Senin Pagi

46 5 0
                                    

Dalam satu kamar, terdapat dua ranjang bertingkat. Sesuai ketentuan yg sudah diberlakukan, Mars tidur di ranjang atas, sedangkan Julli tidur di ranjang bawah. Begitu pula Senja dan Elang. Mereka berempat berada di satu kamar yang sama. Sementara Jaery dan Choky berada di kamar lain.

Julli menjadi satu-satunya orang yang merasa terganggu ketika suara alarm jam setengah lima pagi dari ponsel Mars, Elang dan Senja saling bersahut-sahutan. Dengan mata yang masih teramat sangat berat, dia berdecak kesal lalu menarik bantal hanya untuk menenggelamkan kepala.

Sementara itu Elang mengetuk ponselnya agar alarm kembali berdering lima menit lagi. Biasanya memang seperti itu sampai dia benar-benar terbangun di jam lima kurang lima belas menit. Lain halnya dengan Mars dan Senja yang langsung terbangun.

Dua lelaki dengan pemikiran paling dewasa dari keempat teman lainnya itu tidak perlu berdebat hanya untuk rebutan kamar mandi. Senja mempersilakan Mars lebih dulu dan dia memilih menggoyangkan badan Julli.

"Bangun, Jul. Udah pagi."

Kedua kalinya Julli berdecak. "Masih pagi banget. Gue biasa bangun jam enam."

Senja menarik bantal yang menutupi wajah Julli. "Pantes aja lo sering kesiangan berangkat sekolah."

Dengan suara berat efek bangun tidur, Julli menjawab. "Terlambat paling juga hukumannya dijemur. Udah biasa gue."

Dipukulkannya bantal di tangan Senja pada wajah Julli yang susah sekali dibangunkan. "Kebiasaan buruk, tuh, jangan dibiasain. Mulai hari ini lo harus disiplin. Lagian lo bukan ikan asin, kenapa suka banget dijemur. Ayo bangun. Nggak langsung mandi juga nggak apa-apa. Ambil wudhu aja, kita sholat berjamaah."

"Sholat lagi? Semalem, kan, gue udah sholat," gerutu Julli. Anak itu mengubah posisi tidurnya berguling ke samping memunggungi Senja. Tidak mau ambil peduli pada temannya itu yang sudah melotot tidak habis pikir.

"Astagfirullahal'adziim. Emang lo sholat berapa kali sehari? Semalem itu sholat isya, sekarang sholat subuh."

"Gue nggak pernah sholat," pungkas Julli terdengar bergumam.

"Astagfirullah. Tobat lo Julli sebelum terlambat."

Mendengar suara Senja yang teramat berisik, Elang terusik juga. Dia terduduk seraya mengucek kedua matanya. Perhatiannya langsung jatuh pada Senja yang masih belum menyerah hanya untuk membangunkan Julli.

Setelah merenggangkan otot-ototnya yang kaku, dia turun dari ranjang, lalu keluar kamar. Daripada ikut bersusah payah membantu Senja, Elang lebih berminat pergi ke kamar sebelah hanya untuk mendapato dua manusia yang masih terdamai dalam tidurnya.

"Jaery bangun. Udah pagi."

Merasakan tepukan di pantatnya, Jaery menggeliat sebentar sebelum berguling memeluk bantal. "Nanti. Lima menit lagi," jawabnya parau.

Tidak kehabisan akal. Elang justru menunduk hanya untuk mendekatkan mulutnya tepat di atas telinga Jaery, lalu berbisik, "Manrobbuka?"

Seketika kedua mata itu terbuka sempurna. Jaery lantas terduduk dengan raut wajah paling terkejut ketika Elang justru tergelak puas.

"Kampret lo!" umpatnya kemudian. Hidup Jaery memang tidak pernah bahagia. Tapi bukan berarti dia tidak takut mati. Cita-citanya masih banyak, amalnya juga masih terlalu sedikit. Dan untuk mati, Jaery merasa belum siap.

"Hahaaaa... Bangun lo. Kita sholat subuh sekarang. Bangunin juga temen lo." Elang menjenggut kepala Jaery sebelum melangkah pergi meninggalkan kamar itu.

Sementara Choky, setelah semalam dia bisa tertidur di jam satu dini hari, subuh sekali sudah terbangun, terusik kedatangan Elang. Dalam sepanjang sejarah hidupnya, Demi Tuhan kasur yang dia tiduri saat ini adalah tempat yang paling tidak layak. Selain keras, dia juga sangat tidak nyaman pada setiap suara derit ketika dia bergerak merubah posisi. Takut-takut ranjang bertingkat itu tiba-tiba runtuh dan membuatnya cedera.

Setelah menggaruk kepalanya, Choky mengikuti langkah Jaery keluar kamar. Ternyata Mars, Senja dan Julli sudah lengkap dengan sarung, siap sholat subuh.

"Jaery, lo jadi imam," tunjuk Mars tiba-tiba hanya untuk mendapat respons planga-plongo Jaery.

"Gue? Nggak, deh. Nggak hapal doa qunut. Elang aja, lah." Sebagai tim shalat subuh jam setengah enam pagi, dia merasa kurang percaya diri untuk menjadi imam. Kecuali menjadi imam dari tiga istri di masa depan.

Si pemilik nama baru saja keluar dari kamar mandi, selepas berwudhu. Mengelap wajahnya yang basah dengan handuk. "Senja aja," tunjuknya.

"Nggak. Mars aja."

Choky menjadi orang yang berdecak. "Biar gue aja."

Yang lantas mendapat respons tatapan tak percaya dari mereka.

"Kenapa kalian liatin gue kaya gitu?"

Jaery mengernyit. "Sok-sokan pengen jadi imam, paling juga hafal surat pendek tiga qul doang. Jangan lo, lah. Gue khawatir kalo dipimpin lo, yang ada jalan menuju kesesatan." Sebab bagi Jaery, biasanya manusia-manusia yang merasa punya segalanya itu, jauh dari kata taat untuk beribadah.

"Huussshh... nggak boleh gitu. Kita nggak pernah tau kedudukan setiap hamba di mata Tuhannya. Jangan gampang menilai orang. Toh, belom tentu juga lo lebih baik dari dia." Itu suara Mars yang menasehati.

"Ayo buru ambil wudhu. Keburu siang." Senja menimpali.

Jaery berjalan lebih dulu, diikuti Choky di belakangnya. Sampai di sepuluh menit kemudian, jajaran sajadah sudah siap. Senja maju dua langkah hanya untuk mengumandangkan iqomah. Selepas itu, Choky mulai memipin shalat.

"Allahuakbar."

Di hari senin pagi itu, suasana asrama yang biasanya mati tanpa adanya penghuni, sedikit menghangat oleh keenam anak lelaki yang tanpa mereka sadari tengah mencari sebuah arti dari tempat pulang.

Tanpa mereka minati, batu pertama sudah mereka letakkan. Untuk menjadi definisi rumah mungkin masih terlalu jauh. Tapi yang terpenting adalah pagi itu dari masing-masing diri mereka mau menekan ego, tidak lagi meributkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu.

Begitu juga saat hendak membuat nasi goreng untuk sarapan. Elang mendadak menjadi chef dengan bahan-bahan seadanya. Julli baru saja kembali dari warung setelah disuruh membeli bawang merah dan masako.

"Emang enak nasi goreng tanpa kecap?" Senja bertanya pada chef.

Daripada menjawab, Elang justru menyerahkan bawang merah untuk Senja kupasi. Sedangkan Jaery bagian mengiris tipis-tipis. Diam-diam, Choky yang berdiri di belakang Jaery, sudah berderai air mata, pedih efek dari bawang merah.

Merasa keheran, Jaery menoleh dengan sepasang matanya yang melirik. "Lo liatin gue ngiris bawang, jangan sambil bayangin saat-saat Bintang putusin lo."

Kontan semua mata tertuju pada Choky.

"Apaan sih, lo? Siapa juga yang sambil bayangin Bintang."

Mars menjadi orang yang pertama mendengkus geli. Seraya mencuci piring di wastafel, dia berujar, "Makanya jangan terlalu bucin sama cewek. Ujung-ujungnya putus juga."

Dibalas oleh sepasang mata Choky yang memutar sinis. "Gue cuma berusaha memperlakukan perempuan yang gue sayang dengan baik. Gue bukan cowok berhati dingin kaya lo. Yang nggak tau diri cuma karena merasa dicintai. Kalo emang sejak awal lo nggak cinta, lepasin. Jangan bikin cewek ngejar-ngejar kaya nggak punya harga diri," sindirnya.

"Gue nggak minta buat dicintai. Dianya aja yang terlalu bersikukuh jatuh cinta sama gue."

"Tapi kalo lo lebih keras berusaha buat menolak, mungkin Starla bisa lebih sadar diri. Bilangnya nggak cinta, tapi nggak pernah lepasin cincin yang melingkar di jari lo." Lirikan mata Choky jatuh pada jemari manis Mars yang terdapat cincin putih polos melingkar di sana.

"Bukan nggak cinta. Emang gengsi aja, sih." Suara Jaery menyahut.

Sukses membuat Mars tak bisa berkata-kata lagi. Todak mengiyakan, tidak mengelak. Sebab sampai saat ini pun, dia masih kebingungan dengan perasaan yang dia punya pada Starla.

-tbc
Bantu follow, vote dan komen yah. 😚












Cerita Dari Kita |NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang