"Dari mana aja kamu?" Adalah kata sambutan dari Mama untuk Senja yang baru saja pulang.
Daripada menjawab, Senja memilih melepas sepatunya, menaruh pada tempatnya lalu mengeloyor begitu saja hendak masuk kamar. Mengabaikan Mama yang sudah siap meledak karena Senja pulang terlambat.
"Senja. Mama sedang bicara sama kamu!"
Di ambang pintu kamar, Senja berhenti hanya untuk menoleh, menatap Mama yang sudah berada di titik marah. Selalu seperti ini. Nggak harus bersikap nakal hanya untuk membuat Mama emosi.
"Senja tadi habis anterin teman yang kecelakaan, Ma."
"Bohong!" tukas Mama cepat. Tak menerima alasan apapun.
Di antara hatinya yang merasa kebas, Senja mendengkus geli. Menertawai hidupnya yang serba salah. Dijawab, malah dikira bohong. Kalau tidak menjawab, pasti ia akan diteriaki tidak sopan. Lantas, Senja harus bagaimana?
"Terserah Mama mau percaya atau nggak. Senja capek. Mau mandi dulu." Setelah itu remaja tujuh belas tahun itu menenggelamkan dirinya di balik pintu kamar. Menekan segala emosi yang tidak bisa diluapkan. Senja tidak pernah bohong saat dirinya berkata lelah. Satu kata yang tidak pernah dipedulikan itu yang kerap kali membuat Senja ingin menjadi debu di jalanan. Terbang bebas ke manapun sampai akhirnya menghilang tanpa jejak.
Senja lelah tidak dipedulikan. Senja lelah terus disalahkan.
***
Jam 24.00 Senja terjaga lantaran merasa haus. Setelah pulang sekolah tadi, dia tidak lagi keluar kamar dan memilih melewatkan jam makan malam. Mengucek kedua matanya yang terasa sangat berat, kedua kakinya turun dari ranjang.Langkahnya yang gontai kemudian berhenti tepat di depan kamar dengan tulisan Jillo room di pintunya. Alih-alih brrjalan menuju dapur, Senja justru meraih gagang pintu kamar Jillo lalu mendorongnya perlahan.
Tidak terlalu gelap karena ada lampu kemuning di atas nakas yang dibiarkan menyala. Senja melangkah mendekekati sesosok manusia yang tengah terlelap meringkuk di atas single size.
Duduk menyila hanya untuk menatapi Jillo lama-lama. Senja membelai surai hitamnya yang terlihat sudah memanjang. Lalu sekonyong-konyong Senja menaruh jari telunjuk itu membentang di dekat lubang hidung Jillo. Semata-mata memastikan bahwa adiknya itu masih bernapas.
"Janji sama Abang kalo Adek akan terus hidup." Pipi pucat itu dibelai lembut lalu dikecup.
Gagal jantung akut. Vonis dokter ketika usia Jillo masih tujuh tahun. Mama menangis tersedu-sedu waktu itu dalam pelukan Papa, sementara Senja tidak tahu itu sejenis penyakit apa. Yang Senja tahu lebih parah dari ketika kita berdarah jatuh dari sepeda.
Semenjak saat itu kehidupan Senja seolah berubah. Dia tidak bisa lagi bermain lari-larian dengan Jillo. Kata Mama, Jillo tidak boleh capek. Dan semenjak saat itu, Senja menjadi orang yang paling sering disalahkan atas kondisi Jillo. Lebih buruknya lagi ketika Mama dan Papa memperlakukannya seakan dia tidak berarti.
Terkadang Senja kesal dan marah. Tapi rasa itu tidak sebanding dengan rasa takut kehilangan. Barangkali selama ini yang Jillo tahu Senja membencinya. Jillo tidak pernah tahu bahwa sesungguhnya Senja tidak pernah sanggup ketika melihat benda-benda medis yang tertempel pada tubuh Jillo di setiap kali penyakit itu datang menyerang seperti monster. Senja tidak pernah sanggup ketika mendengar vonis buruk dokter. Senja tidak pernah sanggup setiap kali menatap Jillo dengan kulit memucat. Senja tidak akan pernah sanggup jika harus...
Kehilangan.
Jika bagi Jillo, Senja adalah segalanya. Maka bagi Senja, Jillo adalah dunianya. Hanya saja Senja tak pernah mengatakannya dan bersikap seolah-olah sebaliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Dari Kita |NCT Dream
Hayran Kurgu[Follow dulu sebelum baca] Ketika keenam siswa dengan karakter berbeda dipersatukan dalam sebuah asrama. Mars tidak pernah menduga sebelumnya. Beban hidupnya sudah sangat berat. Dan kini Pak Tian selaku guru kesiswaannya menambah beban hidup itu. B...