Hanya dengan begitu, Jaery terdiam cukup lama. Rumor tersebut memang santer dibicarakan. Tapi untuk percaya atau tidak, dia tidak tahu. Yang jelas kini Jaery lebih tertarik pada pertanyaan Starla tentang rumah. Tentang tempat pulang.
Ternyata Jaery bukan satu-satunya remaja yang seakan-akan kehilangan kehangatan dari dekap keluarga. Sebab, sama seperti Starla. Dia juga punya rumah tapi tidak merasa pulang.
"Star," panggil Jaery. Kontan membuat Starla menoleh dengan ukiran senyum tipis.
"Starla. Bukan Star. Gue nggak seindah bintang," kekehnya.
Menangkap umpan candaan yang dilemparkan gadis itu, Jaery terkekeh. "Ok, Starla," ulang Jaery. "Jujur sih gue nggak terlalu peduli tentang rumor itu. Dan gue kira lo juga nggak peduli. Tapi kayanya gue salah, ternyata lo seterpengaruh ini."
Starla terkekeh paksa. Sepasang irisnya bergulir, menatap kolam ikan yang sudah keruh. "Gue awalnya juga gitu. Satu kali, dua kali mungkin nggak akan gue dengar. Tapi jika terus-terusan, sulit bagi gue untuk nggak memikirkan. Apalagi perlakuan orang-orang terdekat gue yang seperti memperkuat apa yang diucapkan Lestari itu memang fakta. Lo pikir kenapa Mars nggak pernah memperlakukan gue dengan baik?"
"Karena nggak suka lo?"
Starla mengangguk mengiyakam seraya mendengkus geli. "Iya. Dan alasan lainnya mungkin dia nggak mau sama perempuan yang identitas orangtuanya nggak jelas."
Tak banyak yang bisa Jaery ucapkan. Mulut manis yang kerap menyihir para hati wanita itu pun mendadak bungkam. Dia juga tidak tahu kenapa harus seterpengaruh itu atas ucapan Starla yang notabene-nya bukan urusannya. Hanya saja jika berbicara tentang keluarga, tentang tempat pulang, Jaery selalu dibuat membisu. Tanpa sadar tatapannya pada kolam ikan pun ikut menghampa, seolah-olah menyatu dengan apa yang sedang Starla rasakan.
Tak lama sunyi yang ada itu terusik oleh suara isak Starla. Jaery menoleh hanya untuk menemukan gadia itu tengah berupaya menahan sesenggukan.
"Kalo mau nangis, nggak apa-apa. Sini bersandar di pundak gue."
Dalam menahan tangisnya itu, Starla menggeleng. "Nggak. Gue masih setia sama Mars."
Lelaki itu mendengkus geli. "Gue cuma nyuruh lo bersandar doang, bukan ngajak selingkuh. Lagian sebegitunya menjaga hati Mars, kaya dihargai aja.
Starla melirik dengan bibir yang mencebik. "Jahat mulut lo," lirihnya.
Jaery terkekeh. Tanpa banyak bicara lagi, dia bawa kepala perempuan itu untuk bersandar di pundaknya. Ini hanya bentuk empati dari kesungguhan hati, tapi kalau Starla baper, ya Jaery sikat juga. Mana mungkin menyia-nyiakan cewek secantik Starla. Lumayanlah, nambah koleksi cewek.
Di sisa jam istirahat itu, Starla membiarkan jika dirinya kini bersandar pada lelaki yang dianggapnya asing. Entah salah atau tidak, tapi yang jelas dia sedang benar-benar merasa rapuh.
Di sisi lain, kala sepasang manusia sedang berupaya menenangkan diri dari peliknya isi kepala, ada Elang yang terus saja menyeret Mars sampai di depan perpustakaan. Bukan untuk mengajaknya belajar bersama, melainkan,
"Ayo, kita cari jentik nyamuk. Lumayan buat stok makan si Komar. Menghemat duit. Nggak mungkin kan kita ngalah nggak makan cuma karena seekor ikan cupang?"
"Tapi kenapa lo malah nyeret gue, sih?" Mars menghentak tangannya yang digenggam Elang. Melotot kesal pada lelaki yang membawa jaring ikan entah dapat dari mana.
"Karena kebetulan lo yang gue temukan. Ayo, buruan."
Hanya saja saat Elang kembali menarik tangan Mars yang pasrah, berjalan menuju kolam ikan di samping perpustakaan, mereka justru disuguhkan sepasang manusia yang sedang bermesraan.
"Eh, itu cewek lo bukan?" Walaupun dari belakang, Elang masih bisa dengan jelas mengenali Starla karena gayanya yang nyentrik. "Sama siapa?" Sepasang irisnya memicing, menajamkan pandangannya lekat-lekat.
Namun belum dapat Elang menebak, Mars lebih dulu berbalik dan memilih pergi dari sana. Kali ini Elang tak menahannya, sebab dia lebih tertarik dengan siapa cowok yang membersamai Starla.
Hingga di detik ke sepuluh, saat si cowok itu sedikit menoleh ke samping, dia dibuat terkesiap, lalu menepuk dahinya dramatis. Bak seorang cenayang yang bisa meramal masa depan, Elang yakin pasti akan terjadi perang dunia ke sekian di asrama nanti.
"Celaka dua belas ini, mah," gumamnya, menumpu gagang jaring ikan di pundak seraya berbalik pergi. Elang memilih menunda mencari jentik nyamuk untuk pangan si Komar.
****
Jam dua siang, saat keenamnya baru saja mengganti seragam putih abu-abunya dengan baju rumahan, Elang sudah dipusingkan dengan mengatur menu makan siang."Dua telor didadar dan dibagi enam, cukup yah?"
"Telor dadar dibagi enam?!" Si anak mami kontan membeo. "Setelah sarapan nasi goreng keasunan, siang ini gue dikasih telor dadar? Lo mau bunuh gue apa gimana?"
Enteng sekali Jaery menggeplak kepala Choky. "Nggak ada manusia yang mati cuma karena makan telor."
"Anjir!" Tak terima kepalanya yang ditoyor, Choky lantas membalas. Hanya saja Jaery lebih cepat berkelit.
"Eits... nggak kena." Saat hendak melompati sofa, dia malah tak sengaja menyepak kepala Mars yang duduk di bawar sambil bersandar ke bibir sofa.
Sesampainya di asrama, Mars sudah menahan kesal saat melihat wajah Jaery. Ingin sekali mencabik-cabik, tapi dia tahan karena enggan membuat keributan. Dan kini, si cowok sialan itu malah menendang kepalanya. Walaupun tak sengaja, tetap saja Mars mengartikan Jaery tengah mengibarkan bendera perang.
"Brengsek!"
Mendengar teriakan Mars selayaknya vocalis rock and roll, kelima remaja itu dibuat berjengit.
Sepasang mata Jaery berkedip kaget. "Sorry gue nggak sengaja." Dia tak menyangka jika tendangannya membuat Mars semurka itu.
"Mars, tahan emosi lo." Terlambat, Senja yang hendak menahan dada Mars dengan telapak tangannya. Sebab lelaki itu tanpa diduga-duga dengan cepat menyerang, menerjang Jaery hingga terjungkal.
Lelaki yang kini tengah terkurung oleh tindihannya tak diberi kesempatan untuk terkesiap karena secepat kilat, rahang kirinya sudah dihadiahi tinjuan.
"Argghh.." Jaery mengerang. Dia yang dalam posisi tak siap, kesulitan menyerang balik. Bahkan untuk sekadar melindungi dari pukulan Mars saja, tak bisa.
"Mars, cukup Mars, cukup!" Senja berupaya menarik si ketua osis untuk menyingkir dari atas tubuh Jaery yang tak berdaya.
Tapi gelap mata, Mars terus menghantami sampai kepalan tangannya juga merasakan sakit.
"Woy, stop!"
Julli dan Elang yang turut serta membantu Senja akhirny berhasil menarik Mars menjauh.
Jaery sudah teramat berantakan saat berdesis nyeri. Sudut bibir kirinya lebam dan berdarah, kerah kausnya sedikit robek. Dia teruduk seraya menyeka darah di bibirnya. "Lo udah gila yah, Mars? Kesurupan penghuni sekolah atau gimana?" Tahu jika dia balas menyerang, tak akan menyelesaikan masalah dan justru berpotensi membuat wajah gantengnya semakin bonyok, jadi dia memilih meredam kekesalannya itu.
Tapi alih-alih surut, Mars masih terus berteriak. "Lo yang gila!"
Choky sampai terperanjat dan mengurut dada. Kemarahan Mars itu sungguh berlebihan. Padahal sepakan tak sengaja Jaery tak sekeras lelaki itu ketika menoyornya tadi. Tapi Choky tak sampai semurka Mars.
"Lo kenapa, sih?"
-tbc
Masih nggak mau komen, ya udah nggak apa-apa.
Jika berkenan, baca juga cerita aku yang berjudul Luka, Cita, Cinta.
Terima kasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Dari Kita |NCT Dream
Fanfic[Follow dulu sebelum baca] Ketika keenam siswa dengan karakter berbeda dipersatukan dalam sebuah asrama. Mars tidak pernah menduga sebelumnya. Beban hidupnya sudah sangat berat. Dan kini Pak Tian selaku guru kesiswaannya menambah beban hidup itu. B...