Siapa Itu?

55 3 0
                                    

Selepas shalat maghrib yang diimami Elang, keenam remaja itu kini duduk melingkar di ruang depan. Mars menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Uang lima ratus ribu pemberian Pak Tian ternyata cukup sedikit untuk memenuhi kebutuhan mereka selama satu minggu.

"Belum beli beras, gas, listrik, belum lagi uang saku kita di sekolah. Mana cukup lima ratus ribu buat kita berenam selama satu minggu," papar Mars.

Choky menggebrak meja kaca di hadapannya. "Udah gue duga sebelumnya. Kalian bukannya belain gue, malah ledek-ledekkin gue."

Jaery satu-satunya orang yang mendengkus geli. "Soalnya muka lo yang nyaris mewek itu teramat sangat menghibur."

"Sialan!" Choky sekonyong-konyong menoyor kepala Jaery.

"Eh, udah-udah bukan waktunya ribut. Sekarang ini kita harus pikirin gimana duit ini cukup sampai satu minggu."

"Yaudah tinggal hidup hemat," balas Julli enteng. Lelaki satu itu agaknya paling tidak memusingkan masalah keuangan. Toh, bukan kali pertama jika dia harus kelaparan dan tidak makan seharian.

"Betul kata Julli. Untuk hidup hemat, kita cukup beli bahan makanan yang murah-murah aja. Telur, mie instan—"

"Nggak, nggak. Gue nggak mau makan mie instan. Nggak sehat," tolak Choky memotong ucapan Senja.

"Nggak sehat itu kalo dimakan setiap hari. Kalo jarang-jarang, nggak akan ngaruh, kok."

"Micin dikit nggak ngaruh," sambar Elang.

"Telur sekilo isinya berapa butir, sih?" tanya Mars pada Senja. Tapi karena Senja tidak tahu, dia menoleh pada Elang. Lalu Elang menoleh pada Julli, begitu juga Julli yang menoleh pada Jaery. Dan berakhirlah pertanyaan simple itu tanpa adanya jawaban.

"Ck..."

"Mana kita tau satu kilo telur berapa butir," terang Elang menjawab kekecewaan Mars. "Yang penting sekarang kita ke warung dulu beli beras, telor sama indomie buat stok makan kita satu minggu. Nanti sisanya buat keperluan tak terduga."

"No indomie. Gue tim mie sedap," protes Jaery seraya mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.

Membuat Elang yang menunjuk Jaery heboh. "Nih, sekte manusia sesat. Gue nggak habis pikir sama orang-orang yang berpendapat kalo mie sedap lebih enak dari indomie."

"Lo yang sekte sesat. Jelas-jelas mie sedap lebih enak. Pokonya gue tim menolak mie instan kecuali mie sedap, titik."

"Heh, kenapa kalian malah ributin mie sedap sama mie indomie, sih. Di mana-mana rasa mie itu sama aja. Final, yang dipilih mie sukses isi dua. Karena mie sukses isi dua itu isinya lebih banyak, jadi kita bisa lebih menghemat," tutur Senja. "Sekarang mending kita belanja dulu. Bareng-bareng aja supaya kita bisa saling percaya dan nggak saling berprasangka buruk."

Sadar jika mereka jauh dari keakraban,
Senja berinisiatif memulai dari hal terkecil dulu. Seperti komunikasi mereka yang kerap sekali berakhir dengan keributan. Tanpa dia sendiri sadari jika hal yang dilakukannya itu sedikit mengikis sikap apatisnya.

Keenam remaja itu nyaris berdiri bersamaan ketika suara nyaring seperti bom waktu akan meledak itu menginterupsi. Mars menghela napas lelah ketika Jaery justru menepuk jidatnya. Sebja sudah menggaruk pelipis saat Elang mengeluh, "Haduuuhh..."

Satu-satunya manusia yang kebingungan dengan suara yang ada hanyalah Choky.

"Suara apa tuh?" tanyanya polos seraya celingukan, mencari sumber suara.

"Itu suara pulsa listrik yang mau abis," jelas Julli.

"Jadi ini suara pulsa listrik yang mau abis? Kaya suara bom mau meledak, yah? Waah... keren."

"Keren matamu!" sewot Jaery yang menyemprot tepat satu jengkal di depan wajah Choky. "Emang lo mau malem-malem gelap-gelapan?"

"Gue baru tau ternyata orang kaya noraknya lebih dari orang miskin, yah?" ledek Elang di antara kegalauannya perkara Senja yang tidak mau membeli mie indomie.

"Bukan norak. Tapi emang bego berkedok polos aja. Orang kaya, kan, kebanyakan begitu. Sok polos biar viral padahal bego beneran." Kali ini Jaery yang menimpali. Pokoknya jika tentang menjelekkan Choky, dia maju palung depan.

"Stop. Sudahi ribut kalian. Mari kita lanjutkan masa depan," potong Mars yang mulai melantur. Barangkali saking lelahnya menghadapi kenyataan.

"Kayanya buat pulsa listrik kita minta sama Pak Tian aja, deh. Lagian ini kan termasuk fasilitas sekolah, jelas di luar uang makan kita." Senja lalu mengeluarkan ponselnya hanya untuk mengirim pesan whatsapp pada Pak Tian.

"Emang yakin bakal dikasih?"

"Usaha aja dulu," ujar Senja seraya mengedikkan bahunya.

Mereka kemudian berdiri. Melanjutkan niatanya yang hendak pergi ke warung. Namun baru juga berada di ambang pintu lampu sudah betulan mati.

"Kyaaa!"

Gelap gulita itu yang praktis membuat Elang melompat ke pelukan Senja yang reflek juga langsung menangkap Elang hingga berada di gendongannya.

Saking kencangnya teriakan Elang, Jaery yang terkejut, reflek juga melompat ke arah Julli yang dengan sigap menangkapnya.

"Anjing, Elang turun lo!" sewot Senja yang memaksa Elang melepas rangkulannya. Tapi Elang begitu kokoh bergelayut pada leher Senja.

"Anjing, homo lo yah!"

"Gue takut gelap!" teriak Elang yang tidak terima dikatai homo.

"Lo ngapain ikut lompat?" Julli menurunkan Jaery yang sempat digendongnya. Keduanya justru kebingungan dengan posisi yang ada. Setelah diturunkan, Jaery bahkan bergidik geli.

"Gue, kan, reflek."

"Cari lilin buruan!" teriak Elang yang semakin menggelegar.

"Lo meluk gue terlalu kencang. Hoek.. uhuk...uhuukk.. Lo mau bikin gue mati?" Senja bahkan sudah sepenuhnya tercekik.

"Buruan cari lilin!"

"Nggak ada lilin di sini."

"Senter di hp buruan nyalain woy!"

Mars lebih dulu menyalakan senter di ponselnya. Disusul Choky, Julli, Jaery.
Choky sudah tergelak saja melihat posisi Senja yang menggendong Elang dengan sangat mesra.

"Turun lo!" Teramat sangat kesal, Senja mendorong Elang sampai terjungkal. Dia paling benci pada orang-orang penakut. Apalagi sampai mencelakai orang lain.

"Kira-kira Pak Tian bakal datang nggak? Mending duitnya buat beli pulsa listrik aja dulu, deh. Takut banget kalo malem-malem harus gelap gini." Bulu kuduk Elang mendadak meremang. Terlebih dia yang mengingat semua tentang cerita horror di lingkungan sekolahnya.

"Wa lo dibales nggak sama Pak Tian?" Mars menepuk pundak Senja.

"Dibales. Katanya tunggu sebentar." Senja menunjukan pesan balasan Pak Tian itu pada Mars. "Kayanya Pak Tian bakal ke sini lagi."

"Kapan? Masih lama nggak?" tanya Elang yang mulai gelisah.

"Sabar. Nggak akan lama, kok."

"Gue jadi keinget cerita horror Delin tentang cewek penunggu di sekolah ini."

"Sssttt..." Mars menaruh jari telunjuknya di atas bibir. "Nggak usah cerita yang nggak-nggak."

"Nanti yang ada malah dateng beneran," sambung Jaery.

Elang yang semakin ketakutan nyaris saja merangkul lengan Senja jika saja tidak cepat menghindar.

"Kalo penakut jangan serba penasaran sama cerita horror," kesal Senja.

Klotrak.

Keenam siswa itu menoleh kompak pada jendela yang tidak terkunci, tiba-tiba saja bergerak sendiri.

"Tuh, kan beneran datang." Karena ditolak Senja, Elang lebih memilih merangkul lengan Mars yang tidak banyak protes.

"Siapa itu?" tanya Jaery yang mulai berderap perlahan.

-tbc
Siapa tuh? Hantu beneran kah? Penasaran nggak?
Makanya vkte dulu, komen dulu.
See you


Cerita Dari Kita |NCT DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang