Tian menghela napas panjang. "Kami, para guru-guru benar-benar sudah dibuat kewalahan dengan tingkah kamu, Julli. Mungkin kamu bisa saja didrop out kalau nggak pernah terlibat buat bawa pulang piala-piala itu," kata Pak Tian sembari mengedikkan dagunya pada salah satu piala yang ditaruh di dalam lemari khusus menyimpan banyak penghargaan. Piala yang paling menjulang tinggi itu adalah piala kemenangan turnamen futsal tingkat nasional tahun lalu.
"Padahal, mah, kalo mau di-DO juga nggak apa-apa." Jawaban ringan Julli yang kemudian mendapat resposn berbeda dari tiga orang di sampingnya.
Kalau Mars yang melirik tajam dengan rahang terkatup rapat, Senja justru mendengkus geli, dari responsnya itu jelas sekali meledek. Nah, beda lagi dengan Jaery yang reflek menukas,
"Sinting! Mau jadi apa lo kalo nggak sekolah? Mau jadi boneka mampang di lampu merah?" sewotnya tak terkendali. Belum selesai, Jaery kemudian berdecak lalu melanjutkan dumelannya yang tertunda. "Manusia pemikiran sempit kaya lo ini, nih, yang nambah-nambah beban pemerintah. Masih mending gue walaupun nggak pinter-pinter amat, yang penting masih punya semangat buat menjemput cita-cita gue kelak."
Kalimat panjang Jaery itu lumayan menarik perhatian Pak Tian. Mungkin saja bisa membuat Julli lebih terinspirasi. "Nah, kamu bisa contoh teman kamu ini," ujarnya pada Julli. Sebelum ballpoin di tangan Pak Tian mengetuk kepala Jaery. "Jadi, apa cita-cita kamu di masa depan?"
Ditanyai seserius itu oleh Pak Tian, Jaery malah mengsem-mengsem. "Jadi imam yang adil dari tiga istri, Pak."
Sebuah jawaban kelewat amazing Jaery sontak membuat Pak Tian gelang-gelang kepala tak habis pikir. Dia mendadak menjadi orang paling konyol karena berharap akan ada sepenggal kalimat penuh makna dari mulut si playboy Cakrawala.
"Lama-lama Bapak pusing ngurusin kalian."
"Saya lebih pusing, Pak. Saya nggak punya salah apa-apa. Tau-tau ikut diseret ke ruang konseling." Nah, kali ini giliran Senja yang bicara. Cowok dengan tampang manis namun anti sosial itu tengah menyuarakan keberatannya karena tiba-tiba saja terbawa-bawa ke ruang konseling atas kesalahan orang lain yang sama sekali dia tak terlibat.
"Kata siapa kamu nggak bersalah?" Pak Tian yang tadi sempat melunak sesaat, kini kembali berbicara lugas. Sepasang bola matanya tegas melihat ke arah Senja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Dari Kita |NCT Dream
Fanfic[Follow dulu sebelum baca] Ketika keenam siswa dengan karakter berbeda dipersatukan dalam sebuah asrama. Mars tidak pernah menduga sebelumnya. Beban hidupnya sudah sangat berat. Dan kini Pak Tian selaku guru kesiswaannya menambah beban hidup itu. B...