Butuh dua kali berkedip untuk Elang agar bisa memastikan jika yang dilihat adalah betulan nyata. Saat dia menutup mulutnya tak percaya, Julli bergegas beringsut dari badan Mars yang tertindih.
"Bangsat lo yah!" umpat si pemuda itu sembari mengusap bibirnya kasar. Menolak kenyataan bahwa dia baru saja mengecup bibir Mars yang saat ini juga tak kalah heboh mengusap jejak ciuman singkat itu.
"Kenapa lo malah ngumpatin gue? Jelas-jelas lo yang salah, Anjing!" Sungguh, Mars sebetulnya bukan anak yang dididik terbiasa untuk mengumpat. Tapi bersama Julli, mulutnya seperti otomatis terlatih mengeluarkan bahasa kasar. Bisa saja jika dia betulan menghabiskan sisa kelas dua belasnya bersama Julli, Mars akan lebih pandai mengumpat. Lihat saja nanti.
"Lagian lo lemes banget. Gue dorong pelan juga!"
"Kaki gue kesandung!"
Tepat hampir Julli menarik kaus si lawan bicaranya, Senja cepat menahan. Buru-buru melerai sebelum terjadi perkelahian yang tak diinginkan.
"Please kendalikan diri kalian. Kalo Pak Tian tau kalian berantem lagi, takutnya tali yang ngikat kalian nggak cuma di tangan, tapi di kaki sama di leher. Emang mau?"
Mars mendengkus sebal. Meski sepertinya tidak mungkin, tapi apa yang dikatakan Senja bisa saja terjadi. Diikat di tangan saja sudah sebegini merepotkan. Apalagi sampai diikat di kaki atau leher, bisa-bisa Mars mati betulan.
"Sekarang kita harus cepat bersihkan tempat ini supaya bisa cepat istirahat," sambung Senja menutup percakapan.
Ketika empat remaja itu melanjutkan tugas masing-masing yang sempat tertunda, di lain sisi dua lelaki yang tengah mengelap kaca jendela juga tidak lebih kacau dari situasi sebelumnya.
Kesabaran Jaery sudah sisa seperempat meladeni si anak Mama takut kotor. Bagaimana tidak kesal, saat Jaery berusaha untuk melakukan tugasnya dengan baik, Choky hanya meringis jijik dengan sesekali diselingi bersin-bersin. Lihat saja, bahkan lap yang diberikan Senja masih bersih dan belum ternoda.
"Lo suruh ngelap kaca jendela doang udah sebegitu jijiknya. Apalagi suruh ngosrek toilet?" Sengaja, Jaery menggebrak jendela itu dengan lap di tangan sehingga debu-debu yang menempel di sela-sela kaca beterbangan.
Hachiiiim...
Choky bersin untuk ke sekian kali. Hidungnya sudah merah karena terlalu banyak menghirup debu. "Gue nggak pernah kotor-kotoran. Mending lo aja yang lap kaca jendelanya. Nanti gue kasih imbalan deh, tenang aja."
Ini yang membuat Jaery membenci Choky. Tingkahnya bak seorang Tuan Muda. "Gue nggak butuh duit lo!" geramnya berusaha menekan suara agar tidak meninggi. "Berhenti bertingkah seakan lo adalah manusia paling kaya di muka bumi ini. Gue muak."
"Kenapa? Ngiri lo?" Senyum miring Choky bahkan belum terbentuk sempurna saat dia yang justru harus terkejut karena pergerakan tiba-tiba Jaery. Menariknya hingga terguling di lantai.
Choky pikir reaksi Jaery ini sungguh berlebihan. Tanpa pernah tahu jika Jaery adalah salah satu manusia yang teramat sangat membenci prinsip, 'Uang adalah segalanya, atau segalanya butuh uang.'
Persetan jika dia dianggap naif. Tapi kenyataannya, dia adalah anak laki-laki yang tidak bahagia meski hidup dengan segala fasilitas lengkap yang Ayah sediakan. Baginya, jika benar di dunia ini segalanya butuh uang, lalu kenapa waktu yang sudah berlalu tidak bisa dibeli? Kenapa uang tidak bisa membuat Ibu kembali?
"Lo kenapa, sih, Sat? Sensian banget kaya si Julli?" Choky berusaha mendorong Jaery agar menjauh. Hanya saja yang didapati justru kepalan tangan yang lebih dulu melayang. Choky reflek memejam sembari memalingkan wajah. Sudah sangat siap jika pipi mulusnya harus mendapat bogem mentah.
Namun, belom sempat dia merasa kesakitan, hal di luar dugaan lebih dulu mengejutkannya.
Byuuurrr..
Choky maupun Jaery sama-sama megap-megap ketika seember air disiramkan pada mereka. Dengan keadaan yang sudah basah kuyup, keduanya buru-buru bangun. Emosi Jaery sudah berada di puncak saat tahu siapa si pelaku, dan dia dapati Senja yang sedang berkacak pinggang dengan sebelah tangan, sedangkan tangan satunya memegangi ember yang sudah kosong.
"Kenapa? Lo mau marah? Nggak terima gue siram?" Belum juga Jaery melampiaskan kekesalannya, Senja sudah lebih dulu menukas tak kalah tajam.
Senja lelah, begitu pula yang lain. Tapi dia tak habis pikir pada tingkah-tingkah mereka yang menurutnya teramat sangat menyebalkan. Apa susahnya, cukup bereskan tempat ini tanpa perlu keributan-keributan yang tidak diperlukan?
"Apa ngelap kaca jendela harus disertai adu jotos?" Kali ini Elang ikut bersuara. Dalam situasi seperti ini, dia juga tahu untuk mengendalikan emosi benar-benar sulit. Menerima kenyataan dipaksa harus tinggal bersama saja sudah sangat menjengkelkan. Ditambah aturan-aturan konyol di luar dugaan membuat mereka semakin tertekan. Tapi bukankah dengan begitu, harusnya mereka sadar, hal yang perlu di lakukan sekarang adalah sedikit menekan emosi untuk meredakan kekacauan yang sudah terlanjur dibuat agar tidak semakin dirugikan.
"Lo nggak tau apa-apa. Ini bukan tentang lap kaca jendela," jawab Jaery dengan rahang terkatup rapat.
"Terus tentang apa?" Itu suara Choky yang justru terheran-heran. Sebetulnya dia juga tidak tahu alasan Jaery bisa semarah itu.
"Ada apa ini?"
Di tengah-tengah suasana hati Jaery yang semakin memanas, Pak Tian justru datang sebelum Senja sempat membersihkan air di lantai yang menggenang.
Ada hela napas kasar terdengar begitu menakutkan, sebelum Pak Tian kembali bertanya, "Baru saja Bapak tinggal ke luar sebentar, kalian sudah berantem lagi?" Lelaki tiga puluhan itu melihat Choky dan Jaery yang basah kuyup secara bergantian.
"Senja nyiram kita, Pak," adu si anak Mama, berharap Senja mendapat ganjaran.
"Gue nggak akan nyiram kalian kalo aja kalian nggak kaya anjing yang lagi merebutkan wilayah."
"Lo ngatain kita anjing?"
"Iya. Soalnya lo nggak bisa diperingati pake bahasa manusia."
Meski dalam hatinya sudah sangat ingin mengumpat, pada akhirnya Jaery melampiaskan kekesalan hanya dengan decihan pelan.
Tanpa banyak berkata-kata, Pak Tian memperpendek tali yang mengikat Senja dan Elang hingga menyisakan panjang tujuh puluh centi saja.
"Pak, kok, tali kita dipendekin? Kan, saya nggak marah sama Elang?" tanya Senja yang tidak terima tali webbingnya akhirnya diperpendek juga. Padahal dia sudah berupaya untuk tetap menjaga satu meternya.
Senja kira aturannya hanya berlaku jika marah pada partner terikatnya saja."Terus kenapa tali kita langsung dikurangi tiga puluh centi, Pak?" Elang ikut menimpali.
"Karena lo nyiram gue," jawab Choky penuh kepuasan. Tidak mau terlalu ambil pusing pada tali webbingnya yang sudah sisa enam puluh centi.
"Karena cara kamu menasehati rekan kamu juga salah," jawab Pak Tian menanggapi pertanyaan Elang dan Senja. "Sekarang bersihin lantainya. Bapak sudah siapkan hadiah untuk kalian."
Begitu Pak Tian melangkah menjauh, empat anak yang ditinggalkannya itu hanya bisa menghela bapas pasrah. Entah kenapa kata hadiah yang diucapkan itu tidak merasa membahagiakan.
"Kira-kira apa yah hadiahnya?" gumama Elang curiga.
Senja mengedik. "Semoga aja bukan yang aneh-aneh."
-tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Dari Kita |NCT Dream
Fanfic[Follow dulu sebelum baca] Ketika keenam siswa dengan karakter berbeda dipersatukan dalam sebuah asrama. Mars tidak pernah menduga sebelumnya. Beban hidupnya sudah sangat berat. Dan kini Pak Tian selaku guru kesiswaannya menambah beban hidup itu. B...