Sepi sudah terlalu terbiasa menemani Jaery bersama hari-harinya. Bangunan dua lantai yang sering orang lain sebut rumah nyatanya bagi Jaery hanya ruang yang memberi kekosongan. Jam dinding yang menunjuk pukul tujuh malam menjadi satu-satunya benda paling berisik. Di meja belajarnya, lelaki berjersey Manchester United itu hanya diam sembari memandang kosong selembar kertas yang Pak Tian berikan pagi tadi.
Jaery kemudian berpindah menatap ponselnya yang padam. Sudah dua kali dia mencoba menghubungi papanya, tapi tak kunjung terjawab.
"Sibuknya sampe lupa kalo gue masih hidup," gumam Jaery pada ponsel yang dibiarkan tak tersentuh.
Helaan napas lepas bersama rasa sesak yang menumpuk. Dia buka laci meja belajarnya hanya untuk mengeluarkan sebuah foto yang sudah usang. Bibirnya menipis saat melihat senyum di wajah perempuan sebahu dalam fotonya. Tengah menggendong anak laki-laki berusia dua tahun. Sementara dia yang dalam foto itu berusia empat tahun tengah digandeng Papa. Jaery tidak pernah tahu apakah senyum bahagia dalam foto itu hanyalah sebuah kepura-puraan atau memang waktu itu semua masih baik-baik saja?
Tumbuh menjadi anak broken home memaksa Jaery kerap akrab bersama kesepian. Hampir tidak ada yang bisa diingat kenangan bersama mamanya kecuali saat sidang cerai kedua orangtuanya diresmikan di pengadilan dan Jaery yang masih berusia empat tahun itu menjerit meraung. Begitu ketakutan jika harus dipisahkan dengan Mama dan adiknya.
Orang-orang dewasa yang gemar menyakiti hati anak kecil seketika bertingkah sok paling menyayangi. Tubuh kecil Jaery lantas digendong Papa, menjauhkan dari jangkauan Mama yang sama-sama menangis waktu itu.
Ketakutan-ketakutan Jaery yang kini menjadi kenyataan. Sebab di usianya yang kini menginjak tujuh belas tahun lebih, dia tidak pernah lagi melihat Mama dan adiknya. Tidak tahu mereka berada di mana. Hidup dengan baik, kah, tanpa adanya dia?
"Ma, Jaery kangen, deh," gumam Jaery pada benda mati di tangannya. "Adek juga. Aa Jaery kangen, dek."
Jaery nyaris saja menangis dalam diamnya saat ponsel itu berdering kencang. Menampilkan nama Papa sebagai si pemanggil. Buru-buru dia mengusap kedua matanya sebelum meraih ponsel lalu meng-swipe.
"Hallo, Pa."
"Tadi Jaery telpin, ada apa?"
Dari layar video call, Jaery bisa melihat Papa masih rapi dengan kemeja kerjanya.
"Papa masih sibuk, yah?" tanyanya. Menjadi semakin tahu jika seorang pengusaha yang sukses di bidang pariwisata itu akan sangat-sangat sibuk. Bahkan sudah seminggu Papa di Bali dan belum kunjung pulang.
"Iya, nak. Ini juga masih ada meeting lagi. Ada apa?"
"Ini, Pa. Waktu pagi Pak Tian kasih selembar surat ini untuk ditandatangani orangtua." Jaery membuka selembar kertas yang terlipat itu lalu mrnunjukkannya ke arah kamera. Tapibtulisan itu sepertinya tidak tertangkap jrlas olrh Papa.
"Surat apa itu Nak? Kamu buat masalah di sekolah?"
"Nggak, Pa. Ini surat izin persetujuan buat Jaery tinggal di asrama."
"Hah?"
"Intinya Papa harus tandatangi surat ini buat menyetujui," tukas Jaery yang malas menjelaskan.
"Yaudah kamu tanda tangani aja sendiri. Papa setujui. Sudah dulu, yah. Nanti Papa telpon lagi selepas meeting."
"Iya, Pa. Assalamualaikum."
"Waalaikum salam."
Panggilan itu kemudian terputus. Jaery nyaris saja mendengkus saat harus menandatangi sendiri surat persetujuan yang harusnya ditandatangani orangtua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Dari Kita |NCT Dream
Fanfiction[Follow dulu sebelum baca] Ketika keenam siswa dengan karakter berbeda dipersatukan dalam sebuah asrama. Mars tidak pernah menduga sebelumnya. Beban hidupnya sudah sangat berat. Dan kini Pak Tian selaku guru kesiswaannya menambah beban hidup itu. B...