Mars Starla

43 5 0
                                    

Ketika sepasang iris Starla sudah berkaca-kaca, samar-samar suara Elang menginterupsi,

"Konflik bahtera rumah tangga dimulai."

Yang kemudian langsung mengaduh setelah mendapat sikutan agak keras di perutnya oleh Senja. Merasa tidak sepatutnya ikut campur, Senja baru saja akan memberi isyarat pada yang lain untuk memberi ruang Mars dan Starla. Tapi, suara si perempuan sudah lebih dulu meninggi.

"Pinta aku sebetulnya nggak banyak. Aku juga nggak akan sampai datang ke sini kalo kamu nggak mengabaikan WA  aku, angkat telpon aku."

"Gue sibuk, Starla. Banyak hal penting yang perlu gue urus daripad aharus ladenin lo."

Pundak kecil Starla seakan-akan merosot, kecewa pada setiap respons yang Mars berikan. "Selalu begitu," gumam Starla. Sebetulnya sejak awal dia sadar jika perasaannya pada Mars sudah tertolak. Dia saja yang terlalu keras kepala dan memaksakan semua sesuai kehendaknya. "Bahkan kangen aku nggak pernah kamu sambut."

Starla membenarkan tas punggungnya yang sedikit merosot. "Ok, gue pulang," katanya nyaris saja berbalik. Hanya saja Mars dengan cepat menahan.

"Gue anter lo balik."

"Nggak perlu. Aku bisa balik pake gojek."

"Nggak usah ngeyel. Gue anterin lo balik." Tanpa menerima penolakan, Mars menarik tangan Starla. Memaksa gadis itu mengikuti langkahnya.

"Eh, ngomong-ngomong kalian udah denger belom?" Suara Elang menyela ketika beberapa pasang mata masih memperhatikan kedua punggung yang kemudian hilang di balik pintu itu.

Jaery lebih dulu merespons. "Denger apa?"

Ekspresi Elang sudah sangat antusias memberikan informasi yang dia punya.  Fortal ghibah pun dibuka. "Katanya, Starla itu anak pungut. Dan kedua orangtuanya yang jodohin dia sama Mars itu bukan orangtua kandung. Pantes aja Mars nggak mau sama dia. Orangtuanya aja nggak jelas."

"Huuss... lo jangan ngomong sembarangan. Nanti Starla denger, yang ada sakit hati."

"Gue nggak mengada-ada. Sumber informasi yang gue dapetin jelas. Datengnya langsung dari orang dalem."

"Siapa?" tanya Jaery yang mulai penasaran.

"Lestari," jawab Elang.

"Lestari yang mana? Sepupu sekaligus rival Starla dalam memperebutkan cinta Mars?" tanya Jaery lagi.

Elang menjentikan jarinya heboh. "Betul."

"Sebenernya gue juga udah denger sih, gosip ini. Tapi gue nggak percaya. Masa iya Starla anak pungut." Kali ini Choky turut serta dalam obrolan. Sedangkan Senja dan Jully hanya diam menyimak, cederung planga-plongo karena sama sekali tidak tahu menahu tentang gosip yang ada.

"Lestari yang mana, sih?" Bahkan Julli masih kebingungan dengan nama yang disebutkan Elang itu.

Jaery berdecak sebal. "Udah, deh. Lo nggak bakal tau."

Karena tidak mendapat respons yang memuaskan, Julli menyenggol Senja lalu berbisik, "Lestari yang mana, sih?"

Tapi agaknya yang ditanya, tak kalah bingung. Senja mengedik. "Gue juga nggak tau. Pokonya sepupu Starla."

***
Di sepanjang jalan, keduanya sama-sama menutup mulut, enggan memulai obrolan. Starla yang biasanya cerewet, kali ini tidak mau kalah melawan ego Mars. Sampai motor yang lelaki itu kendarai menepi di depan rumah megah dua lantai.

Starla turun dari motor Mars. "Makasih," ucapnya seraya mengeratkan genggamannya pada tali tas punggungnya.

Mars mengangguk. "Lo masuk sekarang," perintahnya. Dia harus memastikan sampai Starla betulan masuk ke dalam rumah.

"Nanti gue masuk. Lo boleh pergi sekarang."

"Starla." Mars menghela napas panjang ketika mendapati si perempuan malah menunduk. Tidak lama pundak kecilnya bergetar. Starla menangis.

Yang Mars tahu, Starla memang kerap mengeluhkan sikap Mamanya yang selalu ketus tanpa tahu apa penyebabnya. Starla sering dimarahi hanya karena hal-hal sepele, keberadaannya juga lebih sering diabaikan. Sementara Papanya yang berprofesi sebagai Pilot sangat jarang pulang. Alasan yang membuat Starla sering menginap di rumah Mars.

"Star—"

Starla buru-buru mengusap kedua matanya kasar. "Kalo gitu aku masuk dulu," katanya, memutus kalimat Mars yang belum sepenuhnya tuntas.

Dari celah pagar yang ada, alih-alih lewat pintu depan, Mars dapat melihat Starla berlari ke arah samping rumahnya. Hanya dengan begitu, dia kembali dibuat tak habis pikir. Bukan sekali atau dua kali dia dapati Starla kabur dari rumah dan turun dari kamarnya yang berada di lantai dua menggunakan tangga lipat.

Sudah Mars peringatkan juga rasanya percuma. Perempuan itu lebih dari sekadar keras kepala.

Karena waktu sudah semakin larut, Mars memutuskan untuk cepat kembali ke asrama. Sebab, bisa bahaya jika sampai Pak Tian tahu dia pergi tanpa meminta izinnya.

Begitu motor Mars memutar balik dan meninggalkan kediaman Starla, ada hal yang tidak pernah dia ketahui yaitu tubuh gadis yang hanya bisa bersandar di dinding dan menangis, mengadu pada sepi.

Di sana, di dalam kamar dengan nuansa serba pink, Starla tersedu-sedu. Terduduk seraya memeluk kedua lutut.  Sebelum menyelinap ke asrama Mars dan kelima temannya, Starla memang tengah bertengkar dengan Mama hanya karena perkara dia yang meminta Mama menemaninya ke Toko Buku. Starla hanya meminta waktu sebentar saja. Tapi kenapa selalu tertolak.

Sama halnya pada Mars. Kehadirannya juga selalu tidak pernah lelaki itu harapkan. Setiap keluh dan kesah selalu berakhir terabaikan. Padahal Starla yakin jika perjodohan ini juga hanya akan berakhir kandas. Sebab tidak ada yang bisa dipertahankan jika cinta datangnya hanya sepihak. Tidak apa-apa. Untuk saat ini Starla hanya sedang ingin mencintai Mars dengan cara egois. Sebelum nanti dia yang akan melepaskan dengan cara paling ikhlas. Starla juga sedang berusaha menerima dirinya yang tidak pernah dianggap berharga oleh siapapun. Tidak pernah menerima cinta dari manapun.

Alasan itu yang kerap membuat dia overthinking di setiap malamnya. Sebetulnya di mana letak salahnya sehingga dia yang dianggap begitu menyebalkan?

Padahal sejauh ini dia selalu berusaha menjadi yang terbaik, menjadi pribadi yang menyenangkan. Tapi kenapa semua yang Starla lakukan terkesan selalu salah?

Lantas, apakah salah dia yang terkadang menerka-nerka jika ucapan Lestari tentang dia yang ternyata anak pungut itu benar adanya?

Maka dari itu kenapa kehadirannya tidak pernah Mama hargai. Jangan-jangan Starla memang bukan anak yang lahir dari rahim Mama?

Sibuk bermonolog di dalam kepala, membuat Starla menjadi semakin terisak. Ingin sekali dia pertanyakan hal tersebut pada Mama dan Papa. Hanya saja ketakutannya terlalu tinggi. Dia takut jika pertanyaan itu akan melukai Mama. Dan bagian paling menakutkannya lagi adalah jika jawaban yang tak sesuai dengan harapan Starla betulan menjadi nyata.

-tbc
Bantu follow, vote dan komen yah. Terima kasih.

Cerita Dari Kita |NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang