Anak Pungut?

116 6 0
                                    

Percuma Starla yang berteriak selayaknya Panglima tempur. Menyuruh Julli dan Karin cepat melarikan diri, tapi akhirnya tertangkap juga.

Kini, di sinilah mereka bertiga berada. Dijemur di tengah lapangan terik menghadap tiang bendera. Konsekuensi hukuman yang diterima karena sudah berani bolos upacara.

Julli mungkin memang sudah terbiasa. Tapi Karin dan Starla? Jelas ini kali pertama untuk mereka berdua. Terlebih Karin. Perempuan berkacamata itu sudah pening padahal belum satu jam dihukum. Bahkan keringat di keningnya sudah bercucuran dengan kulit wajah yang memerah.

"Karin," panggil Starla saat menyadari tubuh perempuan itu sedikit limbung.

"Hm?"

"Jangan pingsan."

Julli yang berdiri di samping Starla kontan menelengkan kepalanya. Menoleh pada Karin yang berdiri di sisi paling kiri. Tanpa dikomando, dia pindah tempat. Posisinya yang kini membiarkan Karin berada di tengah.

"Pusing?"

Pertanyaan penuh peduli Julli itu dijawab gelengan cepat Karin.

"Kalo pusing jangan maksain. La, lo bilang ke Pak Tian, gih. Bilangin kalo Karin sakit." Suruh Julli.

"Dih kok gue? Lo aja deh. Nggak berani gue."

Julli menghela napas panjang. Alasan dia menyuruh Starla, karena tidak berani jika berhadapan langsung dengan Pak Tian. Guru itu terlalu tak terbantahkan. Tapi jika yang berbicara anak baik seperti Starla, mungkin Pak Tian akan mengerti.

"Kalo gitu lo bilangin sama Mars aja gih."

"Nggak ah. Gue lagi males ngomong sama dia," tukas Starla kelewat judes.

Di antara kunang-kunang bayangannya, Karin menimpali. "Udah, udah. Gue nggak apa-apa, kok. Masih sanggup berdiri."

Starla nyaris menimpali lagi saat tiba-tiba suara dari arah belakang menyela. "Dihukum malah asik ngerumpi, yah?"

Dengan ujung matanya yang runcing, Starla melirik, menemukan Mars yang membawa tumpukan buku tugas Bahasa Indonesia yang akan dibawa ke Kantor.

Lelaki itu lalu menatap tiga orang di sana satu persatu dengan sepasang irisnya yang tajam. Tidak ada yang berani bicara, bahkan hanya sekadar bilang perihal kondisi Karin yang sudah tidak memungkinkan. Saat Starla memberi isyarat pada Julli pun, lelaki itu malah diam saja.

Hingga lima detik berlalu sebelum Mars melanjutkan langkah tertundanya.

Starla sampai menghela napas lega. Jujur saja, kalau Mars sudah mode dalam Ketua Osis itu benar-benar menakutkan. Dia berdecak lalu menoleh pada Julli.

"Lo kenapa nggak bilang ke Mars, sih? Karin udah pucat banget." Starla nyaris saja menyeka keringat di kening Karin, tapi justru berakhir memekik. Sebab perempuan di sampingnya itu sudah lebih dulu ambruk.

"Karin!"

***
Efek berjemur hampir satu jam pagi tadi, ternyata dampaknya masih terasa sampai di jam istirahat. Bukan jahat, Starla cukup bersyukur karena berkat Karin jatuh pingsan, akhirnya hukuman itu berakhir sebelum waktunya.

Energinya benar-benar seperti terserap matahari. Kini Starla hanya bisa menggolekan kepalanya di atas meja. Hanya sekadar pergi ke kantin saja rasanya sangat malas. Padahal dia sudah melewatkan jam sarapan.

Ketenangannya itu lalu terganggu oleh tendangan kecil di kaki kursinya. Starla nyaris saja mengumpat. Tapi begitu mendongak, dia melihat Mars yang sudah berdiri di samping kursi. Menyodorkan roti rasa coklat dan susu kotak rasa strawberry.

Untuk beberapa saat Starla terdiam. Mencoba meredam euforia dalam hati yang mendadak kegirangan karena Mars akhirnya perhatian juga.

"Lo belom makan apapun dari pagi, kan?" Untuk ukuran orang yang menaruh perhatian, suara Mars itu terdengar terlalu dingin.

Starla memberengut. "Gue kenyang," bohongnya.

Mars mulai mendengkus sebal. "Makan."

"Gue bilang kenyang. Lo budek, yah? Lagian lo nggak usah peduli sama gue, deh. Biasanya juga cuek."

"Sebetulnya gue juga males ngurusin lo kalau aja Mama lo nggak wa gue pagi-pagi." Mars merogoh ponsel di saku celananya hanya untuk menunjukkan pesan whatsapp Mama Starla yang memberitahu jika pagi tadi Starla melewatkan sarapan. "Lo udah dewasa, La. Bisa nggak sih jangan tantrum terus kaya balita?"

Selesai pada kalimatnya, Mars tidak pernah menyadari raut sendu Starla yang menyimpan begitu banyak luka. Dia basahi bibirnya yang nyaris bergetar. Lalu tanpa bicara lagi, Starla mengambil roti dan susu dari tangan Mars.

"Nanti gue makan. Makasih," tutur Starla, menyudahi perdebatannya dengan Mars. Setelah itu, dia beranjak dari sana. Meninggalkan Mars dalam keterdiaman.

Sepasang kakinya terus melangkah, membawa raga yang tengah dilanda sengsara itu sampai pada taman sekolah yang letaknya di samping perpustakaan. Starla duduk di sana, di bangku kayu panjang hanya untuk melanjutkan lamunan.
Roti dan susu pemberian Mars sama sekali tak menarik minat.

Ada sesuatu yang semakin dipikirkan Starla akhir-akhir ini. Yaitu mencari tahu tentang kebenaran siapa dia sebenarnya. Jika memang benar anak pungut, lalu di mana orangtua kandungnya?

Harus mulai dari mana Starla mencari?

Puuukk

Sedang diserang kebimbangan ketika Starla merasakan seseorang menepuk puncak kepala. Semakin kebingungan saat dia dapati Jaery yang semena-mena melakukannya, lalu dengan sok akrab lantas duduk di sampingnya.

Jaery tertawa melihat bagaimana Starla berekspresi. "Kenapa?"

Hanya dengan begitu Starla mengangkat tangan kiri, menunjukkan cincin yang melingkar di jemari manisnya. "Jangan ganggu gue. Lo tau kan gue tunangan Mars?"

Daripada tergertak, Jaery malah tergelak. "Walaupun lo nggak dianggap?"

Skakmat

Starla tidak bisa membela diri. Memang begitu kebenarannya. Bagaimana berjalannya kisah asmara Starla dan Mars itu sudah seperti makanan publik SMA Cakrawala.

"Kata Mars, lo terlalu manja. Tapi menurut gue lo terlalu mandiri. Saking mandirinya jatuh cinta juga sendirian. Hahahaa.."

Sepasang mata Starla memicing melihat Jaery yang tertawa puas. "Nggak lucu. Mending lo pergi sekarang daripada gangguin gue."

"Nggak ah. Mau di sini aja nemenin lo."

"Gue nggak butuh ditemani." Starla nyaris beranjak jika saja Jaery tidak cepat menahan.

"Ok. Gue nggak akan gangguin lo."

Karena sedang sangat tidak ingin berdebat, Starla mengizinkan Jaery duduk menemani. Lima menit berlangsung tanpa adanya obrolan. Sampai di menit keenam, Jaery kembali bersuara.

"Kenapa rotinya nggak dimakan?"

"Nggak laper. Lo mau?" tawar Starla pada Jaery yang kemudian menggeleng.

"Hari ini kayanya lo banyak diem yah? Nggak seperti biasanya cilingcingcat sana cilingcingcat sini buat ngikutin Mars."

Starla mendengkus geli. Dia pandangi ujung-ujung sepatunya sebelum menoleh penuh pada Jaery. "Gue mau tanya sesuatu deh sama lo." Entah mendapat dorongan dari mana Starla menjadikan Jaery sebagai teman bicara.

"Tentang apa?"

"Menurut lo definisi rumah itu seperti apa?"

"Kenapa lo tanya hal seperti itu?"

"Ya tanya aja. Lo tinggal jawab."

Jaery bergumam sebentar sebelum dia menjawab, "Tempat yang membuat lo merasa pulang, mungkin? Nggak tau deh. Soalnya gue nggak terlalu paham."

"Gue punya rumah. Tapi kenapa gue nggak pernah merasa pulang?"

"Maksud lo?"

"Rumor yang Lestari sebarkan tentang gue yang katanya anak pungut. Lo percaya nggak?"

-tbc

Cerita Dari Kita |NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang